Sunday, April 13, 2008

PENDIDIKAN ANAK

( Kumpulan Artikel dari Harian Ibukota )

!
!

!

!

!



!

!

Editor :
Ridlo Masduki










DAFTAR ISI ;
1. Munculnya Anak-Anak Generasi Platinum
2. Mempersiapkan Anak-Anak Generasi Platinum
3. Kiat mencetak Anak Sukses
4. Membesarkan Pemimpin
5. Stimulasi Sentuhan, sebagai Pembentuk Ikatan Batin Ibu-Anak
6. Menangis Bukan Berarti Cengeng
7. Senyum Batita, Hatinya Bahagia
8. Anak-Anak Introvert, Bermasalahkah ?
9. Baca-Hitung sebelum Masuk Sekolah
10. Hidup di Era Layar
11. Menyaring Pengaruh Negatif Media
12. Video Game, Dilarang atau Diawasi ?
13. Melatih Tangan Terampil
14. Kurang Percaya Diri, Anak Jadi Materialis
13. Membentuk Moral Anak
14. Asah Empati, Pertajam Jiwa Sosial Anak
15. Melipur Duka Si Kecil
16. Agar Batita Tidur Lelap
17. Belajar Sambil Tertawa ( Kolom Parents )
18. Suasana Hati Anak Naik-Turun
19. Kemungkinan Penyakit Jiwa, Bisa dideteksi (Riset)
20. Si Kecil Cerewet Bertanya
21. Diam-diam Dia Merokok
22. Ayah-Bunda Harus Kompak dan Konsisten
23. Pembelajaran Entrepreneurship
24. Nak, Itu Bukan Milikmu !








1. MUNCULNYA ANAK-ANAK
GENERASI PLATINUM
( Republika, Ahad, 23 desember 2007)

Setiap periode waktu memunculkan generasi
tersendiri yang dapat dikenali dari karakter
mereka yang khas.
Dewasa ini yang mulai banyak disoroti adalah
munculnya anak-anak yang disebut sebagai
“generasi platinum”. Bersiaplah untuk menyambut
dan mempersiapkan mereka menjadi generasi
yang siap menyongsong masa depan.

Pemberian istilah seperti “generasi platinum” adalah untuk membedakan dengan generasi-generasi terdahulu. Sebelumnya, yang dikenal adalah generasi ‘baby boomers’, ‘generasi X’, dan ‘generasi Y’. Platinum sendiri bermakna sebagai ‘sesuatu yang sangat bernilai’ bahkan lebih dari emas.
Generasi ‘baby boomers’ adalah generasi yang lahir setelah perang dunia kedua, yaitu antara tahun 1946 hingga tahun 1964. Setelah sebelumnya sebelumnya terus menerus dilanda peperangan, pada periode tersebut kondisi kehidupan masyarakat mulai membaik dan terjadi ‘ledakan’ jumlah kelahiran di seluruh dunia, sehingga muncul sebutan ‘baby boomers’. Pada saat generasi ini tumbuh, televisi yang menawarkan beragam acara mulai tumbuh. Sebagian besar dari mereka juga mengenal dan menjadikan musik rock n roll sebagai medium mengekspresikan diri. Generasi ini dikenal dengan karakteristiknya yang suka memberontak. Meski demikian, generasi ini ‘berjasa’ untuk membuka jalan bagi semakin luasnya kebebasan individu dan perjuangan hak-hak sipil.
Berikutnya adalah generasi yang lahir pada periode 1965 hingga 1980. Mereka disebut sebagai generasi X. Anak-anak generasi X sangat akrab dengan program musik di televisi, khususnya MTV, pada masa mereka juga muncul video games. Anak-anak pada generasi ini memiliki karakter sinis, skeptis, dan kurang optimis menatap masa depan. Namun, generasi ini juga dikenal sebagai generasi yang sangat akrab dengan teknologi dan memiliki semangat kewirausahannya. Dapat dilihat betapa perusahaan-perusahaan raksasa di internet adalah bikinan dari anak-anak pada generasi X.
Generasi berikutnya adalah generasi Y, yaitu anak-anak yang lahir pada periode tahun 1981 hingga 1995. Generasi yang juga dikenal sebagai ‘generasi millennium ini tumbuh bersamaan dengan munculnya teknologi komunikasi canggih dan internet. Karakter khas mereka adalah cenderung menuntut, tidak sabar, serta memiliki kemampuan berkomunikasi yang buruk. Meski terkenal cuek dan cenderung mengabaikan peraturan kantor saat bekerja, namun generasi Y ini dipuji karena semangat dan energi mereka yang luar biasa dalam bekerja.
Generasi platinum. Dewasa ini kita masih terkagum-kagum dengan sepak terjang generasi millennium. Namun pelan-pelan ternyata sudah muncul generasi berikutnya, yaitu ‘generasi platinum’. Mereka ini adalah anak-anak yang lahir pada awal abad ke 21 di mana masyarakat mulai terbuka dalam berbagai hal – mulai dari perilaku, cara berpikir, hingga ketersediaan sarana pendidikan yang jauh lebih baik dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Istilah ‘platinum’ merujuk pada sesuatu yang sangat mewah dan terbaik. Wajar saja, jika generasi sebelumnya baru sebatas memiliki kesempatan untuk mengakses dan menggunakan teknologi, bagi generasi platinum terbuka lebar kesempatan untuk menjelajah dan teknologi untuk mengembangkan diri. Itu sebabnya, generasi ini dicirikan oleh karakter yang lebih ekspresif dan ekploratif, selaras dengan perkembangan zaman.
Geneasi platinum hadir saat teknologi komunikasi menuju kematangan sehingga mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengakses dan memanfaatkan informasi. Hal itu tentu berpengaruh, dimana mereka memiliki peluang lebih baik dalam mengembangkan diri dan menjadi manusia yang berkualitas serta produktif. Generasi platinum tidak hanya aktif di bidang akademis, melainkan juga di bidang non akademis. Mereka adalah generasi yang siap untuk menjadi warga duniayang multi talented, multi language, dan multi disiplin.
Nah, jika saat ini generasi Y tampak mendominasi dan mulai “menyerbu” dunia dengan semangat dan energi yang luar biasa, kita jangan lupa dan harus mempersiapkan diri pula menambut munculnya generasi berikutnya yang luar biasa, yaitu ‘generasi platinum’.
Jika anda ingin ‘generasi platinum’ ini menjadi penerus dan pemegang kunci masa depan yang dapat diandalkan, Anda harus mempersiapkannya sejak dini dengan memberikan semua yang terbaik. Bukan hanya dengan mengarahkan serta membimbing mereka untuk menguasai teknologi dan informasi, kecukupan gizi yang baik juga dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental yang optimal di kemudian hari. (ACA dokumen Kompas 2007).



2. MEMPERSIAPKAN ANAK-ANAK
GENERASI PLATINUM
(Republika, Ahad, 23 Desember 2007)

Mendidik anak adalah hal yang tidak mudah, bahkan, boleh
dibilang cukup sulit. Pada prosesnya, terjadi perbenturan.
Nilai-nilai dan lingkungan di mana orangtua tumbuh dan
membentuk karakternya berbeda jauh dengan nilai-nilai
dan lingkungan di mana si anak tumbuh. Alhasil, setiap
generasi memiliki karakter yang unik dan khas.

Setelah generasi baby boomers, generasi X, dan generasi Y, kini muncul generasi platinum, yaitu mereka yang lahir pada awal abad ke 21. Dalam dua hingga tiga decade mendatang, generasi inilah yang akan mendominasi kehidupan masyarakat.
Sebutan platinum menunjuk pada sesuatu yang istimewa dan terbaik. Wajar saja, dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, generasi platinum mendapatkan segala hal yang lebih baik. Generasi platinum muncul ketika teknologi komunikasi menuju kematangan sehingga mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengakses dan memanfaatkan informasi. Tak heran jika mereka dapat mengembangkan diri lebih baik.
Ciri khas generasi platinum yaitu memiliki karakter yang lebih ekspresif dan eksploratif, selaras dengan perkembangan zaman. Mereka multi talented, multi language, dan multi disiplin yang siap untuk menjadi warga dunia.
Mendidik generasi platinum.
Mereka lahir dari orangtua yang terdidik, serta besar dalam lingkungan dimana teknologi - terutama telekomunikasi – menuju kematangannya, generasi platinum memiliki semua persyaratan untuk menjadi generasi unggulan. Tentu saja, dibutuhkan cara mendidik yang tepat sehingga mereka dapat mengoptimalkan seluruh potensi yang dimilikinya.
Dewasa ini mulai marak diperbincangkan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence), yang dinilai lebih tepat untuk mendidik anak-anak zaman sekarang, yaitu generasi platinum. Multiple intelligence hadir dengan gagasan bahwa seseorang memiliki potensi kecerdasan yang berbeda sehingga dibutuhkan beragam rangsangan atau stimuli untuk mengetahui dan mengoptimalkan kecerdasan. Stimuli yang diberikan mencakup kemampuan logika, bahasa, gerak (kinestetik), hubungan dengan orang lain (interpersonal), imajinasi dan ruang (spasial), musik, dan lain-lain.
Setiap anak dianjurkan untuk diberikan stimuli sejak dini, sehingga dapat mengembangkan keunggulan potensinya secara optimal. Untuk itu, dibutuhkan peran dan perhatian orangtua yang lebih intensif lagi. Jika ingin anak geberasi platinum tumbuh dan berkembang sesuai harapan, orangtua harus membagi waktu dan perhatian yang lebih lagi. Selain itu, peran orangtua tidak bisa lagi seperti waktu-waktu yang lalu, yang cenderung mendikte dan memerintah, melainkan harus lebih sebagai teman dan partner.
Jangan membayangkan bahwa memberi stimuli merupakan pekerjaan yang sulit karena hal itu sebenarnya dapat dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Rangsangan dapat diberikan ketika memandikan anak, bermain bersama, atau bercerita menjelang tidur. Menonton televisi, selama masih terkontrol, juga dapat menjadi cara untuk memberi stimuli kepada anak. Namun, pilihlah program televisi yang mendidik dan sesuai dengan usia anak. Selian itu, masih banyak lagi cara yang dapat dilakukan untuk memberi stimuli kepada anak. Anda dapat melakukan berbagai cara yang mengasah kemampuan berpikir, emosional, social, dan berpikir kreatif anak. Yang penting, stimuli yang diberikan berkelanjutan dan bervariasi agar hasilnya optimal.
Sesibuk apa pun orangtua, harus disadari bahwa interaksi dengan anak sangat penting demi perkembangannya di masa yang akan datang. Dapat dikatakan, generasi platinum memiliki segalanya untuk menjadi yang terbaik di masa yang akan datang. Mereka memiliki kesempatan dan fasilitas. Namun, hal itu tidak otomatis menjadikan masa depan mereka gemilang, karena tetap dibutuhkan bimbingan dan arahan dari orangtua agar si anak tidak salah jalan. Masa depan generasi platinum betapa pun ditentukan dari kesediaan Anda untuk selalu memberikan yang terbaik kepada mereka. Aca dokumen Kompas 2007.



3. KIAT MENCETAK ANAK SUKSES
(Republika, Ahad 23 Desember 2007)

Orangtua bisa mempersiapkan ‘perjuangan’ anak
dalam merengkuh masa depannya secara sistematis.

Anak yang sukses tentu akan membuat orangtua bangga. Martabat keluarga pun terangkat dengan keberhasilan anak di kehidupannya. Sudahkah Anda mempersiapkan kesuksesannya sejak dini ?
Sukses anak di kehidupannya mendatang memang bisa dipersiapkan sejak ia masih kecil. Tetapi, itu membutuhkan persiapan yang sangat matang. Siap melakukannya ?
Jika Anda tak tahu cara memulainya, Ayah Edy siap membukakan jalannya. Dia adalah praktisi pendidikan berbasis multiple intellegense dan holistic learning. Berikut kiatnya :
Usia belia.
Rentang usia ini berkisar antara lima hingga 12 tahun. Di masa ini, Anda harus jeli memantau proses trial class anak. “Di usia 12 tahun, Anda harus memiliki laporan hasil analisis menyangkut keunggulan anak”, kata Ayah Edy yang bernama asli Edy Wiyono.
Selagi anak berada dalam periode trial class , cobalah untuk memperhatikan belahan otak mana yang lebih dominan dipakai anak. Cermati juga, apakah ia tipe pekerja, wirausahawan, atau pemimpin. “Itu bisa terlihat dari kesehariannya”, ungkap lelaki yang menggeluti profesi sebagai parenting consultant ini.
Sederhananya, manfaatkan petunjuk profil kepribadian yang diberikan anak. Misalnya, tangisnya yang keras dan sulit reda menandakan ia anak yang keras dan bertekad kuat. Contoh lain, kebiasaannya mengajukan syarat ketika diajak mandi, mungkin saja tipe negosiator.
“Anak yang sulit diajak membaca juga menyiratkan suatu petunjuk tentang kemungkinan pekerjaan yang kelak dilakoninya”, ucap Ayah Edy dalam seminar.
Kisah Andika, sebut saja begitu, mungkin dapat membantu Anda lebih memahami konsep ini. Sehari-hari, Andika yang lebih memakai otak kirinya, gemar sekali hitung-menghitung. Bujang berusia sembilan tahun itu pintar matematika dan paham benar cara menghitung bunga kredit perbankan. Ia juga selalu membuat agenda kegiatan harian, termasuk ketika hendak bersenang-senang ke mall dengan kawan-kawannya.
Jika diperhatikan lebih jeli, kelakuan Andika tak ada bedanya dengan pebisnis andal. Pebisnis jago kalkulasi. Pebisnis juga memiliki aktivitas yang terjadwal rapi.
Usia remaja.
Masa ini dimulai ketika anak menginjak 13 tahun. Ia akan mengakhiri masa remajanya begitu usianya 19 tahun. Pada saat ini, orangtua sudah harus bisa meraba apakah anak mesti masuk ke jalur akademik atau justru lebih baik menempuh jalur nonakademik”, ujar Ayah Edy yang menggenggam gelar master komunikasi dari Southern Connecticut State University, AS.
Ketika anak duduk di bangku SMP dan SMA, ia semestinya menjalani pendidikan yang tepat. Kurikulumnya harus dirancang untuk mengasah kompetensi dan mengembangkan ketrampilannya.
Usia dewasa
Begitu anak berulang tahun ke 20, sebentar lagi anak akan masuk ke arena professional. Ia harus siap terjun berkarier. “Yang penting untuk dikuasainya sebagai modal dasar adalah bahasa, kemahiran khusus, dan ketrampilan hidup di masyarakat”, ujar ayah Edy.
Tiap anak unik dan tak mungkin dididik dengan cara seragam. Tidak semuanya ‘tahan’ menimba ilmu di sekolah formal. “Jangan paksakan ia menjalani apa yang tidak disukainya”, saran ayah Edy.
Dalam mendidik anak, orangtua hendaknya memposisikan diri sebagai fasilitator. Andaikan bakat dan minatnya memang ada dibidang non formal, beri ia dukungan. Siapa tahu, dengan sekolah musik, lukis, tennis, catur, renang, atau sepak bola, ia justru akan menemukan kesuksesannya.
Dunia masa depan menginginkan orang-orang yang memiliki spesialisasi. Anak anda tidak bisa bertahan hidup sebagai seorang yang sedikit tahu ini dan sedikit mahir di bidang itu. “Ia harus unggul di bidang tertentu”, tegas ayah Edy yang sempat menjadi head consultant di berbagai perusahaan dalam dan luar negeri.


MENGUKUR KONSISTENSI ANAK
Bakat apa yang dmiliki anak anda ? Sebagian orangtua mungkin dapat menjawabnya dengan mudah. Tetapi, kalau anak menunjukkan petunjuk yang samar-samar, sukar rasanya untuk menerka bakat apa yang terpendam di dirinya. Untuk itu, coba lakukan trik Ayah Edy berikut :
a. Ukurlah tingkat konsistensi anak terhadap minatnya. Misalnya, terhadap sepak bola. Tanyakan kepadanya, apa yang membuat dia gemar sepakbola.
Jawaban anak mengisyaratkan bakat yang dimilikinya. Anak Anda mungkin menganggap sepak bola seru karena teman mainnya asyik. “Itu tandanya, jiwa sosialnya kuat. Dia berpotensi humas atau marketing pertandingan olah raga”, prediksi Ayah Edy.
Anak Anda merasa pertandingannya yang menjadi factor penyebab kecintaannya kepada sepak bola ? Nah, kemungkinan besar, ia berbakat menjadi pesepakbola andal. ”Saat menelusuri bakatnya, ajak anak berdialog dengan cair”.
b. Ketika anak dalam proses coba-coba, berikan kesempatan padanya untuk menjajal bidang yang diminatinya. Di usianya yang masih belia, anak memang berada pada masa pencarian. “Orangtua harus tahu kapan harus memberikan dorongan dan kapan harus mengerem desakannya terhadap anak.

PERILAKU ANAK BERLEBIHAN
Perilaku berlebihan lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Apakah anak Anda suka berlebihan makan eskrim, terlalu sering bermain dibawah sinar matahari terik serta mencuri-curi kesempatan untuk meneguk banyak minuman soda ?
Berikut adalah beberapa tip untuk menolongnya jika dia berlebihan :

MAKAN BERLEBIHAN
Saat menjemput si kecil dari ulang tahun temannya, dia tampak memegangi perut sambil mengaduh kesakitan. Sepertinya dia terlalu banyak menyantap potongan kue tart dan eskrim. Setelah berlebihan makan eskrim dan kue, pertahankan menu makan yang sederhana. Hindarkan soda (yang akan mengakibatkan anak banyak buang gas) dan susu (Yang akan terasa sangat menyenangkan setelah semua konsumsi penuh gula tadi). Tak perlu minum obat. “Penahan rasa sakit malah akan lebih memperburuk perut anak anda”, kata Mark Widome, MD, MPH, konsultas Parents dan professor bidang pediatric di Penn State Children’s Hospital, Hershey. Hindari pula antacid (penetralisir asam perut). “Masalahnya bukan terlalu banyak asam di perut, melainkan terlalu banyak kue”! Jika menungkinkan, tetaplah berada di rumah. Karena ada kemungkinan anak Anda akan mengalami diare atau muntah (sekali atau dua kali). Jadi anda tak alan repot mencari kamar mandi jika tetap berada di rumah.

TERLALU BERSEMANGAT DAN KECAPEKAN
Anak anda menolak tidur siang saat berada di rumah neneknya. Tentu karena dia tak mau melewatkan sedikit waktu pun. Dan kini, ia terus merengek, mudah marah, dan sudah pasti, terlalu capek untuk tidur. Kurangi stimulasi. Redupkan lampu, tutup tirai, dan bawakan boneka kesayangannya. Mandikan dia dengan air hangat. Ini akan membuat tubuhnya rileks. Dan jika anak Anda terbiasa mandi sebelum tidur, ini bisa menjadi pertanda baginya bahwa waktu tidur telah tiba. Minta dia tidur siang. Tapi, jangan sebut itu sebagai tidur siang. Biarkan saja dia berbaring di sofa depan TV dan tunggu hingga dia mengantuk dan tertidur. Jika dia bermalas-malasan di sofa tepat sebelum waktu makan malam, kemungkinan dia akan tidur selama dua puluh menit. Jika lebih dekat ke waktu tidur, Anda bisa pindahkan dia ke kamarnya saat dia terlelap.

GILA SODA
Anda membawa si kecil bermain kerumah teman Anda dan meneguk soda selama Anda berdua berbincang-bincang. Kini, anak Anda mengalami kelebihan kafein dan berbicara sangat cepat dalam waktu satu menit. Biarkan saja. “Ada kata-kata bijak di dunia kedokteran : “Jangan Cuma melakukan sesuatu, diam sajalah”! kata Dr. Widome. Waktu akan menyelesaikan banyak masalah. Termasuk diantaranya adalah kelebihan kadar kafein. Zat ini akan meninggalkan pencernaan si kecil dalam empat sampai lima jam. Selama menunggu anak tenang, pasanglah DVD atau musik. Sudah pasti Anda harus menghindari semua produk yang mengandung kafein untuk sisa hari yang ada. Termasuk cokelat, soda, the, dan beberapa jenis obat penahan rasa sakit (periksalah bahan-bahan yang terkandung dalam tiap produk).



4. MEMBESARKAN PEMIMPIN
(Republika, Ahad 30 Maret 2008)

Sebaiknya orangtua lebih menyentuh hal psikologis
dan kebudayaan dalam mendidik anak untuk menghadapi masa yang akan datang, yaitu zaman yang tak dialaminya sendiri.


Mendidik anak jadi pemimpin ? Mengapa tidak. Karena hal itu adalah suatu keniscayaan ! Anak-anak kita kelak memang tidak harus jadi presiden, pemimpin perusahaan multi nasional. Tapi, mereka akan menjadi pemimpin di berbagai aspek kehidupan. Minimal pemimpin dalam rumah tangganya.
Pengamat dunia marketing, Hermawan Kertajaya menyebut ada banyak cara dalam mendidik anak untuk menjadi pemimpin. Masalahnya, orangtua mendidik anak untuk menghadapi masa yang akan datang. Suatu zaman yang tak dialaminya sendiri.
Orangtua, menurut Hermawan, harus sadar bahwa era globalisasi semakin ganas. Patokan-patokan lama pun tak lagi selalu cocok. Ia melihat sebaiknya orangtua jangan hanya menuntut nilai anak yang harus tinggi. Sebab, nilai tidak menjadi patokan dalam kemampuan anak dalam kepintaran atau pun kesuksesan. Sudah banyak contoh orang yang sukses bukan hanya ditentukan dari IQ-nya.
Pendidikan memang investasi jangka panjang untuk masa depan, tapi apa arti sebuah pendidikan bila tidak bisa membuat anak menjadi orang yang mempunyai moral yang baik untuk mengimplementasikan ilmu yang mereka dapat dalam dunia pendidikan.
“Setting global berubah, membuat konsep dalam pendidikan juga berubah”, tutur Hermawan. Berkembangnya zaman ke era global sebaiknya membuat dunia pendidikan untuk lebih maju agar bisa menghasilkan orang yang tangguh di ketatnya persaingan global (kompleksitas masalah, cepatnya informasi).

Mengisi yang tersapu.
Lalu, apa yang bisa dilakukan para ayah-bunda mengantarkan sang buah hati menuju masa depannya ? Hermawan menunjuk pada satu arah yang sering luput dari perhatian. “Sebaiknya orangtua lebih menyentuh pada hal psikologi anak dan juga kebudayaan yang sekarang ini sudah mulai pudar tersapu globalisasi” kata Hermawan dalam Seminar Interaktif Creative Parenting: Raising Young Leader yang diadakan Madania Jakarta.
Prof Komaruddin Hidayat juga melihat hal yang serupa. Menurut dia, semakin majunya peradaban zaman membuat orangtua harus mempersiapkan anak-anak mereka agar menjadi anak-anak yang tangguh di masa depan. Itu artinya, yang penting bukan hanya sekedar memiliki bekal pengetahuan. Tapi, lebih jauh dari itu. Anak diajarkan agar mempunyai perilaku dan juga kemampuan untuk meng-implementasikan pengetahuan yang dia dapat dengan baik di masyarakat.
Komaruddin mengakui, pengetahuan memang penting untuk menunjang bekal anak di masa depan. “Tapi hal itu saja belum cukup tanpa adanya kemampuan dan juga perilaku yang baik guna keberhasilan di masa depan”, tambahnya.
Kemampuan yang dimaksud, jelas dia, yaitu bagaimana anak memiliki konsep yang baik dalam belajar, rencana yang terarah, dan juga tempat yang efektif dalam belajar.

Perlu kreatif
Dalam perkembangannya, jelas Hermawan, sebaiknya anak diajarkan untuk bisa mengambil keputusan sendiri. Ambil contoh, dalam hal memilih jurusan, walaupun ada masukan dari orangtua, tapi keputusan akhir sebaiknya diserahkan kepada anak itu sendiri. “Anak akan belajar untuk mandiri, bertanggung jawab, mengambil risiko dari keputusannya sendiri”, katanya.
Untuk itu, Hermawan berpendapat, orangtua perlu creative teaching dan creative parenting dalam mendidik anak. “Orangtua tidak harus memaksakan kehendaknya ataupun menggurui anaknya tapi, sebaiknya harus bisa mengarahkan anaknya untuk bisa mengambil keputusan sendiri”, katanya.
Kemandirian, keberanian mengambil keputusan, serta bertanggung jawab adalah beberapa sifat yang harus dimiliki pemimpin. Sifat-sifat itu dibutuhkan pemimpin di masa kapanpun ia berada. Sifat-sifat seperti itu penting dipupuk subur pada anak-anak.
Anak, menurut Hermawan, penting dibiasakan berpikir positif untuk menghayati hidup. Yakni, hidup sebagai sebuah ‘festifal’ dengan banyak tantangan yang harus dihadapi. Nah, orangtua harus menempatkan dirinya sebagai pembimbing dengan penuh kasih-sayang. Anakpun kemudian akan berani melakukan eksplorasi dan sosialisasi sebagai bekalnya di masa depan.
Bersamaan dengan itu, para ayah-bunda sebaiknya memberi tahukan kepada anak agar jangan membayangkan hidup selalu mudah. Untuk mengarungi kehidupan yang demikian, kata Hermawan, orang-tua penting pengajarkan anak mempunyai sikap untuk berkawan dan bersahabat. “Selain itu, juga mau berguru dengan problem kehidupan”, tambahnya.
Komaruddin juga menandai pentingnya ketrampilan bersosialisasi. Ia menyebut tiga hal yang penting ditanamkan sedari kecil untuk mendidik anak menjadi seorang pemimpin yang bijaksana. Yang paling utama adalah sikap. Yakni, mempunyai tingkah laku yang baik dan juga sopan dalam berinteraksi dengan sesama. Kedua, kemampuan. “Kemampuan yaitu mengajarkan anak supaya bisa mengimplementasikan pengetahuan yang ia dapat”, kata dia, “dan yang ketiga adalah pengetahuan itu sendiri”.
Pada tahap yang paling dasar, menurut Komaruddin, orangtua penting menanamkan nilai-nilai yang jelas. Penanaman nilai mengenai benar dan salah, baik dan buruk, halal-haram, penting dilakukan pada rentang usia 0-8 tahun. “Pada usia itu anak perlu mempunyai batasan” ujar dia, menambahkan.
Tak kalah penting adalah unsure estetika dan motivasi, yaitu dimana anak diajarkan mengapresiasi musik, seni, dan pembelajaran diri. Komaruddin mengingatkan orangtua, sebaiknya jangan terlalu membatasi anaknya beraktivitas.

LIMA KETERAMPILAN CALON PEMIMPIN
1. Mengomunikasikan gagasan. Biasakan anak latihan berbicara di depan umum
2. Organisasi, membangun struktur dan keteraturan ke dalam pekerjaan. Biasakan anak menggunakan checklist sederhana menulis tugas-tugas yang harus dilakukan, menandai yang sudah diselesaikannya.
3. Memecahkan masalah. Ajukan situasi-situasi sulit dan dorong dia memunculkan solusi sebanyak mungkin. Diskusikan baik dan buruknya tiap solusi.
4. Mengembangkan rasa percaya diri yang sehat. Sediakan waktu khusus untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang disukai anak.
5. Menetapkan sasaran yang realistis. Ajak anak mendaftar ‘apa saja yang harus dilakukan’, bantulah anak menetapkan beberapa sasaran yang masuk akal dalam satu pekan, satu bulan.

Kolom Parents :
JADI BAYI LAGI
Banyak anak tak sabar melewati masa bayi. Mereka ingin menyamai kakaknya, mencoba bermain dengan mainan untuk anak yang lebih besar, dan menyangkal dengan keras, “Aku bukan bayi lagi”. Karena itu, Anda mungkin terkejut ketika si kecil tiba-tiba kembali bertingkah seperti bayi, ngambek, minta digendong, dan terus menempel pada Anda. “Anak-anak pada tahap ini cepat menjadi independen, tapi tetap butuh merasa dekat dengan orang tuanya”, kata Andrew Wenger, PhD, professor psikologi di University of Miami. Perilakunya mungkin membuat Anda pusing tapi sebenarnya cukup mudah memahami gejolak emosi si kecil dan cara menanganinya.

APA PEMICUNYA ?
Transisi apapun – mulai dari masuk TK, pindah rumah, ganti pengasuh – bisa mengganggu kemampuan anak mengendalikan diri dan membuatnya cemas. “Batita belum bisa menyampaikan apa yang dirasakan dan alasannya”, kata Tracy Pipes, spesialis anak di Children Medical Center di Dallas. “Selain itu, ia belum mengembangkan kemampuannya mengatasi masalah”. Maka strateginya adalah kembali ke benda-benda yang menimbulkan rasa nyaman – seperti selimut atau empeng. Kadang tidak ada hal spesial yang mendorong batita untuk bertingkah seperti bayi. Secara sederhana, batita bisa bertingkah demikian hanya karena menghadapi kenyataan bahwa ia sedang tumbuh. Ia juga senang dengan semua pengetahuan dan kemampuan barunya. Di sisi lain, kepanikannya menandakan bahwa kemampuan kognitif anak menjadi lebih baik. “Imajinasi anak berkembang seiring dengan pertumbuhan”, kata Dr. Wenger. “Itulah sebabnya mengapa anak yang biasanya tenang dengan pengasuhnya kembali menggelantung di kaki Anda saat hendak ditinggal pergi. Dia sudah bisa menebak, apa jadinya jika berpisah dengan Anda.

KEMBALI BERSIKAP DEWASA

Amini perasaannya.
Begitu Anda menemukan penyebab si kecil bertingkah seperti bayi, biarkan dia tahu bahwa Anda memahami perasaannya. Misalnya, katakana “Mama ngerti kok, kenapa kamu takut masuk TK”.

Izinkan dia (meski hanya sebentar).
Biarkan anak berperilaku seperti bayi selama beberapa menit dalam sehari. “Anak-anak mencari cara untuk meyakinkan diri bahwa Anda akan tetap peduli meski mereka telah tumbuh besar”, kata Ratliff Schaub, M.D., dokter anak di Columbus Children’s Hospital, Ohio.

Beri perhatian lebih.
Jika dia selalu naik ke atas pangkuan, lalu memaksa Anda untuk bermain dengannya, berikan perhatian seperti yang dia inginkan. Ini penting, khususnya saat dia cemburu dengan adiknya. Batita perlu tahu bahwa dia masih punya kesempatan untuk berduaan saja dengan Anda.

Jangan mengkritisi.
Mengingat perilaku anak hanya untuk menarik perhatian, maka jika anda marah, si kecil justru akan bertingkah lebih parah. “Menghukum anak karena bertingkah seperti bayi hanya akan membuatnya lebih stress dan dia akan semakin kekanakan”, kata Dr. Ratliff Schaub. Lebih baik tawarkan semacam insentif jika dia bisa bersikap wajar. Misalnya, “Mama akan bacakan dongeng setelah makan malam kalau kamu bisa makan sendiri”. Lalu pujilah dia jika berhasil melakukannya.

Puji dia jika bisa bersikap layaknya kakak.
Dia tidak akan tertarik untuk bertingkah seperti bayi bila diingatkan bahwa di usianya sekarang ada banyak hal menyenangkan yang bisa dilakukan. Seandainya batita Anda bertingkah seperti bayi karena cemburu kepada adiknya, beri dia tanggung jawab. Biarkan dia membantu anda untuk membuat adiknya bersendawa atau memegangi handuk saat anda memandikan si adik. Jangan lupa memuji tindakannya yang sangat menolong. Dia akan merasa diperhatikan tapi secara positif.


5. Stimulasi Sentuhan, Sebagai
PEMBENTUK IKATAN BATIN IBU-ANAK
(Sindo, Rabu 26 desember 2007)

Bentuk stimulasi dini untuk merangsang kecerdasan
dan perilaku bayi harus meliputi seluruh pancaindranya.
Orangtua kerap lupa bahwa kulit merupakan
media perangsangan.

Bentuk stimulasi melalui kulit atau sentuhan bdilakukan setiap saat. Mulai ketika ibu membelai, mencium, memeluk, menggendong, memijat, menggerakkan, memandikan, memakaikan baju, mengajak bermain, hingga menidurkan si bayi.
Salah satu kegiatan yang sebaiknya dilakukan ibu kepada bayinya ialah memijat sekali gus berinteraksi, seperti berbicara atau bercanda dengan si kecil.
“Justru kalau anak rewel kemudian dia dimarahi, dia akan terstimulasi secara negatif”, ujar Sudjatmiko MD SpA. Pijatan itu sendiri bisa dilakukan sejak bayi baru lahir sampai berusia tiga tahun. Tentu saja pijatan lembut yang menyerupai sentuhan. Ini biasanya dilakukan pada bayi baru lahir sampai tiga bulan, stimulasi berupa sentuhan, pelukan dan gendongan, sambil diajak bicara atau diperdengarkan suara atau musik. Bisa juga berupa menggulingkan bayi ke kanan dan kiri atau tengkurap dan telentang.
Stimulasi sentuhan akan semakin bervariasi seiring bertambahnya usia anak. Selanjutnya, pijatan bisa terus dilakukan tanpa ada batasan usia tertentu.
Menurut Sudjatmiko, meskipun kini ada pemijat bayi, akan tetap lebih baik jika ibunya sendiri yang memijat dengan penuh stimulasi emosi, bukan untuk profesionalitas.

Dia menuturkan, stimulasi sentuhan bermanfaat membentuk ikatan batin (bonding atau attachment) sehingga anak merasa nyaman dan menjadi percaya diri. Secara fisik, manfaat stimulasi sentuhan adalah memperbaiki aliran darah, pernapasan, pencernaan, kekebalan tubuh, berat badan, juga kelenturan otot.
Untuk perkembangan otak, stimulasi sentuhan lewat pijatan dapat merangsang perkembangan otak dan syaraf, merangsang refleks dan system sensorik. Selain itu, secara emosional, anak akan lebih dekat dengan ibu, perilakunya tenang serta mudah diatur, tidak rewel, dan memiliki pola tidur yang lebih baik.
“Belum lagi secara kognitif, bayi akan terangsang untuk dapat lebih baik mengenali, membedakan, dan mengembangkan kecerdasan” papar Sudjatmiko.
Sebenarnya, stimulasi terhadap bayi dapat dilakukan sejak ia masih berada dalam kandungan, yaitu usia enam bulan. Sudjatmiko menekankan bahwa stimulasi tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan memperdengarkan musik.
“Tidak perlu musik klasik, yang penting bayinya happy, maka sel-sel otak berkembang dan anak akan menjadi semakin cerdas”, tegasnya.
Stimulasi serta hal-hal yang didengar dan dirasakan bayi di dalam kandungan nantinya mempengaruhi temperamen bayi ketika sudah lahir. Ada beberapa tipe temperamen bayi, yaitu bayi yang mudah diatur dan susah diatur.
“Sekitar 40 % bayi tergolong susah diatur. Mengapa ada bayi yang susah diatur dan ada yang mudah ? Bisa dari factor genetik atau factor lain, yaitu stimulasi sejak dalam kandungan. Kalau sejak dalam kandungan ibunya rewel dan banyak mengomel, bayinya yang lahir nanti susah diatur. Tapi kalau sejak hamil ibunya gembira, sabar, penuh kasih saying, anaknya nanti mudah diatur”, tutur Sudjatmiko.
Namun, dia menegaskan bahwa anak susah diatur pun dapat diperbaiki dengan sikap orangtua yang otoritatif dan penuh kasih sayang. Orangtua perlu menyesuaikan dengan sifat anak, bukan anak yang menyesuaikan dengan orangtua.
Karena itu, agar stimulasi tidak terganggu, penting untuk menjada kesehatan kulit bayi. Beberapa penyakit kulit yang biasa dialami bayi, misalnya karena biang keringat, ruam popok, iritasi, eksim popok.
Para ibu sangat disarankan memberikan perhatian khusus pada perawatan terhadap kulit sensitive bayi, contohnya menggunakan produk perawatan yang bagus dan cocok. Khususnya, popok yang kerap menjadikan kulit lembap sehingga sering teriritasi.
Menurut Hetty Herawati, Marketing Manager Baby and Child Care Kimberly Clark Indonesia, produk yang aman bagi kulit bayi merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Terutama khususnya bagi kesehatan kulit bayi usia 0-3 tahun.


CERMATI GANGGUAN KULIT BAYI
Berbagai Stimulasi sentuhan pada bayi dan anak dapat terganggu, jika kesehatan kulit terganggu. Beberapa penyakit kulit yang sering menghinggapi balita, antara lain karena gangguan biang keringat, ruam popok, iritasi, dan eksim popok.
“Pengaruh gangguan kulit terhadap bayi bisa membuat bayi merasa tidak nyaman sehingga tidak optimal menerima stimulasi yang diberikan. Bayi juga akan kesulitan mengartikan ‘bahasa sentuhan’ ibu”, tutur spesialis anak dr Sudjatmiko SpA.
Salah satu gangguan kulit yang sering dialami bayi di negara tropis ialah biang keringat. Meskipun hal ini termasuk normal, bila tidak ada penanganan khusus, gangguan tersebut dapat berakibat buruk bagi bayi karena dia akan merasakan gatal. Biang keringat bisa ditandai dengan munculnya bintik-bintik merah berisi air, terutama di dahi, leher, paha, atau lipatan-lipatan tubuh lainnya.
Menurut Sudjatmiko, factor utama penyebab terjadinya biang keringat adalah kulit yang sangat lembap. Sebab kelembaban yang sangat tinggi akan menyebabkan sumbatan pada kulit, sehingga keringat tidak bisa keluar dengan sempurna. Akhirnya, sumbatan tersebut menjadi gelembung atau bintik-bintik kecil berisi air.
“Untuk mencegah timbulnya biang keringat, biasakan bayi untuk mandi tiga kali sehari menggunakan sabun mandi khusus. Setelah itu, taburkan bedak bayi tipis-tipis ke tubuhnya. Bila biang keringat sudah menyebar dan dalam kondisi lecet, sebaiknya segara bawa ke dokter”, tutur konsultan Tumbuh-Kembang Pediatri Sosial itu.
Selain itu, Sudjatmiko menyebutkan bahwa gangguan pada kulit eksim susu atau dermatitis atopik sebagai salah satu penyakit yang sering muncul pada bayi. Eksim kulit dapat dikenali dari gejala bercak kemerahan, yang biasa muncul pada pipi, lengan, tangan, dan bagian tubuh bayi lainnya.
“Gangguan itu bisa dialami bayi yang memiliki kulit hiper sensitive, cenderung mudah terkena eksim susu. Selain itu, alergi terhadap makanan tertentu juga bisa menyebabkan munculnya eksim susu”, papar alumnus Universitas Indonesia ini.
Untuk mencegah eksim susu, beberapa perawatan yang bisa dilakukan, seperti menghindari penggunaan air yang terlalu panas, menggunakan sabun mandi khusus untuk bayi, mengoleskan lotion bayi setelah mandi untuk menjaga kelembaban kulitnya. Jika kondisi membusuk dan lebih banyak kulit teriritasi, segera bawa ke dokter.
Selain itu, bayi juga kerap mengalami ruam popok. Menurut Barbara P Homeir MD dari Alfred I duPont Hospital for Children Wilmington, gangguan ini biasanya ditandai dengan adanya warna kemerahan di sekitar pantat atau bagian yang tertutup popok.
“Penyebab terjadinya ruam popok pada bayi biasanya karena kulit terpapar cukup lama dengan urine atau kotoran yang mengandung bahan ammonia, kulit terpapar bahan kimia, atau terbuat dari plastik pada popok sekali pakai, atau infeksi jamur”, ungkap Barbara.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya ruam popok adalah segera menganti popok si kecil setiap kali basah, kemudian basuh bagian yang tertutup popok dengan air hangat atau dingin, kemudian keringkan dengan handuk kering dan bersih.
Bisa juga dengan memberi krim khusus bayi pada kulit yang sering tertutup popok. Dengan demikian, urine tidak langsung mengenai kulitnya. (ririn s )



BERPERAN DALAM MENGASAH KECERDASAN ANAK
KECERDASAN anak dapat distimulasi melalui pancaindra, terutama pada masa balita. Saat itu, otak anak tengah mengalami perkembangan pesat.
Menurut banyak ahli, kecerdasan seorang anak dapat dibangun melalui lingkungannya. Jadi, meski dia terlahir dari pasangan orangtua yang memiliki kecerdasan yang tinggi, jika tidak ada stimulasi atau rangsangan yang memadai, potensi kecerdasannya kurang berkembang secara maksimal.
Sebaliknya, seorang anak yang terlahir dari pasangan yang mempunyai latar belakang pendidikan biasa-biasa saja, bukan berarti tingkat kecerdasannya kurang, bisa menjadi anak yang memiliki kecerdasan optimal karena mendapatkan rangsangan yang cukup untuk kecerdasannya.
Menurut Bobby De Porter dan Mike Hamacki dalam bukunya ‘Quantum Learning’ , kaitan antara stimulasi pancaindra dengan kecerdasan seorang anak, yaitu stimulasi diperlukan untuk mengembangkan kecerdasan otak pada masa-masa the golden age (usia 0-3 tahun). Setelah masa itu, perkembangan otak manusia pun akan melambat. Jadi, manfaatkan masa ini dengan sebaik-baiknya.
“Cepatnya perkembangan otak dalam periode ini ditandai dengan pertambahan berat otak dari 400 gram pada waktu lahir menjadi hampir tiga kali lipatnya setelah lahir tahun ketiga”, ungkapnya.
Menurut dia, pada tahun pertama kehidupan inilah fungsi motor sensorik seorang anak mulai bekerja. Pada usia satu tahun, otak motor sensorik sudah cukup berkembang dan terjadi peningkatan luar biasa dalam jalinan-jalinan serabut syaraf otak serta emosional kognitifnya juga bekerja. “Jika terlambat, stimulasi yang diberikan agak susah”, tegasnya.
Bobbi mengungkapkan, otak manusia sebenarnya terbelah menjadi dua bagian, yaitu otak kiri dan kanan. Pada beberapa eksperimen yang telah dilakukan, kedua belahan otak ini memiliki tugasnya masing-masing dalam cara berpikir. Masing-masing juga punya spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan tertentu, walau ada beberapa persilangan dan interaksi antara kedua sisi.
Begitu pentingnya kedua belahan otak ini sehingga bila keduanya mampu berkembang secara seimbang, akan mempermudah seseorang untuk belajar.
( ririn s )

Senam Otak
STIMULASI DENGAN BRAIN GYM
Seperti senam pada umumnya, dasar dari senam otak adalah gerakan. Hanya, gerakan-gerakan yang dilakukan dalam senam otak ritmenya cenderung lambat dan memiliki fungsi atau tujuan tertentu, seperti meningkatkan konsentrasi, meredakan ketegangan otot (relaksasi), mempertajam daya ingat.
Sebenarnya, senam otak sudah ada sejak 30 tahun lalu. Awalnya, diperuntukkan bagi anak-anak yang mengalami kesulitan membaca. Sang pemrakarsa yang juga ahli kinesiologi Dr Paul E Denisson PhD kebetulan juga pernah bermasalah dalam hal membaca dan belajar. Dari pengalamannya itu, dia tergerak untuk mencari solusi dalam membantu anak-anak yang bermasalah dengan membaca.
Akhirnya, dia mendapati ternyata bergerak itu adalah pintu masuk untuk belajar dan proses belajar itu sendiri tidak harus selalu di belakang meja. Hasil temuannya yang kemudian diwujudkan dalam ‘gerakan senam otak’ itu menunjukkan hasil positif pada anak-anak dengan kesulitan belajar dan membaca tersebut.
Salah seorang instruktur senam otak Lely Tobing mengatakan , di dalam tubuh banyak otot yang berhubungan langsung dengan otak.
“Senam otak intinya adalah melakukan serangkaian gerak otot yang nantinya bisa menyeimbangkan otak kiri dan kanan. Dengan begitu, logika maupun kreativitas anak jadi seimbang”, ujar Lely, yang mengajarkan senam otak ini kepada ketiga putra-putrinya.
Dampak senam otak, dilanjutkan Lely, dapat membantu kepercayaan diri, menambah konsentrasi, serta meningkatkan focus, daya ingat, dan mengendalikan emosi anak.
Senam otak untuk anak biasanya hanya dilakukan hanya 3-5 menit dan lebih mengarah pada motorik karena berupa gerakan otot. Namun, otak itu sendiri juga dipengaruhi gerakan-gerakan otot.
Dalam diskusi, Lely memperagakan beberapa brain-gym , antara lain gerakan brain button tujuannya agar anak lebih tepat dalam menggambarkan sesuatu yang abstrak, seperti angka dan huruf. Kemudian, space button tujuannya membantu anak lebih focus.
( ririn s ).


6. MENANGIS BUKAN BERARTI CENGENG
Sindo, Jumat 4 Januari 2008

Benarkah seorang bayi harus lebih sering menangis,
bila perlu cubit dia agar menangis. Konon
tangisan bayi adalah olahraga baginya.

Tangisan seorang bayi sebaiknya dipandang positif. Terkadang ada orang yang menganggap anak yang sering menangis sebagai cengeng. Padahal tangisan itu merupakan satu bentuk komunikasi si bayi karena belum bisa bicara.
Seperti yang dipercaya Erna Bambang, 35, dia membiarkan si kecil yang baru dilahirkan seminggu lalu menangis di pagi hari. “Saya biarkan saja, dia sedang berolah raga” ujar ibu rumah tangga ini dengan wajah berseri.
Menurut Erna, dia tak perlu mengkhawatirkan kondisi si kecil yang menangis di pagi hari, apalagi bila tidak ada tanda-tanda badannya sakit. “Kata dokter, ini akan menyehatkan jantungnya”, ujarnya.
Tentang tangis bayi, psikolog anak dan remaja Vera Itabiliana mengatakan, ini adalah cara bayi melakukan komunikasi. “Satu-satunya alat Bantu komunikasi bsyi adalah melalui tangisan”, katanya.
Menurut dia, tangisan di usia 0-3 bulan lebih banyak berkaitan dengan sesuatu yang dirasakan tidak nyaman bagi si bayi. Misalnya lapar, berkeringat atau popoknya basah setelah pipis. Bisa juga karena bayi merasakan sesuatu yang sakit.
Kemudian, di usia empat bulan sampai satu tahun, tangisan bayi biasanya berkaitan langsung dengan fisiknya. Di usia itu biasanya anak sudah bisa merasakan cemas. Misalkan si bayi tidak melihat ibunya atau tak terlihat di pandangan dia, maka si bayi bisa menangis.
Pada usia sembilan bulan, biasanya tangisan bayi berkaitan dengan rasa frustrasi yang dialaminya. Contohnya, kalau si anak sedang memainkan sesuatu, tapi tak bisa, maka dia akan frustrasi dan menangis. Bisa juga apabila anak minta diperhatikan oleh ayah-ibunya, tapi tidak mendapatkan perhatian, maka si kecil akan menangis. Bertambah besar usianya, maka misi si anak menangis berbeda-beda.
Tentang mitos, sebaiknya seorang bayi harus sering menangis, dan bila perlu dicubit agar menangis karena menangis adalah olahraga bagi bayi. Vera mengatakan, benar tidaknya mitos itu tidak dapat diketahui persis. Karena hingga kini, belum ada penelitian ilmiah yang berkaitan dengan hal tersebut.
Ungkapan mitos tadi mungkin dimaksudkan agar si ibu tidak terlalu panik dan khawatir bila anaknya menangis. Menangis bagi bayi itu bagus. Jadi mitos tadi bisa saja tujuannya untuk meminimalisasi kekhawatiran ibu menyaksikan anaknya sebentar-sebentar mengis.
Tapi yang pasti, seorang bayi tidak boleh menangis terlalu lama atau lebih dari lima menit. Itu akan berpengaruh pada proses attachment si anak dengan ibu atau pengasuhnya. Kalau si bayi dibiarkan terlalu lama menangis, dia akan merasa in secure atau tidak aman dengan lingkungannya. Dalam hatinya, si anak akan mengatakan, “Kenapa kok saya butuh sesuatu ini tidak langsung dipenuhi”.
Meski tak boleh dibiarkan terlalu lama menangis, ketika si anak sedang menangis jangan serta merta langsung menggendongnya. Tanpa mengetahui si bayi menangis karena apa ? itu tidak baik juga.
Sebaiknya, lihat terlebih dulu si anak menangis karena apa ? Kalau memang dia menangis karena butuh perhatian atau kedinginan, maka tidak apa-apa si anak digendong. Tapi kalau si anak menangis karena popoknya basah, tidak baik bila langsung digendong karena dia akan terus menangis.
Vera menambahkan, ada literature (buku) yang bisa dibaca berkaitan dengan jenis-jenis tangisan bayi. “Tapi, yang pasti guru terbaik untuk mengenali tangisan bayi adalah pengalaman si ibu atau pengasuh bayi sendiri”, paparnya. (nuriwan tri hendrawan/ titi k ).

MEMBUAT BAYI NYAMAN.
Banyak cara dapat dilakukan untuk menentramkan si buah hati. Berikut beberapa cara untuk menghentikan tangisan bayi.
a. Gendong
Gendong bayi dalam posisi tegak lurus dengan perut menempel di dada kita. Tepuk-tepuk punggungnya dengan lembut. Bawa dia berjalan-jalan mengelilingi ruangan atau ke ruangan lain. Bisa juga dengan cara meletakkannya di kereta bayi dan dorong perlahan-lahan dengan hati-hati.
b. Usap atau tepuk-tepuk lembut
Beberapa bayi dapat ditenangkan hanya oleh sentuhan tanpa harus menggendongnya. Dia bisa tenang hanya karena ditepuk-tepuk pantatnya atau diusap-usap punggungnya, sambil kita bersenandung lembut.
c. Beri sesuatu untuk diisap
Pada umumnya setiap bayi menjadi tenang dengan mengisap. Beri bayi mainan khusus untuk digigit, atau bimbing dia menemukan jari-jarinya untuk dimasukkan ke mulutnya. Bisa juga kita menggunakan jari kelingking yang sudah dibersihkan untuk ia isap.
d. Alihkan Perhatiannya.
Anda dapat mengalihkan perhatiannya dengan memperlihat kan sesuatu yang menarik sehingga ia lupa pada tangisnya. Gambar-gambar warna-warni atau mainan aneka bentuk dan warna akan memesonanya. Cermin juga bisa digunakan. Dia akan senang melihat wajahnya sendiri.
e. Tunggu Amarahnya Reda
Tunggu saja sampai kemarahannya reda. Setelah kemarahan nya reda, beri kata-kata yang menyejukkan dan buat dia asyik dengan mainan penuh warna. Rangkulan dan gendongan juga bisa menentramkannya. Kasih saying kita bukan hanya mengerem kemarahannya. (nuriwan t)


MENGENAL JENIS TANGISAN BAYI
Saat bayi menangis bisa memiliki arti yang berbeda-beda. Dr Richard Woolfson dalam bukunya yang berjudul Your Child’s Body Language, mengatakan, setiap jenis tangisan memiliki pesan tersendiri untuk ayah-ibunya.
1. Tangisan Ingin Menyusu
Bayi akan mulai menangis jika lapar. Tangisannya biasanya berulang-ulang. Pertama, dia menangis lalu berhenti sejenak untuk mengambil napas, menangis lagi, berhenti sejenak untuk mengambil napas, demikian seterusnya.
Mengatasinya, susui si kecil hingga kenyang. Atau, bisa jadi sudah waktunya makan bagi si bayi.

2. Tangisan Popok Basah
Bayi lebih suka popoknya bersih dan kering. Jika popoknya basah, dia akan menangis karena merasa tidak nyaman. Tangisan menyatakan popokku basah biasanya perlahan, kemudian makin keras, dan makin keras. Kita juga bisa memperhatikan bahwa bayi bergeliut-geliut di tempat tidurnya. Untuk mengatasinya, segera periksa dan ganti popoknya.

3. Tangisan Badan Sakit
Semua bayi menangis jika merasa sakit. Tangisannya bernada tinggi, hampir seperti jeritan. Kemudian dia terengah-engah pada saat menarik napas, lalu menjerit lagi. Cara mengatasinya, cobalah temukan apa yang membuatnya kesakitan. Pegang perutnya, jangan-jangan kejang. Goyang-goyang tangan, kaki atau leher dan kepalanya. Jika dia menjerit lebih keras ketika menggoyang bagian tertentu, mungkin ada yang sakit karena terjatuh tanpa sepengetahuan kita. Untuk itu, kompreslah bagian-bagian yang sakit dengan air hangat.

4. Tangisan Merasa Bosan
Bayi selalu memerlukan stimulasi dan akan timbul bosan jika dia tidak memperolehnya, atau bahkan bosan dengan satu aktivitas saja. Tangisan jenis ini dirancang untuk mendapatkan perhatian ayah dan ibunya. Tangisan ini lebih mirip teriakan ketimbang tangisan. Si kecil akan tetap menangis seperti ini selama dia merasa bosan. Mengatasinya, ganti aktivitasnya. Misalkan, temani dia bermain, bernyanyi, membacakan cerita atau bisa juga ajak jalan-jalan.

5. Tangisan Minta Gendong
Bayi kita akan menjadi cengeng jika lelah. Meskipun mungkin saja dia belum ingin tidur. Si bayi akan merengek dengan menjengkelkan. Kepalanya mungkin terangguk-angguk untuk beberapa detik. Bisa juga dia menggosok-gosokkan tangannya pada mata serta wajahnya. Mengatasinya, ayunlah dia perlahan-lahan sampai akhirnya dia tertidur.

6. Tangisan Kesepian
Bayi pun sebenarnya senang bergaul. Dia ingin kita selalu berada di sisinya. Jika merasa kesepian, tangisannya akan terdengar menyedihkan. (nuriwan t )



7. SENYUMAN BATITA, HATINYA BAHAGIA
(Republika, Ahad 6 April 2008)

Senangkah Balita Anda ?
Bahagiakah dia ?

Si mungil Kafka sungguh menggemaskan. Bocah yang baru memasuki usia tiga tahun ini selalu ceria. Ia senang diajak mengobrol, tingkahnya pun aktif.
Tak heran, kehadiran Kafka terasa berkah bagi Melati dan Faisal, ayah bundanya. Sejak lahir ia tidak banyak masalah. Dia jarang rewel, kalaupun menangis karena pipis atau lapar ingin susu. Melati mengakui bawaan Kafka sejak bayi tampak sebagai anak bahagia dan membahagiakan.
“Kondisi ini akan saya jaga, karena saya ingin kebahagiaan ini berlanjut tidak hanya di masa Kafka bayi, tapi juga terbawa sampai dewasa”, katanya.
Namun melati mengaku, masih bingung bagaimana sebenarnya membuat sang anak bahagia. Peluk ciumkah ? Perut kenyangkah ? Kehadiran mainankah ?
Ekspresi diri.
Psikolog anak Indri Savitri Msi paham benar kepedulian, terutama semangat ‘orangtua baru’ seperti Melati.
“Perkembangan manusia itu ‘bertahap dan terus berkelanjutan”, katanya. Tahap itu dimulai dari bayi, usia dibawah tiga tahun (batita), usia dibawah lima tahun (balita), dan seterusnya sampai dewasa. Tahapan awal sangat berpengaruh pada perkembangan tahap selanjutnya. “Kalau tahap awal (bayi) sudah bahagia, tentu akan berpengaruh ke tahap perkembangan berikutnya”.
Namun, siapa bisa tahu jalan hidup manusia ? Meski saat balita ia bahagia, usia dewasa tak ada jaminan ia pasti bahagia pula. Sebab, kata Indri, setiap tahapan ada tantangan-tantangan yang harus dilalui oleh seorang anak. Di sini pengaruh keluarga dan lingkungan amat berperan. Namnun, jika tahap-tahap dan pengaruh luar dapat dilalui balita/anak dengan mulus dan menyenangkan, ‘teori’ selagi balita bahagia akan terbawa sampai dewasa, bisa terkabul.
Di sinilah pentingnya peran orangtua untuk membahagiakan balita. “Membantu di sini bukan memaksakan kehendak orangtua, membiarkan sejak balita mengekspresikan keinginannya agar mereka percaya diri dan menjadi diri sendiri”, papar kepala Divisi Klinik Lembaga Psikologi UI.

Memenuhi kebutuhan.
Kebahagiaan anak berkaitan dengan terpunuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebahagiaan balita, Indri melihat ada tiga hal yang harus dipenuhi orangtua. Yakni kebutuhan fisik, mental dan social.
Kebutuhan fisik an tara lain terpenuhinya makanan asupan makanan bergizi dan asi yang dibutuhkan balita. Kebutuhan mental dengan mengajak bermain, menyentuh, mencurahkan kasih sayang, perhatian yang membuat balita nyaman. Orangtua harus mengajarkan nilai-nilai aturan yang bisa dipahami balita. Orangtua pun memberi kesempatan balita mengeksplorasi kesenangannya. Sedangkan kebutuhan social mengajak balita berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Menurut Indri, walaupun bayi belum mengerti apa pun, hanya bisa menangis, tidur, dan menyusu, ketiga kebutuhan tersebut harus sudah dipenuhi.
Bagaimana menandai bayi yang sudah tercukupi kebutuhannya ? Indri menyebut sejumlah indicator. Fisik si bayi sehat, tidak rewel, dan mudah beradaptasi dengan orang lain. “Tapi bukan berarti bayi bahagia tidak pernah menangis,” ujarnya.
Setiap bayi, kata Indri, pasti menangis bila keinginannya tidak terpenuhi. Setelah dipenuhi maka ia akan diam. Yang perlu diwaspadai adalah bila bayi menangis berjam-jam. “Pasti ada sesuatu, apakah bayi itu sakit atau ada gangguan tidur”, kata dia.
Kebahagiaan seorang balita, menurut Indri, secara nyata baru terlihat ketika usia lebih dari tiga tahun. Pada usia tersebut balita masih polos, tapi sudah bisa meng-ekspresikan diri. “Dari pancaran matanya sangat jelas menunjukkan respons apakah balita itu bahagia atau tidak”, tegas Indri. “Lihat saja ketika balita digodain, awalnya belum kenal, tapi lama kelamaan dia akan tertawa lepas, ceria, senang tanpa beban”.
Ciri lain balita yang bahagia adalah sikap ekspresif. Ia selalu percaya diri dan mudah bergaul. Contoh yang paling mudah, balita mau diajak bersalaman, menyebut namanya ketika ditanya orang lain.
Lalu, bagaimana cirri balita tak bahagia ? Ini sebagian ter;ihat dari fisiknya yang lemah, kurang bersemangat. Ketika bertemu orang lain, ia biasanya takut, menghindar, dan senang menyendiri.
Indri menambahkan, factor yang paling mempengaruhi balita itu bahagia atau tidak bahagia terlihat dari relasi dengan orangtua. Hubungan balita dengan orangtuanya yang hangat, dekat dan komunikatif, pasti menciptakan balita bahagia.

Senang belum tentu bahagia.
Kebahagiaan bagi balita bukan berarti juga orangtua harus mengabulkan segala keinginan balita. Kesalahan yang sering dilakukan orang tua sibuk, kata Indri, dengan memberi banyak mainan.
“Balita memang senang mendapat sesuatu tapi belum tentu bahagia”, katanya. Sebab kebahagiaan bagi balita ketika situasi psikis dan fisik menjadi satu. Dia merasa nyaman, hangat, dan selalu ada sentuhan fisik dan emosional dari orangtua.
Orangtua yang mengabulkan segala keinginan anak akan membentuk anak yang manja. Anak bahagia bukan anak manja.

APA YANG BISA DILAKUKAN AYAH BUNDA ?
Banyak saran pakar bagi para ayah bunda untuk membesarkan anak yang sehat dan bahagia lahir batin. Berikut diantaranya :
1). Siapkan kegiatan anak yang teratur setiap hari ;
2). Akui perasaan mereka secara verbal agar anak tahu Anda memahaminya. Lalu jelaskan saran Anda ;
3). Perhatikan cara, nada suara Anda berbicara. Ini lebih penting dari pada pesan yang disampaikan .
4). Berilah kesempatan balita menjadfi ‘pemenang’ dari hal-hal kecil yang bisa dilakukannya agar ia merasa menjadi pemenang sesungguhnya.
5). Dengarkan anak. Caranya, rendahkan posisi Anda, lihat matanya, dan dengarkan apa katanya ;
6). Upayakan lebih banyak mengatakan ‘ya’, ketimbang ‘tidak’. Misalnya, “Ya, boleh makan eskrim kalau sudah sembuh batuknya” ketimbang ‘jangan makan eskrim’.
7). Bila Anda mengatakan ‘tidak’, peganglah dengan teguh. Bila merasa perlu menjelaskan, jelaskan secara singkat.
8). Bersikap konsisten. Anak akan kebingungan bila aturan hanya berlaku sementara waktu.
9). Ajarkan rasa hormat dengan menghormati anak.
10) Beri kesempatan anak memutuskan, tapi batas lebih dulu pilihannya ;
11) Jaga selera humor Anda. Humor membuat anak nyaman berkomunikasi dengan Anda;
12) Evaluasi setiap tahap perkembangan Anak. Pastikan tindakan Anda cocok dengan usia anak dan tujuan yang Anda kembangkan bersama.

Kolom Parents.
MENGATUR TIDUR SIANG
Penting bagi anak untuk cukup tidur. Tidur siang mengembalikan energi bayi sekaligus memberi jeda bagi orangtua. Tidur siang juga penting untuk perkembangan. Bayi berkembang cepat saat terlelap. Tapi, berapa lama waktu yang dibutuhkan bayi Anda untuk tidur siang ? Simak jawaban kami terhadap pertanyaan-pertanyaan Anda :

Perlukah saya menetapkan jadwal tidur siang atau cukup mengikuti sinyal bayi, misalnya ketika dia terlihat lelah ?
Tak perlu khawatir soal jadwal tidur dalam 2 bulan pertama. Saat itu, waktu tidur bayi Anda di siang hari sangat tak terprediksi. Rasa kantuknya bisa muncul dalam interval yang tak beraturan dan waktu tidur bisa beberapa menit saja hingga beberapa jam. Anak yang baru lahir biasanya tidur 15-16 jam per hari. Memasuki usia 3 bulan, kebanyakan bayi mulai memiliki sklus tidur-bangun yang lebih terprediksi. “Anda perlu memperhitungkan temperamen anak, seberapa aktif dia, dan gaya hidup keluarga.
Anda sendiri, kata Judi Owens, MD, konsultan Parents serta Kepala dokter anak klinik gangguan tidur di Hasbro Children’s Hospital, Providence. Perhatikan sinal seperti mengucek mata, menguap, serta rewel yang menandakan saatnya tidur. Kebanyakan bayi akan tidur sekitar dua jam setelah bangun di pagi hari. Tidur siang 1-2 jam itu harus dilanjutkan dengan waktu tidur yang sama pada petang hari.

Kami memiliki rutinitas malam, yaitu mandi, menyusu, dan membaca buku sebelum tidur. Perlukah melakukan rutinitas serupa untuk tidur siang ?
Ya, tapi tidak perlu lama. Membacakan buku atau menyanyikan lagu pengantar tidur yang sama saat tidur malam seharusnya cukup untuk membuatnya tidur. “Lebih banyak langkah yang bayi Anda asosiasikan dengan waktu tidur, akan lebih banyak waktu yang dibutuhkan untuk mengantuk”, kata Dr Owens. “Anda harus menidurkan bayi saat dia mulai mengantuk namun masih terjaga. Biarkan dia rewel dan menangis sedikit. Terlalu membujuk malah akan memperpanjang proses rutinitas tidur ini.

Bayi saya tidur siang hanya selama 30 menit. Apakah ia sudah cukup beristirahat ?
“Kepercayaan bahwa tidur siang itu perlu satu jam adalah cerita lama”, kata Jodi Mindeli, PhD. Konsultan Parents dan penulis Sleeping Through The Night. “Banyak bayi tidur siang hanya 30 – 45 menit, dan itu memang sudah cukup. Anda juga tak purlu khawatir jika ia tidur terlalu banyak.
Tak masalah jika bayi Anda tidur 2 jam penuh. “Kuncinya bukan seberapa banyak ia tudur”, ujar Marc Weisbluth, professor pada Medicin, Northwestern, University Chicago. “Jauh lebih penting untuk melihat perilaku anak Anda pada pukul 16.00 atau 17.00. Jika dia tetap tenang, manis, dan santai berarti semua baik-baik saja. Jika tidak, mungkin Anda perlu mengubah sesuatu dalam jadwal tidurnya.



8. ANAK-ANAK INTROVERT, BERMASALAHKAH ?
( Republika, Ahad 6 Januari 2008)

Anak Introvert Bukan Berarti
Tak Bisa Bergaul

Teti (40 tahun) kerap uring-uringan melihat tingkah laku anaknya, Rangga (11) yang dianggapnya misterius. Sejak masuk bangku SD yang dilakukan Rangga pulang sekolah adalah cuci tangan, makan, langsung masuk kamar.
Ketika diintip, Rangga asyik membaca buku atau mengotak-atik komputer. Teman Rangga bisa dihitung jari. Yang sering main ke rumah hanya Arden. Biasanya mereka berdua main catur atau basket.
Sungguh berbeda dengan kakak dan adiknya yang selalu meriah. Selin (9) setiap pulang sekolah menceritakan semua kejadian. Tersandung batu pun pasti cerita. Hal serupa dilakukan Andy (13), kakak Rangga dengan ekspresif menceritakan setiap pertandingan sepak bolanya.
“Maunya apa sih anak ini “? Keluh Tety. Sering mendapat ‘ceramah’ dari ibunya, Rangga semakin mengunci kamar.
Salahkah Rangga ? Menurut psikolog Indri Savitri M Psi, introvert adalah sifat bawaan/dasar dari seseorang yang tertutup lebih senang menstimulasi atau berdialog dengan dirinya sendiri. “Sifat ini tidak negatif dan tidak merugikan”, katanya.
Berbeda dengan ekstrovert yang lebih senang mendapat energi dari lingkungan luar. Ciri dari introvert diantaranya lebih tenang, senang menyendiri. Mereka ini lebih menikmati kegiatan yang indoor seperti membaca buku, main komputer. Mereka kurang nyaman saat berada di lingkungan yang banyak orang.
“Tapi bukan berarti orang introvert ini tidak bisa bergaul. Mereka bisa bergaul dan menyenangkan, walaupun sebenarnya mereka lebih nyaman kalau bergaul secara person to person. Kelebihan anak introvert memiliki kecerdasan intrapersonal yang lebih tajam karena dia senang kontemplasi terhadap dirinya sendiri”, papar Indri.
Ditandai sejak bayi
Anak-anak introvert, jelas Indri, tidak selamanya akan bungkam atau enggan bicara. Ada masa-masa dia akan bicara menceritrakan hal-hal pribadinya. Tapi, ia tak bercerita kepada semua orang, hanya kepada orang tertentu. Itu pun jika ia yakin mengenali orang tersebut secara mendalam.
Sebenarnya sejak bayi, lanjut Indri, sudah bisa terlihat calon anak-anak introvert atau ekstrovert. Ada tiga karakter bayi, yaitu bayi mudah, di mana bayi tipe ini bertemu siapa pun akan tersenyum dan mudah diajak siapa pun (tidak menangis). “Sudah kelihatan kalau bayi seperti ini besarnya cenderung ekstrovert”, tambah Indri.
Ada juga bayi yang karakternya lambat, membutuhkan waktu untuk mengenal orang. Setelah satu jam digoda-goda, baru si bayi mau bermain. Terakhir, bayi yang karakternya sulit. Diajak main rewel, bertemu orang malah takut atau menangis. Karakter bayi seperti ini biasanya akan menjadi introvert.
Bayi yang memiliki cikal-bakal introvert akan semakin parah bila didukung lingkungan yang tertutup. Karena, kata psikolog anak dan remaja ini, factor lingkungan lebih berperan membentuk seseorang dari pada karakter dasarnya.
Tapi, apakah anak-anak termasuk introvert atau ektrovert dapat diketahui saat mereka masuk bangku sekolah. “Anak masuk TK sudah kelihatan”, ujarnya. Anak-anak ekstrovert, sepulang sekolah akan spontan menceritakan kegiatannya di sekolah. Sebaliknya anak-anak introvert akan diam saja. “Mereka akan cerita, kalau ditanya berulang-ulang”, kata Indri.
Bisakah anak-anak introvert berubah menjadi ekstrovert ? Sebenarnya, lanjut Indri, anak introvert tidak harus diubah menjadi ekstrovert. Yang penting orangtua bisa mengarahkan dan mengolah diri si anak. Tapi, kalau kondisi anak sudah benar-benar menutup diri dan tidak bisa berinteraksi dengan siapa pun, berarti sudah berlebihan. “Sebaiknya dibawa ke psikolog”.
Kepala divisi Klinik dan Pelayanan Masyarakat Lembaga Psikologi Terapan UI ini menambahkan, anak-anak introvert pada akhirnya bisa juga membuka diri share terbuka kepada orang lain. Semua itu berdasarkan pengalaman yang dirasakan si anak tersebut. Jika dilakukan pendekatan yang intens dan sabar, perlahan mereka bisa terbuka.
Tapi, sebaliknya kalau pengalaman itu baginya tidak mengenakkan justru semakin memperparah sifat introvertnya. Misalnya, lingkungan keluarga terlanjur mencap si anak tertutup. Misalnya, orangtua mengatakan, “Memang kamu anak tidak bisa apa-apa. Suruh ke depan saja tidak berani”. Dengan label seperti itu, ungkap Indri, anak akan semakin sulit berubah, malah semakin introvert.
Agar tetap bahagia
Semakin usia bertambah semakin sulit lagi untuk mengubah si introvert agar lebih terbuka. Fase perkembangan dimana anak mudah dibentuk pada usia dibawah sembilan tahun. Pada usia lebih dari sembilan tahun lingkungan semakin mendominasi, anak mulai protes atau memberontak.
“Membentuk anak itu sebaiknya sejak usia dini. Kalau fase remaja baru dibentuk yang terjadi malah berantem terus”
Indri menegaskan, yang terpenting bagi orangtua yang memiliki anak-anak introvert adalah harus bisa mengarahkan dan menjadikan anak-nak itu tetap bahagia. Orangtua harus banyak bertanya dan menggali agar anak itu mau bercerita. “Cara menggalinya, jangan mengintrogasi apalagi memaksa”, katanya, “Gali secara pelan-pelan dan sabar”.
Indri mewanti-wanti para orangtua agar tidak meremehkan anak introvert. Sebab mereka memiliki kecerdasan intrapersonal yang tajam karena lebih suka berdialog dengan dirinya sendiri atau media tulisan. “Deangan kekuatan ini”, ujar Indri, “Orangtua bisa mengarahkan anak mengekspresikan dirinya melalui tulisan, menggambar atau lukisan”.
Agar sejak dini anak bisa terbuka, Indri menyarankan orangtua agar mengajak anak bersosialisasi dengan lingkungan luar. Sejak bayi minimal mengadakan rutinitas mengajak bermain dengan usia sebayanya.
Saat usia TK, SD biarkan bersosialisasi dengan teman-temannya. Mereka akan curhat, bercerita kepada teman-temannya. Orangtua tinggal mengarahkan. “Kalau lingkungan tidak mendukung, orangtua mengajak anak janjian di mal dengan teman sekolahnya”, saran Indri.
Semakin matang orang-orang introvert akan menyadari kalau keadaan ketertutupan itu kurang nyaman. Apalagi, bila ia sudah bekerja harus membuka jejaring yang luas. Agar bisa segera masuk lingkungan kerja tersebut, mau tak mau orang-orang introvert akan berupaya membuka diri tidak tertutup lagi. (Vie, berbagai sumber).

Ciri Umum Anak Introvert :
· suka membaca
· mempunyai sedikit teman, teman sejati
· tak aktif di dalam kelas
· pendengar yang baik
· suka di dalam kamar atau di ruang tertutup
· akan kecapaian bila seharian melakukan interaksi social di sekolah
· tak suka pekerjaan kelompok
· suka mengetahui apa yang diharapkan dari suatu kegiatan sebelum melakukannya
· merasa terhina bila melakukan kesalahan di depan umum.


Kolom Parents :
PERTOLONGAN PERTAMA PADA MATA ANAK

Kiat menghadapi keadaan darurat yang
umum terjadi pada mata si kecil.

Kelilipan : Debu atau bulu mata masuk ke mata.
Pertolongan : suruh anak mengedip beberapa kali untuk mengeluarkan kotoran. Coba bersihkan perlahan dengan menarik kelopak mata atas dan bawah, atau gunakan obat tetes mata dan air. Jangan biarkan anak menggosok-gosok matanya karena dapat menyebabkan pertikel menggores kornea mata atau menusuk matanya.
Mata tertusuk benda kecil : Serpihan kaca, besi, atau kayu menusuk bola mata, menyebabkan sakit yang luar biasa, mata tergores, dan sensitive terhadap cahaya.
Pertolongan : Jangan pernah mencoba mengeluarkan benda-benda kecil yang menusuk mata anak. Perlahan tutup matanya dengan kasa atau kain bersih. Untuk melindungi matanya, Anda dapat pula memotong kertas atau Styrofoam yang lengkung untuk menutup matanya. Segera bawa ke dokter atau UGD.
Kornea tergores : Potongan kertas, kuku, benda tajam atau debu menggores kornea mata, membuat si kecil merasa tidak nyaman.
Pertolongan : Lindungi matanya dengan kain bersih dan bawa ke dokter. Ia mungkin akan diberi antibiotik untuk mencegah infeksi. Berikan ibuprofen atau asetaminofen untuk meringankan iritasi dan mencegahnya menggosok-gosok mata.
Mata terpukul : Area seputar mata atau bahkan mata si kecil terpukul benda tumpul seperti jari, siku atau bola.
Pertolongan : Beri kompres dingin pada bagian mata. Angkat setiap 10 menit. Lakukan berulang. Usahakan posisinya duduk atau berdiri, jangan tiduran, agar bengkaknya berkurang. Hati-hati, jangan tekan area yang terpukul karena dia bisa melukainya. Jika ia mengeluh pandangannya menjadi buram, berbayang, atau bahkan timbul gumpalan darah di area putih mata (iris) atau di pupil, segera hubungi dokter atau bawa ia ke UGD.
Terpercik zat kimia : cairan pembersih rumah tangga atau zat kimia lainnya terpercik ke mata, menyebabkan sakit yang luar biasa, sensasi terbakar dan mata tergores.
Pertolongan : Miringkan kepalanya ke satu sisi di wastafel dan gunakan gelas kecil atau mangkok untuk menuangkan air hangat pada mata selama 15 sampai 20 menit. Perlahan buka lebar kedua kelopak matanya untuk memastikan air benar-benar membasuh mata. Anda juga bisa mengajaknya berdiri di bawah shower dan suruh ia mendongak sementara Anda menyiramkan air ke matanya. Bawa segera ke UGD. Jangan menutup matanya dengan kasa atau apa pun.
Kelopak mata robek : Digigit binatang, terkena ranting, mainan tajam merobek kelopak mata atau area seputar mata.
Pertolongan : Cuci tangan Anda dan perlahan bersihkan area seputar mata dengan kain bersih yang telah dibasahi agar Anda dapat melihat lukanya dengan baik. Luka yang tidak dalam biasanya sembuh dengan sendirinya, tapi jika robeknya cukup dalam dan darah terus mengalir, tutup matanya dengan kasa dan bawa ke UGD secepatnya. Dokter akan melihat apakah ada luka pada bola mata atau kelopak matanya.



9. BACA-HITUNG
SEBELUM MASUK SEKOLAH
(Sindo, 31 Desember 2007)

Tidak semua anak mampu menguasai keterampilan
mambaca dan menghitung sebelum masuk sekolah.
Apa untungnya bagi yang menguasainya ?

Pelajaran mengenal huruf dan angka merupakan salah satu materi dasar dalam kurikulum prasekolah. Hal tersebut diperkuat oleh kesimpulan sebuah studi yang dimuat dalam jurnal Developmental Psychologi yang dipublikasikan oleh American Psychological Association (APA) Nopember lalu.
Kesimpulan tersebut mengungkapkan, anak-anak yang memasuki taman kanak-kanak (TK) dengan bekal kemampuan dasar membaca dan berhitung, dapat mengikuti pelajaran dengan baik di tingkat sekolah dasar dan seterusnya untuk jangka panjang.
“Meskipun anak-anak dalam studi ini memiliki beragam problem social dan emosional. Hal ini terkait dengan kemampuan anak-anak untuk memperhatikan”, ujar seorang peneliti dari 12 orang peneliti, Greg J Duncan Ph D dari Northwestern University.
Untuk memperoleh kesimpulan itu, para peneliti melakukan enam penelitian yang berbeda terhadap 36.000 anak-anak usia prasekolah. Berdasarkan penelitian tersebut, para peneliti mengungkapkan, anak yang sudah mampu membaca dan menulis saat memasuki TK diasosiasikan dengan kemampuan yang lebih baik saat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
“Meskipun membaca dan kemampuan memperhatikan (attention skills) dihubungkan dengan prestasi, memasuki TK dengan kemampuan matematika yang mendalam merupakan salah satu cara terbaik untuk memperkirakan kemampuan anak di sekolah kelak”, tutur Duncan.
Para peneliti juga menemukan, kemampuan dini untuk memperhatikan memiliki peran penting, namun masalah tingkah laku usia dini dan kurangnya kemampuan social tidak mempengaruhi kemajuan anak dalam bidang akademis dalam penelitian ini.
“Namun, perlu diingat, anak-anak dalam penelitian ini diambil dari populasi umum dan anak-anak yang didiagnosa memiliki masalah klinis dalam level tertentu tidak termasuk pola penelitian ini”, papar Duncan. Mengomentari penelitian tersebut, Steven Dowshen MD, Chief Medical Editor Kids Health dan Endocrinologist dari Alfred I duPont Hospital for Children Wilmington mengatakan, yang perlu diingat orangtua adalah setiap anak memiliki kemampuan belajar yang berbeda. Bisa saja seorang anak secara alami memiliki suatu kemampuan sangat baik, sementara anak lainnya baru bisa memiliki kemampuan tersebut beberapa waktu kemudian.
“Mungkin seorang anak sangat mahir dalam mengerjakan soal matematika, sedangkan anak yang lain pintar membaca. Jadi, meskipun sangat penting untuk membantu anak-anak prasekolah membangun dasar kemampuan belajar, tidak kalah penting untuk orangtua tidak terlalu memaksa atau menekan jika anak belum siap”, tegas Dowshen seperti dilansir oleh situs kidshealth.com.
Tingkah laku anak-anak pada usia prasekolah bisa sangat berbeda satu sama lain. Jika sebagian anak sangat koperatif, memperlihatkan dan menghormati, maka sebagian lain memiliki kesulitan untuk tetap diam saat circle time, berpartisipasi dalam sebuah tugas maupun bisa berhubungan baik dengan teman sekelasnya.
Anak prasekolah harus diajarkan mengenai kemampuan bersikap dan nilai social seperti berbagi, memberi perhatian, duduk atau bermain menyenangkan. Namun, tidak semua anak bisa menguasainya pada saat yang sama, itu adalah wajar,”tutur Dowshen.
(ririn syafriani).

Stimulasi Gambar untuk Bayi.
Semakin banyak orang percaya bahwa stimulasi anak untuk memperkenalkan kemampuan baca dan tulis dapat dilakukan sejak usia yang masih sangat dini.
Menurut Judith A Hudson PhD, seorang psikolog dari Universitas Rutgers di New Brunswick, New Jersey, orangtua dapat memperkenalkan buku pada anak sejak usianya enam bulan. “Pada usia tersebut, bayi sangat menyukai buku-buku sederhana yang dilengkapi dengan banyak gambar dan lambing-lambang”, ujarnya.
Setelah memasuki usia 1-2 tahun, sambungnya, anak cenderung menyukai jenis rhyming books, yaitu buku-buku cerita dengan teks yang sederhana dan mudah diingat, disertai gambar yang menarik perhatiannya.
Pemilihan jenis-jenis buku oleh bayi usia 1 tahun, lebih pada pertimbangan, seberapa menarik tampilan buku tersebut. Termasuk dari segi warna, dan bentuk huruf maupun gambar. Biasanya, semakin kaya warna atau semakin besar ukuran huruf, akan semakin menarik perhatiannya.
Meski pada usia 1 tahun, anak dapat terlihat lebih menikmati “membaca” buku daripada usia sebelumnya, menurut Judith A Hudson, Anda jangan pernah berharap anak dapat benar-benar membaca.
“Umumnya, anak belum akan mulai membaca sebelum usia 5 tahun” kata Judith. Meskipun, katanya, ada sebagian anak yang sudah memiliki kemampuan membaca lebih awal dari usia umumnya.
Sementara itu, Bernice Cullinan dan Brod Bagert dalam buku HelpingYour Child Learn To Read : With Activitis for Children from Infancy through Age 10 , mengungkapkan, orangtua dapat mengajak anak-anaknyabelajar membaca. Cullinan dan Bagert juga menegaskan, orangtua tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk kegiatan ini.
“Yang penting ialah kualitas waktu yang diberikan orangtua. Lakukan dengan konsisten. Berikan waktu sebisa Anda untuk membantu anak-anak membaca”, ujar Cullinan.
Cullinan dan Bugert menegaskan bahwa salah satu hal yang penting untuk diingat ketika mengajarkan anak membaca ialah rasa senang. Untuk memancing minat anak, orangtua dapat memulai dengan membacakan cerita dan puisi yang bagus. (ririn s)



10. HIDUP DI ERA LAYAR
(Sindo, 12 Januari 2008)

Teknologi canggih melahirkan era layar. Waspadai
agar tak merusak pertumbuhan fisik
dan jiwa si kecil.

Serba layar, itulah gaya hidup manusia modern masa kini. Mulai dari layar TV, VCD, Play-Station (PS), internet hingga handphone (HP). “Umumnya orangtua tidak tahu dampak yang ditimbulkan oleh berbagai layar ini. Selain karena gagap teknologi (gaptek), mereka juga tidak siap ketika anaknya harus hidup di era layar”, ujar Ely Risman, psikolog dan trainer dari Yayasan Kita dan Buah Hati.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mungkin menghadirkan banyak kenyamanan dan kemudahan, tapi sekali gus menghadirkan tantangan luar biasa dalam pengasuhan anak. Bagi ibu rumah tangga yang seharian di rumah, kegiatan nonton TV terkadang menjadi aktivitas rutin yang berlangsung berjam-jam, bahkan seharian.
Bila yang bersangkutan memiliki bayi atau anak kecil, otomatis gaya hidup sang ibu menurun pada anaknya. Karena itu jangan heran kalau sedari kecil si anak sudah “lengket” dengan layar televisi.
“Glued to the tube”, begitulah berbagai media asing menggambarkan keintiman anak-anak dengan televisi dan betapa layar bergambar ini telah menjadi “baby sitter” bagi mereka.
Hasil penelitian YPMA 2002 menyebutkan, jumlah rata-rata waktu anak menonton televisi adalah 30-35 jam per minggu atau 1.560-1.820 jam pertahun. Padahal, jam belajar si anak hanya 1.000 jam per tahun.
Salah satu dampak dari gelombang sinar yang dipancarkan layar seperti layar televisi adalah suatu sifat addict dalam menonton. Hal itu juga terkait laporan The Child Obesity Summit 2005, yang menyebutkan bahwa iklan TV merupakan kontributor utama obesitas pada anak-anak.
Tak hanya televisi, menurut Elly Risman, banyak orangtua yang dengan tujuan “membayar kekurangan waktu bersama” anak atau dengan dalih gengsi dan bukti kasih saying, kemudian menghadiahi sang anak dengan berbagai peralatan elektronik seperti MP3 dan HP.
Bahkan, saat ini banyak anak-anak TK yang mengantongi HP ke sekolah. Belum lagi orangtua yang membekali untuk bermain PS atau ke warnet sehingga mereka betah berjam-jam nongkrong di tempat itu.
“Jumlah waktu anak main PS sekitar 10 jam per minggu. Itu belum termasuk internet dan HP”, kata Elly.
Secara bijak, tampaknya setiap orangtua harus mempertimbangkan dan memperhitungkan manfaat dan pengaruh teknologi era layar pada anak. Jika lalai, era layar dapat memengaruhi otak, mata, dan jiwa serta perilaku anak-anak. Khusus untuk televisi, harus disepakati juga mengenai posisi menonton”, tutur psikolog kelahiran Aceh ini.
Posisi menonton yang dikemukakan Elly terkait dampak radiasi layar terhadap kesehatan mata anak, utamanya pengaruh sinar biru yang beberapa tahun terakhir menjadi sorotan media.
Sinar biru adalah sinar dengan panjang gelombang cahaya 400-500 nm yang dapat berpotensi memicu terbentuknya radikal bebas dan menimbulkan luka fotokimia pada retina mata anak. Bayangkan jika anak seharian nonton TV, berapa banyak sinar biru yang masuk dan merusak bola matanya yang bening.
Sumber sinar biru yang paling dekat dengan anak-anak salah satunya adalah sinar dari layar televisi. Padahal, lensa mata anak masih jernih dan peka sehingga belum dapat menyaring bahaya sinar biru. Akibatnya, risiko terbesar kerusakan ditemui pada usia dini.
Lutein diyakini sebagai salah satu zat carotenoid alami yang dapat membantu melindungi mata anak dari kerusakan dengan cara menyaring sinar biru dan berperan sebagai antioksidan yang menetralisasi radikal bebas. Namun, menurut Dr Hardiono D Pusponegoro SpA(K) dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, tubuh kita tidak dapat mensintesis lutein. “Kebutuhan lutein harus diambil dari sayuran, buah, suplemen, terutama dalam ASI”, paparnya.
(inda susanti)

Tips
Tegakkan Peraturan saat Menonton TV
Terkait serbalayar, beberapa poin berikut ini adalah trik yang bisa ditempuh.
1. Orangtua harus 3 C (concern, commitment, continuity). Peraturan harus diterapkan secara konsisten. Peraturan yang berubah-rubah bisa menghilangkan kewibawaan orangtua di hadapan anak.
2. Tidak ada kita tanpa pengetahuan. Orangtua yang gagap teknologi sebaiknya segera belajar untuk melek teknologi. Dengan demikian, punya senjata untuk melawan pengaruh buruk teknologi atau era layar.
3. Kenali anak lebih dekat. Hasil riset Henry Biller di Amerika menunjukkan, waktu efektif anak dengan orangtua yang bekerja hanya 19 menit per hari. Jadi, luangkan waktu lebih untuk berkumpul dan saling berbagi (sharing) dengan anak. Bila ditemukan kesalahan, tak ada ruginya orangtua juga meminta maaf. Pengasuhan bersama (dual parenting) yang kompak antara ayah dan ibu juga penting dijalankan.
4. Jangan hanya melarang anak nonton TV atau main PS, carikan alternatif kegiatan pengganti yang bisa mengalihkannya dari layar. Semisal membaca buku, bermain bersama, atau aktivitasn di luar ruang (outdoor) yang menyenangkan.
5. Menyangkut penggunaan berbagai alat ber-“layar”, hendaknya ditinjau sejak kesepakatan awal : Mengapa diadakan ? Perlukah dibeli ? Bagaimana aturan penggunaan dan konsekuensi, serta dampaknya bagi mata dan kesehatan, juga jiwa dan kehidupan spiritual ?
6. Kidia (Kritis Media untuk Anak) mengampanyekan TV Sehat, yakni menggunakan atau mengonsumsi TV tidak lebih dari 2 jam sehari dan memilih acara yang aman dan bermanfaat. (inda).



11. MENYARING PENGARUH NEGATIF MEDIA
(Sindo, 21 Nopember 2007)

Tayangan kekerasan menyelusup ke ruang keluarga.
Bagaimana membentengi anak dari pengaruh
buruknya ? Kasih saying mutlak diperlukan,
mendampingi si kecil menapaki dunianya.

Informasi dan teknologi. Kedua hal tersebut kini sulit dibendung. Orang kebanjiran informasi dari segala penjuru. Melalui media massa yang sangat beragam format dan isinya, dunia pun seolah tak terbatas.
Masalahnya, informasi atau pesan dalam media massa tidak semuanya baik atau berdampak positif pada audiensinya. Apalagi kalau berbicara dalam konteks pengaruhnya terhadap anak-anak, mampukah si kecil menyaring informasi dari tayangan yang dilihat, didengar atau dibacanya ?
Itulah kekhawatiran sebagian besar orangtua masa kini. Ditambah kesibukan bekerja, anak semakin tidak terkontrol saat bersentuhan dengan media massa. Menurut pendiri dan direktur ekskutif Indonesia Heritage Foundation, Dr Ir Ratna Megawangi MSc, ada dua cara menangkal pengaruh negatif media, yakni kontrol eksternal dan kontrol internal.
Kontrol eksternal diwujudkan dengan membuat lingkungan steril dari paparan media dan melarang anak menonton program-program tertentu. Namun menurut Ratna, cara ini kurang efektif karena sekalipun si anak di rumah tidak menonton televisi, dunia luar tempat anak bergaul tetap akan membicarakan tren yang sedang digemari. Akibatnya, anak akan penasaran dan mencari jawaban di luar rumah.
“Kalau sudah begitu, segala cara bisa dilakukan. Misalkan pura-pura bermain ke rumah teman untuk belajar bersama, padahal main video game. Jadi, bila orangtua terlalu membatasi, anak akan terbiasa berbohong, nuraninya pun tertutup”, tutur Ratna.
Sebagai “vaksin” yang ampuh dan sangat efektif adalah ‘kontrol internal’ yang nantinya bersumber dari dalam diri si anak. Ini dilakukan antara lain melalui bimbingan orangtua terhadap anak (parental guidance) dengan cara membahas dan memberi pengertian tentang perilaku baik dan buruk yang terlihat di media, serta melarang anak dengan alasan yang jelas.
Dengan demikian, anak merasa memutuskan sendiri bahwa tayangan tertentu tidak baik untuk dilihat. Jika nurani telah terbangun dengan baik, ketika sedang tidak berada dalam pengawasan orangtua pun, si anak bisa tetap konsisten memegang prinsipnya tentang mana tayangan yang baik dan mana yang harus dihindari.
Untuk membina anak dengan nurani baik dan punya resistensi terhadap tayangan negatif, orangtua harus menyiapkan struktur otak anak supaya tidak tune-in dengan hal-hal negatif. Caranya, tentu melalui pola pengasuhan penuh kasih saying dan lingkungan yang jauh dari unsur kekerasan.
Kekerasan terkadang dipoles dengan warna yang indah, suara yang gempita, permainan yang oke, tapi sebetulnya isinya merusak. Ketika kita berkata tidak, anak-anak merasa seperti dikekang karena tontonan seperti itu menurut mereka menarik. “Itulah kendala paling besar”, ujar Dani Yusuf, pemilik pusat terapi dan home school “Kubis”.
Sebagai solusi, ibu tiga putra-putri berupaya memberi pengertian pada anak bahwa tontonan tertentu tidak baik, lalu membatasi sambil memberikan tontonan pengganti yang lebih baik seperti VCD edukatif dan buku cerita.

Katagori Kekerasan terhadap Anak
Apa saja katagori kekerasan terhadap anak ? Berikut beberapa katagori yang dikemukakan Dr Ir Ratna megawangi MSc :
· Segala tindakan agresif orangtua atau guru yang dapat membuat anak merasa menderita, baik fisik maupun psikis (kesakitan fisik, merasa tidak diterima, merasa diri tidak berharga).
· Kekerasan fisik : memukul, menjitak kepala, menjewer telinga, mencubit dan hukuman fisik lainnya (termasuk kekerasan seksual).
· Kekerasan verbal : membentak dengan suara tinggi, memaki dengan kata-kata kasar (“kurang ajar”, “anak sialan”), memberikan label negatif (“anak bodoh”, “anak malas”), termasuk juga menyindir atau membanding-bandingkan dengan anak lain.
· Sikap acuh tak acuh : tidak ada kontak fisik (mengelus kepala, memeluk, mencium anak), tidak ada kontak psikis (pandangan mata, senyuman, bermain atau bercengkerama), serta tidak membangun hubungan yang erat dan mesra (bonding) antara orangtua dan anak.

Dampak Negatif Kekerasan :
“ Menghambat perkembangan moral anak “.
Akibatnya, anak bisa menjadi pembohong, tidak memiliki self-esteem, serta nurani yang tumpul.

“Meningkatkan perilaku kenakalan remaja”.
Berpeluang besr menjadi pelaku kekerasan dan kriminal pada usia dewasa kelak.

“Membuat jiwa labil”.
Ketidak stabilan emosi, mudah sedih, tidak mampu menghadapi tekanan, mudah tersinggung dan marah.

“Berpandangan negatif pada lingkungannya”.
Selalu khawatir, was-was, penuh curiga, merasa lingkungan memusuhi dirinya.
Menarik diri dari pergaulan, tidak dapat bersifat hangat dan sulit untuk dijadikan kawan.


MAKANAN SEHAT OTAK SI KECIL
Tanaman akan tumbuh subur, segar dan tinggi bila mendapat cukup air serta unsure hara lain seperti pupuk dan sinar matahari. Begitu juga otak anak, perlu nutrisi yang baik untuk menunjang tumbuh kembangnya, termasuk memupuk pribadi berpikiran positif yang tidak akan pernah tune-in dengan kekerasan. Untuk itu, jiwa dan pikiran anak perlu diberi “pupuk” berupa informasi baik sejak kecil.
“Informasi yang baik dapat menyehatkan dan menumbuhkan pikiran dan perasaan positif. Sebaliknya, informasi yang buruk bisa menjadi racun bagi jiwa dan pikiran”, ujar Dr Ir Ratna Megawangi MSc.
Wanita pelopor pendidikan holistic berbasis karakter itu memaparkan sejumlah penelitian yang menunjukkan benda mati sekalipun, memperlihatkan “respons” yang buruk ketika terpapar oleh hal-hal negatif. Peneliti asal Jepang Dr Masaru Emoto, pernah melakukan pengamatan laboratorium tentang molekul air. Sungguh ajaib, air bisa menangkap pesan-pesan dalam udara yang kemudian memengaruhi bentuk molekul air tersebut.
Saat air diberikan getaran cinta dan kasih saying melalui kata-kata cinta, terima kasih, dan sentuhan lagu lembut yang menyejukkan pikiran, tampak bahwa perlahan-lahan air tersebut membentuk dirinya menjadi molekul berbentuk indah seperti kristal bersegi 6. Sebaliknya, ketika air tadi dikata-katai dengan umpatan seperti “Kamu membuatku muak”, “Kamu bodoh” atau diberi getaran lagu-lagu heavy metal, terlihat bahwa bentuk molekul air menjadi sangat jelek.
Itulah sekelumit pelajaran yang bisa direnungkan, betapa kasih sayang dan kata-kata positif sangat besar manfaatnya. Lantas apa korelasinya dengan pembentukan otak anak ? Hasil riset otak mutakhir menunjukkan bahwa usia tiga tahun pertama adalah fase pembangunan fondasi otak. Di sini struktur otak anak akan permanen terbentuk sehingga berpengaruh secara permanen pula. Selanjutnya, sebelum menginjak usia 7 tahun, perkembangan otak anak bisa dikatakan hampir sempurna terbentuk ( sekitar 90 % ).
Semua pengalaman masa kecil, baik positif maupun negatif, akan berpengaruh jangka panjang dalam kehidupan si anak. Begitu pula kemampuan seseorang untuk mengelola emosi sepanjang hidupnya tergantung pada system biologis yang dibentuk oleh pengalaman ikatan emosional ( emotional bonding ) ketika masih kecil. Dengan menghindari perilaku kekerasan terhadap anak, maka anak tidak mempunyai kapasitas untuk menyukai bentuk-bentuk kekerasan, apalagi melakukannya.
“Anak yang bermasalah itu tidak jauh-jauh, pasti dari orangtuanya ! Mungkin saja di rumah orangtuanya suka memarahi atau memukul sehingga berdampak pada perilakunya di luar yang bermasalah”, tandas Ratna.


12. VIDEO GAME , DILARANG ATAU DIAWASI ?
(Republika, Ahad 17 Pebruari 2008)

Ayah ibu melarang anak main video game dan PS.
Eh, si buah hati asyik di rumah teman.

Hampir sebulan ini Adi (7 tahun) menghabiskan waktunya untuk bermain video game. Dari pulang sekolah hingga menjelang Maghrib, murid kelas dua SD ini manteng di depan televisi. Itu pun kalau Vonny, ibu Adi tidak segera mematikan televisi. Akibat kecanduan playstation (PS), nilai ulangan Adi jeblok. Pekerjaan rumah pun sering lolos.
Sebenarnya, Vonny (33 tahun) sudah berulang kali menegur Adi agar jangan terlalu sering bermain PS. Untuk beberapa saat larangan itu dipatuhi. Namun Vonny terperanjat, pulang dari pasar melihat Adi asyik bermain game di warnet. Adiknya, Danang pernah juga bercerita kalau Adi bermain ke rumah Reza, Aska atau pun Arden pasti bermain game.
Mau tak mau, Vonny pun ‘menyerah’. “Daripada main di luar, saya mengalah deh, lebih baik anak main PS di rumah. Karena bisa terpantau”, papar dia.
Video game adalah permainan menggunakan interaksi berupa gambar yang dihasilkan oleh piranti video. Dalam permainan itu umumnya ada system penghargaan, seperti skor atau nilai. Hitungannya berdasarkan tingkat keberhasilan yang dicapai dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam permainan. Sistem elektronik yang digunakan bisa berupa komputer atau konsol permainan.
Meminimalkan dampak buruk
Ada orangtua yang melarang keras anak-anak bermain game karena permainan itu lebih banyak ‘mudarat’ ketimbang untungnya. Psikolog Reni Kusumowardani Msi menyatakan, kalau melihat untung rugi bermain video game atau PS bagi anak-anak bagai dua sisi mata uang.
Dampak buruk yang pasti timbul dari bermain PS berawal dari tidak ada pembatasan waktu. Anak-anak dibiarkan main sesuka hatinya. Dampaknya, mereka akan ketagihan ingin terus bermain. Apalagi kalau belum menang, anak-anak pasti penasaran. Jika waktu banyak tersita oleh game , kewajiban sekolah atau rumah pun bisa terbengkelai.
Dampak buruk lainnya, tidak semua jenis PS bisa dinikmati anak-anak. Kini banyak permainan berbau porno dan kekerasan – lawannya dibanting, ditembak sampai dibunuh. Jenis permainan ini, kate Reny, harus dihindari dari anak-anak karena sangat membahayakan bagi perkembangan.
“Jauhkan anak-anak dari permainan video yang berdarah-darah, kasar, dan sadis”, lanjut Reni. Dampaknya, paparnya kemudian, anak-anak bisa tidak memiliki rasa sensitive, rasa saying terhadap orang lain akan berkurang. “Lebih jauh lagi, hal-hal yang berbau kekerasan menjadi hal biasa”.
Menurut Reni, dampak buruk tersebut dapat diminimalkan jika orang tua ikut berperan aktif mengawasi anak-anak. Buatlah perjanjian dengan anak, cantumkan poin-poin apa saja yang bisa dilakukan dan dilarang berkaitan dengan main PS. Misalkan main PS atau video game hanya boleh Ahad dan hari libur. Hari sekolah dilarang. Kontrak bermain ini harus konsisten ditaati oleh anak maupun orangtua. “Sekali muncul rasa kasihan anak akan memanfaatkan kelemahan itu”, katanya.
Lama bermain permainan elektronik ini penting ditakar dengan mempertimbangkan aktivitas lain yang harus dilakukannya. Psikolog Anak di RSUD Cilacap Jateng ini memaparkan, orangtua harus mengetahui durasi kegiatan lain yang dimiliki anak. Dari 24 jam dalam sehari, ada waktu untuk sekolah, belajar, membantu orangtua dan lainnya. Sisa dari waktu itu bisa untuk main PS. Namun, tandas Reni, “Maksimal dua jam sudah cukup”.
Agar anak tidak soliter, permainan sebaiknya dilakukan bersama : antara orangtua dan anak atau bersama teman-teman. Ini bukan saja membuat suasana semakin seru, tetapi yang penting semakin menambah keakraban.

Tak ada kegiatan lain
Seperti kasus Adi dilarang main PS di rumah, malah pindah ke Warnet atau rumah temannya. Peraturan di rumah tentu berbeda dengan yang diterapkan di rumah teman-teman anak . Namun bagi Psikolog ini, semua itu harus dilihat dari pola asuh dan tipe anak. Anak yang memiliki jaringan komunikasi yang baik dengan orangtua sulit berbohong.
Kalaupun anak kepergok atau mengaku bermain game di luar, Reni menyarankan orangtua agar tidak panik. Apalagi memarahi anak. Langkah efektif, ajak anak komunikasi. Tinjau kembali poin yang tercantum di kontrak bermain. Kalau ada yang dilanggar apa konsekwensinya. Beri peringatan pertama dulu, jika masih dilanggar, uang saku bisa dikurangi.
Reni menyebut beberapa hal yang menyebabkan anak kecanduan game. Diantaranya, anak tidak memiliki kegiatan alternatif atau tidak mempunyai teman sebaya. Dari kedua hal ini, pelarian yang laing mudah adalah dengan bermain game. Dalam permainan ini anak akan mendapat suatu keasyikan.
“Sebelum terlanjur anak kecanduan game, orangtua harus mencarikan kegiatan alternatif bagi anak. Kegiatan yang dipilih jangan berkaitan lagi dengan sekolah, tapi lebih ke hobi dan minat si anak”, paparnya.

Kolom Parents
DETEKSI PENDENGARAN BAYI
Anda mungkin tidak menyadari bahwa gangguan pendengaran merupakan cacat paling umum pada bayi. Di Amerika, setiap hari terdapat 33 bayi yang lahir dengan kerusakan pendengaran. Namun berita ini belum sampai ke semua orangtua.
Banyak orangtua menganggap bayi mereka tidak memiliki risiko hilang pendengaran jika tidak terdapat riwayat tuli dalam keluarga. Kenyataannya, sekitar 90 % anak-anak yang menderita tuli terlahir dari orangtua yang bisa mendengar. Hilang pendengaran juga bisa akibat dari gen resesif. Jadi seorang anak bisa memiliki cacad bawaan ini sekalipun anggota keluarganya bisa mendengar.
Faktor penyebab di luar gen, antara lain, infeksi, lahir premature, sakit kuning yang parah, atau kurangnya kadar oksigen selama proses kelahiran, kata Ellen M. Friedman, MD, Kepala THT Anak di Texas Children’s Hospital, Houston. Sayangnya, kebanyakan penyebab ini tidak bisa dicegah.

TES SKRINING
Anda tidak bisa mengandalkan dokter anak untuk mengidenifikasi masalah ini. Lagi pula, kebanyakan dokter anak tidak memiliki peralatan memadai untuk melakukan tes pendengaran. Sebelum melahirkan, pastikan rumah sakit yang Anda kunjungi memiliki tes pendenagaran sebagai bagian dari proses skrining bayi yang baru lahir. Jika tidak, minta dokter anak merekomendasikan audiologis atau dokter THT anak untuk mengetes bayi Anda selama tiga minggu pertamanya. Tes memegang peranan penting. Sebab riset telah menunjukkan, orangtua sering memiliki kesan yang salah terhadap kemampuan mendengar bayi mereka. Bahkan, bayi tuli sekalipun tetap bisa bergumam atau membuat suara. Jika Anda tidak yakin bahwa bayi Anda sudah dites, telepon rumah sakit dan periksalah catatan mengenai bayi Anda.

JANGAN MENUNDA
Yang menyedihkan, banyak anak-anak tidak didiagnosa hilang pendengaran sampai mereka berusia 2 tahun. Padahal dalam usia ini mereka sudah melewati masa-masa penting dalam perkembangan kemampuan bicara dan bahasa. Anak belajar dengan benar melalui suara-suara di sekitarnya dan mendengar suara Anda. Jika dia tidak mendengar selama 6 bulan pertamanya, dia akan kehilangan kesempatan emas.

BISAKAH KAU MENDENGAR, NAK ?
Bahkan bayi yang telah lulus skrining pendengaran bisa mengalami tuli di kemudian hari. Jika bayi Anda tidak mengalami hal-hal di bawah ini, lebih baik lakukan tes ulang.

Usia 3 Bulan
> Mendelik atau menoleh kearah suara keras.
> Mulai menirukan beberapa suara
> Tersenyum saat mendengar suara Anda.
Usia 7 bulan
> Menoleh ketika namanya dipanggil
> Merespons suara dengan membuat suara
> Menggumamkan beberapa jenis suara
Usia 12 bulan
> Merespon kata “enggak” atau “jangan” dan permintaan sederhana lain.
> Mengucapkan kata seperti “papa” dan “mama”
> Memahami frase seperti “dadah”

Usia 24 bulan
> Mengucapkan sedikitnya 15 kata
> Menggunakan frase terdiri 2-4 kata
> Mengulangi kata-kata yang didengarnya dari perbincangan orang.



13. MELATIH TANGAN TERAMPIL
(Republika, Ahad 18 Nopember 2007)

Anak usia dua dan tiga tahun mulai memperoleh kemampuan motorik halus pada tangan serta peningkatan koordinasi tangan dengan mata. Sayangnya, banyak orangtua cenderung berfokus kepada perkembangan motorik kasar karena mungkin tidak menyadari betapa pentingnya perkembangan motorik tangan sampai anak mencapai usia sekolah. “Dengan kemampuan motorik halus, anak akan lebih mudah menulis dan mengenakan pakaian sendiri ketika pergi ke sekolah”, kata Laurie LeComer, penulis A Parent’s Guide to Developmental Delays.
Dengan melatih kemampuan motorik halusnya, anak tidak hanya akan memperoleh kemampuan yang sifatnya fisik, seperti menggenggam, tapi juga peningkatan koordinasi tangan dan mata. Peningkatan koordinasi itu akan memudahkan anak untuk menyusun balok-balok yang bentuknya sama, atau menumpuk balok-balok tersebut agar tidak jatuh. Memusatkan perhatian lebih lama dan mengikuti petunjuk dengan lebih baik adalah dua kemampuan yang penting dalam menyelesaikan tumpukan balok yang rumit.
Berikut ini cara Anda membantu perkembangan kemampuan motorik halus anak.
Biarkan dia melakukannya.
Hari-hari anak Anda akan diisi dengan banyak kesempatan untuk menggunakan tangan serta jari-jarinya. Tugas Anda adalah memastikan dia mendapat manfaat dari kegiatan itu. Ketika pergi keluar rumah, biarkan dia membukakan pintu untuk Anda, dan bukan sebaliknya. Ketika membacakan buku, beri dia kesempatan untuk membalik halaman. Biarkan dia menyikat giginya sendiri (meski nanti Anda harus menyelesaikan tugas tersebut), membasuh tangannya, dan berlatih mengenakan pakaian, mengancing serta menarik resleting sendiri saat berganti baju. “Anda perlu mengawasinya dan tawarkan bantuan hanya saat dia kesulitan”, kata Karen Rigalski, seorang terapis di Ohio, Amerika Serikat.

Menjadi kreatif
Melukis, mengelem, menggambar dan menggunting adalah kegiatan motorik halus. Jadi, jangan sembunyikan alat-alat prakarya dari batita Anda. Lebih baik Anda siapkan satu sudut atau meja sebagai daerah kreatif anak. Biarkan dia bereksplorasi dengan kegiatannya. Di lain waktu, masukkan mainan kecil dalam bola besar dari adonan mainan. “Membentuk-bentuk adonan adalah latihan terbaik bagi jari-jari mungilnya”, LeCorner menjelaskan.

Memasak sambil bermain
Pada waktu makan malam, biarkan buah hati Anda menyendok sayur dari mangkok ke piringnya sendiri. Ketika membuat kue kering, minta dia untuk mengaduk mentega. “Memasak adalah kegiatan yang banyak menggunakan tangan”, kata LeCorner. Ada beberapa kegiatan dapur yang bisa dilakukan si kecil, misalnya membuka tutup botol minum, mengaduk adonan, membuka kertas pembungkus mentega atau mengambil kertas alas dari cetakan kue mangkuk.

Musik dan lagu
Ada lagu anak-anak yang menyertakan gerakan tubuh saat dinyanyikan “Dua mata saya …. Hidung saya satu, dua kaki saya … pakai sepatu baru ; dua tangan saya …. yang kiri dan kanan ….”, minta dia menunjukkan organ tubuh yang dinyanyikannya itu. Bernyanyi seperti ini lebih menyenangkan , bukan seperti sedang melatih kemampuan motorik halusnya.



14. KURANG PERCAYA DIRI (PD)
ANAK JADI MATERIALIS
( Sindo, Rabu 9 Januari 2008)

Fasilitas anak-anak sekarang, mulai pakaian,
perhiasan, hingga games elektronik membuat
banyak pihak mengkhawatirkannya
sebagai pemicu sifat materialis (matre).

Tekanan antar teman, target kampanye marketing dan pola asuh yang salah, seringkali juga ditunjuk sebagai factor meningkatnya materialisme di kalangan anak-anak. Namun, hingga kini masih sedikit bukti yang memperlihatkan bahwa factor-faktor tersebut memunculkan dan menyebabkan materialisme pada anak.
Sebuah studi bertajuk Growing up in a Material World : Age Differences in Materialism in Children And Adolescents, yang ditulis Desember 2007 lalu oleh Journal of consumer Research mengungkapkan , sikap materialistis pada anak-anak terkait dengan rasa percaya diri (pede).
Penelitian yang dilakukan Deborah Roedder John, professor ilmu pemasaran pada University of Minnesota’s Carlson School of Management, dan asisten professor ilmu pemasaran pada University of Illinois and Carlson Lan Nguyen Chaplin menunjukkan, rasa percaya diri yang rendah dapat memicu peningkatan sikap materialistis.
Dalam penelitian yang dilakukan dalam dua bagian, siswa usia 8-18 tahun ditemukan bahwa rasa percaya diri yang rendah dapat memicu materialistis. Sementara itu, meningkatnya rasa percaya diri menurunkan jiwa materialistis.
Pada studi bagian pertama, para peneliti melakukan pertanyaan tentang percaya diri kepada sekitar 150 anak-anak dan remaja dengan memberikan kartu indeks untuk menggambarkan bagaimana perasaan mereka tentang dirinya. Sebagai contoh, saya merasa bahagia terhadap diri saya sendiri setiap saat, seringkali, sesekali atau tidak pernah.
Kemudian, mereka bertanya kepada anak-anak mengenai hal-hal yang membuat mereka bahagia, seperti uang, barang-barang bermerek, bermain bersama teman, mendapatkan nilai yang bagus, olahraga, dan lain-lain.
Pada bagian kedua penelitian, para peneliti melakukan tes yang sama terhadap 105 anak pada kelompok usia yang sama. Namun, sebelum mereka diberikan pertanyaan mengenai rasa percaya diri dan materialistis, mereka diberi lembaran yang berisi komentar positif tentang diri mereka oleh teman-temannya seperti menyenangkan, cantik, pintar dan lucu.
“Para peneliti menemukan bahwa satu hal kecil semacam ini dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka dan mengubah sikap materialistis mereka juga”, ujar Deborah.
Pada penelitian sebelumnya juga menemukan, rasa percaya diri anak-anak mulai meningkat pada fase akhir masa kanak-kanak ( late childhood) dan fase awal remaja ( early adolescence ). Kemudian, menurun pada fase remaja, saat mereka menghadapi berbagai perubahan dan emosi.
Saat anak-anak tumbuh menjadi remaja, mereka mulai menempatkan perhatian ekstra terhadap kepemilikan untuk mengatasi rasa percaya diri yang rendah dan ketidak amanan, juga sebagai salah satu cara mereka mengekspresikan diri kepada orang lain.
Namun, para peneliti juga menemukan, setiap perlakuan yang paling mendasar dapat membuat kesan yang besar mengenai bagaimana anak-anak menganggap dirinya sendiri dan seberapa penting mereka menempatkan barang-barang material.
Mengomentari studi tersebut, Chief Medical Editor Kids Health mengatakan, rasa percaya diri adalah kumpulan dari kepercayaan atau perasaan yang dimiliki seseorang tentang dirinya. Singkatnya, persepsi seseorang mengenai dirinya.
“Bagaimana kita mendefinisikan diri kita akan memengaruhi motivasi, tingkah laku, dan sikap, serta adaptasi emosional kita”, ujar Dowshen sang editor.
Kepercayaan diri juga bisa didefinisikan sebagai kombinasi perasaan atau kemampuan berhubungan dengan perasaan dicintai.
(ririn syafriani)

Cegah Sifat Materialistis
Beberapa tips dapat dilakukan orangtua untuk mencegah sifat materialistis pada anak-anak, antara lain :
1. Biasakan membuat daftar keinginan. Anak membuat daftar kegiatan yang bisa mereka lakukan. Harus diperhitungkan seberapa penting kegiatan tersebut. Anak pun terbiasa disiplin dengan komitmen yang dibuatnya.
2. Ajarkan anak menunda keinginannya. Anak yang tak pernah diajarkan menunda keinginannya, tak bisa merasakan kenikmatan ketika berhasil mendapatkan sesuatu. Ajarkan di usia 4 atau 5 tahun.
3. Hobi koleksi yang unik. Mengoleksi benda-benda antik dan mahal sah-sah saja, tapi ada baiknya juga memperkenalkan koleksi benda tak mahal namun unik. Misalnya, mengumpulkan beragam jenis bebatuan, dedaunan, kerang. Kegiatan ini mengajak anak kreatif, berinisiatif, dan tidak selalu membeli.
4. Berikan pilihan pengalaman. Ganti program waktu senggang dengan hal-hal yang lebih mengasyikkan, seperti berpetualang ke cagar alam, hiking ke gunung, membuat keramik, atau belajar memasak. Karena itu, anak bisa belajar hal baru, belajar menghadapi tantangan, belajar menghasilkan sesuatu yang kreatif.
5. Manfaatkan uang kembalian dari berbelanja untuk dimasukkan kedalam kotak amal. Atau, atur acara kado amal bersama keluarga besar, setiap kado yang dibawa akan disumbangkan. Jika anak menginginkan kado-kado tersebut, ingatkan kembali tujuan semula dan jelaskan kenapa anak perlu mengamalkannya.
6. Hati-hati iklan di media. Temani anak menonton TV atau mendengarkan radio jika menemukan iklan, bicarakan dengan anak-anak bahwa ada barang-barang yang memang perlu dibeli dan tidak. Terangkan pula setiap perusahaan pengiklan ingin meyakinkan pemirsanya meski barang tersebut tidak dibutuhkan.
7. Pahami dan lawan tekanan dari grup sebaya anak ( peergroup). Anak di usia sekolah cenderung ingin disamakan dengan teman-teman sekolahnya. Salah satunya, ingin mempunyai barang yang seperti temannya. Anak bisa saja membelinya namun dengan uangnya sendiri. Anak pun akan paham bahwa uang tersebut akan terbuang percuma dan menyadari ada banyak benda-benda lain yang lebih penting.





15. MEMBENTUK MORAL ANAK
(Sindo, 16 Januari 2008)

Membentuk moral anak bisa dilakukan lewat
story telling (dongeng). Kegiatan membaca dongeng
dan berdiskusi antara orangtua dan anak ini
dapat dilakukan di rumah.

Anak tentu saja menjadi anugerah terindah bagi setiap orangtua. Namun, ketika sang buah hati beranjak remaja atau dewasa, bisa jadi anak yang telah dibesarkan dan dididik sebaik mungkin, menjadi anak yang tidak mengerti nilai-nilai moral dalam kehidupan.
Kondisi tersebut tentu saja mengecewakan, karena apa yang sejak dini ditanamkan hilang begitu saja. Padahal, membentuk moral anak bisa dilakukan sejak dini, bahkan ketika anak memasuki tahun pertama usianya.
Hal tersebut terungkap dalam seminar pendidikan dan parenting bertajuk Education in The Changing World di Kemang Village, Jakarta yang dihadiri oleh kepala Sekolah Pelita Harapan (SPH) Brian Cox MPd, James T. Riady, Roswitha Ndraha, Stephen Metcalfe BA, dan Rektor Universitas Pelita Harapan Jonathan Parapak.
Dalam makalahnya, James T Riady mengatakan bahwa “Pengetahuan yang tinggi tidak menjamin seseorang bisa memiliki moral yang baik. Namun, ketika anak-anak memiliki moral yang baik, otomatis mereka bisa menilai mana pendidikan yang baik dan buruk”.
Peran orangtua dalam mempersiapkan anak-anak yang memiliki visi dan masa depan, menurut James, sangatlah penting. Lewat orangtua anak-anak belajar segala sesuatu. “Pendidikan formal berfungsi melatih anak-anak untuk memperbaiki lingkungan sekitarnya. Sedangkan dengan pengetahuan moral, anak-anak diajak berpikir dan membangun etika dan karakter dirinya yang baik”, tambah James.
Sedikit berbeda dengan James, William Pakpahan mengatakan pendidikan moral anak-anak bisa dilakukan di rumah, bisa dengan membahas buku-buku cerita bersama orangtua, membaca kitab suci ataupun mendongeng.
“Saya tidak yakin di sekolah-sekolah formal anak bisa mendapatkan pendidikan moral yang benar-benar bisa menjamin anak kita menjadi anak yang baik”, lanjutnya. Karena itu, “ketika berkumpul dengan anak-anak saya di rumah , saya menanamkan nilai-nilai moral dengan menceritakan kisah-kisah dalam kitab suci. Juga mengunjungi panti-panti asuhan, panti jompo, hingga memberikan sumbangan untuk anak-anak jalanan.”
“Pernah suatu waktu anak saya bertanya, mengapa banyak anak kecil menyanyi di lampu merah. Setelah itu, untuk mengetuk hatinya dan menggugah rasa simpatinya, saya mengajak anak saya untuk melihat lebih dekat bagaimana anak-anak kecil itu mencari sesuap nasi”. , terangnya .
Mengajak anak langsung menyaksikan kejadian sehari-hari yang membuatnya trenyuh, ternyata sangat mengena di benak anak-anak William. “Sejak itu, mereka tidak pernah lagi membuang-buang nasi ketika makan”.
Dari pengalaman tersebut, William berkesimpulan bahwa pendidikan moral harus bisa dipraktikkan pada anak-anak, dari rumah hingga di lingkungan sekitar, termasuk di jalanan.

TAHAP PERKEMBANGAN MORAL ANAK
1. Perkembangan kuantitas menuju kualitas
Ketika anak mulai mengenal larangan orangtua, anak cenderung manilai dosa atau kesalahan berdasarkan besar-kecilnya akibat perbuatan yang ditimbulkannya. Misalnya, anak menganggap bahwa menjatuhkan beberapa gelas secara tidak sengaja lebih besar dosanya dari pada menjatuhkan satu gelas secara sengaja.
Pada tahap awal perkembangan moral, anak tidak memperhitung kan unsur motivasi. Baru pada usia yang lebih besar, ia mulai memahami bahwa kualitas suatu perbuatan harus diperhitungkan dalam menilai benar-salah.
2. Ketaatan untuk menuju inisiatif pribadi.
Pada mulanya seorang anak akan menaati apa yang dikatakan orangtuanya. Inilah kesempatan terbaik orangtua untuk mengajarkan apa yang harus diajarkannya karena masa ini akan cepat berlalu. Setelah itu, anak akan lebih terikat dengan perjanjian-perjanjian.
Pada tahap ini, anak akan bermain dengan peraturan yang dapat diubah sesuai perjanjian sebelumnya. Karena itu, teriakan “curang” sewaktu anak bermain akan terdengan keras ketika peraturan bersama ini dilanggar.
Anak juga sangat peka terhadap ketidak konsistenan orangtua bila orangtua melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang diajarkannya. Bagi mereka, orangtua pun seharusnya terikat dengan peraturan yang mereka tetapkan bagi anak-anaknya.
Bila perkembangan moral anak berjalan baik, pada usia remaja akhir anak telah memiliki prinsip moral yang menjadi miliknya pribadi dan yang mengarahkan tingkah lakunya. Anak tidak mudah lagi dipengaruhi lingkungannya. Sebaliknya, anak akan melakukan perbuatan berdasarkan prinsip moral yang dimilikinya.
3. Kepentingan diri menuju kepentingan orang lain.
Tahap awal perkembangan moral anak adalah egosentris karena anak masih memusatkan perhatian pada dirinya. Tujuan suatu perbuatan adalah kesenangan pribadi dan kenikmatan. Bila perkembangan moral anak berjalan baik, barulah pada usia yang lebih dewasa, individu dapat melihat kepentingan orang lain dalam melakukan tindakan moralnya.
Bukan itu saja, pengorbanan kepentingan diri dapat dilakukan demi kesejahteraan teman-teman sebayanya. Misalnya dengan membagi permen yang dimilikinya, ataupun mengajak teman-temannya untuk berbagi boneka kesayangan.

Dra Roswitha Ndraha :
LEBIH MUDAH DENGAN STORY TELLING
Story telling atau mendongeng, memang bukan sesuatu yang baru bagi kebanyakan ibu di Indonesia. Tradisi mendongeng mungkin dilakukan sejak berpuluh tahun yang lalu. Dongeng yang identik dengan dunia anak-anak ternyata sangat berpengaruh bagi perkembangan moral anak.
Hal tersebut cukup beralasan karena anak adalah pendengar yang baik, apalagi ketika mereka masih dibawah 10 tahun. Dongeng apapun yang diberikan, akan membuat si anak terpesona bahkan terpengaruh hingga mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal itu diungkapkan oleh pendiri Layanan Kondeling Keluarga dan Karier serta penulis buku pendidikan anak-anak Dra Roswitha Ndraha dalam seminar Education in the Changing World. Dalam makalahnya yang berjudul The Power of Story Telling , Roswitha memberikan bukti-bukti menarik tentang pembangunan moral anak yang lebih mudah dilakukan dengan cara mendongeng atau story telling.
“Misalnya, ketika anak malas menggosok gigi di malam hari, kita sebagai ibu tidak usah membentak dan memaksa anak agar menyikat gigi. Cukup ceritakan saja sebuah dongeng tentang gigi yang dijauhi oleh teman-teman gigi lainnya gara-gara berlubang” ungkapnya. Dongeng seperti itu, menurut Roswitha, sangat sering dipraktekkannya di rumah pada anak-anaknya yang terkadang tidak menurut ketika disuruh melakukan sesuatu.
“Ketika anak-anak malas makan, cobalah menceritakan tentang semut. Ceritakan tentang bagaimana giatnya sang semut mengumpulkan makanan untuk hidup. Dongeng seperti itu lebih mendukung anak untuk bertingkah laku baik dan memiliki moral yang menarik”, ungkapnya.
Untuk mendongeng, papar Roswitha, seorang ibu haruslah mampu menceritakan kisah-kisah menarik dan penuh dengan keteladanan. “Tanpa sisipan cerita keteladanan di dalam dongeng, cerita yang disampaikan kepada anak-anak akan sia-sia saja”.
Agar ceita yang diberikan kepada anak mampu menarik perhatian, Roswitha mengatakan, lebih baik lagi jika ibu-ibu mendongeng dengan cerita-cerita menarik disertai dengan ekspressi. “Pilihlah waktu yang paling pas untuk bercerita dengan anak, biasanya dilakukan ketika hendak tidur. Bedakan cerita sesuai dengan usia anak”, tambah Roswitha.
Dengan bercerita, setiap ibu di rumah bisa menanamkan nilai-nilai dan menyenangkan semua pihak”.



16. Asah Empati ,
PERTAJAM JIWA SOSIAL ANAK
(Sindo, 24 Januari 2008)

Memahami kondisi orang lain akan mempertajam
kecerdasan social seseorang. Bagaimana sikap empati ini ditanamkan kepada anak-anak secara dini ?

Empati merupakan sikap atau perilaku memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara. Egois, cuek, dan tidak peduli merupakan representasi dari ketiadaan empati. Hal ini seringkali menjadi penyulut konflik.
Mengapa ada orangtua memilih perayaan ulang tahun anaknya di panti asuhan ? Mengapa anak sesekali perlu diajak melongok anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan ? Tentu agar dia melihat potret kehidupan orang lain, serta untuk peduli dan memahami bahwa anak-anak yang tidak seberuntung dirinya. Pada akhirnya kegiatan tersebut dapat memunculkan sikap dan perasaan empati.
“Pola asuh empati ( parental empathy ) berperan penting dalam perkembangan kesehatan psikologis. Kurangnya empati dapat meningkatkan risiko gangguan kepribadian, sikap depresi, dan menyakiti diri sendiri”, ujar Stephen Montana PhD, Direktur Pelayanan Klinis di Saint Luke Institute New Hampshire USA.
Pada dasarnya, setiap manusia dibekali sifat welas asih untuk saling membantu dan menyayangi antar sesama manusia, sesama makhluk hidup dan lingkungannya. Anak yang nakal dan pemberontak sekalipun dapat tersentuh hatinya bila melihat langsung penderitaan kaum papa maupun korban bencana. Ketika jiwa empati muncul, hati pun tergerak untuk membantu.
Empati erat kaitannya dengan kepekaan atau kecerdasan social. Keduanya perlu ditanamkan sejak kecil. Perlu diingat juga bahwa empati melibatkan afeksi dan emosi. Padahal, kemampuan anak mengelola emosi dengan baik juga berkaitan dengan kecerdasan emosional alias emotional quotient (EQ).
EQ merupakan salah satu aspek kecerdasan yang konon lebih penting dibandingkan IQ ( intelegency quotient ). Baik IQ maupun EQ menjadi bagian dari kecerdasan interpersonal yang harus diasah dalam keseharian anak. “Kecerdasan interpersonal harus dimulai sejak usia dini dan dimulai dari rumah”, ujar psikolog Tika Bisono Mpsi.
Komunikasi efektif antara orangtua-anak begitu kerap didengungkan. Tentu bukan tanpa alasan, karena cara orangtua membangun komunikasi dan hubungan dengan anak akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan social emosional si anak dan terbawa hingga dia dewasa kelak.
Untuk itu, orangtua harus menciptakan kedekatan dengan buah hatinya dari segala aspek. Misalkan melalui kebiasaan curhat yang akan membangun dan meningkatkan kualitas interpersonal dengan lingkungan social yang lebih luas.
“Bersahabat dengan anak adalah memungkinkan jika orangtua mau dan mampu mengembangkan empati terhadap suasana hati anak dalam skala yang terkecil sekalipun”, tegas pemilik Tibis Sinergi Consultant ini
Komunikasi yang efektif dapat mendorong terciptanya keterbukaan. Anak akan bersikap terbuka bila ada rasa aman dan nyaman yang terbangun dari kedekatan dengan orangtua dan rasa percaya diri anak. Padahal, kepercayaan diri akan terpupuk jika anak diberi kebebasan yang sesuai haknya. Antara lain bebas mengemukakan pendapat, meng-ekpresikan diri, berasosiasi dan bermusyawarah, hak memiliki privasi dan hak diberi informasi.
“Kebebasan adalah dasar dari sifat mendiri secara emosional, dan ini perlu dipelajari secara aktif-partisipatif”, ungkap tika secara menjelaskan bahwa partisipasi merupakan sebuah ekspresi dari kemampuan anak untuk berpikir dengan caranya sendiri, membagi ide, dan membuat keputusan sendiri. (inda susanti).



17. MELIPUR DUKA SI KECIL
( Republika, 20 Januari 2008)

Sedih ditinggal orang yang dicintai itu wajar.
Namun bagi anak-anak perlu penanganan khusus.

Raut muka Nia (8 tahun) masih tampak sedih. Di malam hari ia masih kerap menangis sendirian di kamar. Seminggu lalu ibunya meninggal dunia karena kecelakaan. Padahal, Nia masih memiliki adik Dany, tiga tahun, dan Rangga bayi berumur kurang dari setahun.
Dany kelihatan cuek sekali. Seperti tidak terjadi apa-apa. Dia malah asyik bermain dengan sepupu-sepupu yang se usia dengannnya. Sedangkan Rangga sering menangis, tapi setelah diberi susu botol baru bisa anteng lagi.
Sejak ibunya meninggal, Nia belum mau masuk sekolah. Kepada ayahnya, Nia mengaku masih sedih dan selalu ingat ibunya. Anak berambut ikal ini takut ketika pulang sekolah tidak ada lagi yang menyambutnya. “Pasti nggak ada Mamah bakal sepi. Nggak ada yang mengajak jalan-jalan lagi, main”, ungkap Nia.
Untuk menenangkan putrid sulungnya, Ayah Nia meminta saudaranya tinggal di rumah untuk jangka waktu tertentu. Tujuannya, menemani Nia dan mengganti sementara peran ibu Nia yang telah tiada. Namun, seminggu sudah Diana, tantenya Nia, di rumah, tidak ada perubahan.
Lebih lama
Tak hanya Nia. Setiap anak pada usia berapa pun, kata psikolog Vivi Hidayat, sudah bisa merasa kehilangan jika ditinggal ibunya. Apalagi bila anak itu sudah merasakan sentuhan kasih saying yang membuat anak merasa nyaman.
Kini tinggallah kadar emosi si anak. Pada usia kurang dari satu tahun emosi bayi belum kompleks. Bayi biasanya akan menangis bila minta susu, minta makan. Meskipun ia merasakan ada sesuatu yang hilang, jelas Vivi, setelah ada yang memberi kebutuhannya, si bayi pun akan diam.
“Berbeda dengan anak-anak yang sudah besar yang sudah merasakan banyak kebersamaan dengan ibunya, pasti lebih lama sedihnya” papar Vivi.
Anak-anak usia tiga sampai empat tahun pun belum begitu ingat kenangan akan ibunya. Kecuali bila ada orang lain yang menceritakan atau memperlihatkan foto ibunya. Mungkin anak itu akan ingat beberapa kejadian.
Berbeda dengan anak-anak usia lima tahun keatas. Di usia ini, lanjut alumni Psikologi Universitas Pedjadjaran (Unpad) Bandung, anak-anak sudah mengingat ibunya. Dia akan merasa sedih kehilangan ibu dan semakin usia bertambah, semakin sulit lagi melupakan kepergian orang yang sangat disayangi.
“Karena semakin banyak momen-momen dan kesempatan yang telah dilalui bersama orang yang kita sayangi. Bahkan sudah ada ikatan kuat sehingga semakin emosinya larut kalau ditinggal selamanya”, ujar Vivi.
Belum stabil
Kesedihan ditinggal orang yang dicintai adalah wajar. Namun bagi anak-anak perlu penanganan khusus, karena emosinya belum stabil. Biasanya anak-anak yang belum mengerti akan menanyakan, kemana Mamah ? Bahkan mereka akan mencari-cari dan memanggil-manggil ibunya. Anak berusia kurang dua tahun, lanjut Vivi, belum mengerti konsep kematian. Mereka belum paham pula konsep waktu kemarin, hari ini, atau besok. Bila kepada mereka dikatakan bahwa ibunya pergi, anak akan menanyakan pertanyaan lagi. “Kok Mamah nggak pulang ? Kapan mamah pulang ?
Vivi lantas menunjuk pada satu hal : Berilah pengertian sesuai dengan usia anak. “Yang penting jangan membohongi si anak ! Kalau membohongi, misalkan mengatakan nanti Mamah akan pulang, si anak akan berharap”, katanya. Apalagi anak-anak usia kurang dari enam tahun akan bersedih hati setelah menunggu ternyata ibunya tidak datang-datang lagi. Beberapa hari anak-anak itu memang akan terus bertanya, tapi setelah itu mereka akan lupa.
“Proses anak-anak itu relatif lebih cepat melupakan, karena anak-anak belum mengerti konsep waktu dan anak-anak pun lebih bisa menerima apa adanya”, tegas Kepala Divisi Klinik Biro Pelayanan dan Inovasi Psikologi Universitas pejajaran ini.
Bagi anak-anak di atas enam tahun yang sudah paham proses kematian pasti akan mengerti kalau meninggal tidak akan bertemu lagi. Soal pendek-panjangnya masa berkabung itu amat bergantung pada emosi anak. “Kita tidak bisa memaksa si anak agar langsung menerima kematian itu. Kita pun tidak bisa menentukan durasinya seminggu, sebulan, semua itu tergantung dari karakter anak”, kata Vivi.
Anak yang tertutup tidak bisa mengungkapkan ekspresinya, biasanya cenderung akan diam saja. Di sini perlu peran orang dekat agar mau mendengarkan si anak bercerita mencurahkan kesedihannya. Berbeda dengan anak yang mudah mengekspresikan dirinya.
Menurut Vivi, bila anak sampai down karena takut ada kebiasaan yang dilakukan dengan ibunya akan hilang, solusinya harus ada pengganti. Syaratnya si pengganti bisa melakukan kebiasaan yang dilakukan ibunya. Dengan begitu, anak akan merasa ternyata tidak ada ibu masih banyak yang menyayangi, menghibur, menemani ketika ibu masih ada.
Siapakah orang yang bisa menjadi pengganti ? Vivi menyebut para pengganti sementara peran ibu bisa jadi tante atau nenek. “Dengan mengondisikan suasana rumah seperti sedia kala, anak bisa cepat lupa dengan kematian orang yang dicintai”, lanjut dia.
Yang jadi masalah, bila kesedihan anak masih berlarut-larut sampai perilakunya berubah. Lebih parah lagi jika ia tidak mau berkomunikasi dengan orang lain. “Ini sudah mengkhawatirkan”, katanya.
Bila kita mendapatkan anak yang dulu ceria tetapi kini tidak mau bicara dengan siapa pun sebaiknya dibawa ke psikolog. Perubahan lain bisa juga dengan nilai prestasi di sekolahnya turun drastic. “Kalau nilai sampai turun sekali perlu ada pendekatan dari ayah atau orang terdekat terhadap si anak agar kesedihannya tidak berlarut-larut”, tambahnya.
Vivi mengingatkan, anak-anak yang hidup tanpa orang yang dicintai bisa hidup normal seperti anak-anak lainnya. Mereka tetap bisa survive , pintar dan bisa bahagia. “Asalkan anak itu mendapat dukungan penuh dari orang-orang terdekat, ayah atau ibu, dan lingkungannya”.

Bersiaplah di Sampingnya.
Beberapa minggu awal setelah kematian orang yang dicintainya, anak akan merasakan sedih yang luar biasa. Bantulah anak menjalani pemulihan dengan :
· Mendengarkan : Amati dan dengarkan anak, perhatikan perasaannya. Apa yang ia pikirkan tentang kematian ?
· Sampaikan fakta yang benar.
Ketika pertanyaan muncul, cobalah menjawabnya dengan jawaban yang benar. Jika anda belum tahu jawabannya, sampaikan dengan jujur.
· Akuilah perasaan anak dan bantulah ia mengungkap perasaannya. Mengingat sesuatu orang yang dicintainya itu bisa menjadi cara yang cukup untuk membantu anak untuk mengungkapkan duka citanya.
· Ungkapkan cinta Anda. Anak akan merasa kesepian. Mereka mungkin takut juga akan mati pada giliran berikutnya. Sebuah kegiatan rutin bisa membantu mereka. Ungkapan saying, pelukan, merupakan bantuan tak kalah pentingnya.



18. AGAR BATITA TIDUR LELAP
(Republika, Ahad 24 Pebruari 2008)

Banyak batita yang kesulitan untuk bisa
tidur nyenyak.

Siapa yang tidak gusar jika batitanya tak lelap tidur di malam hari ? Kurang tidur tentu berpengaruh besar pada kelancaran seabrek kegiatan di keesokan hari. Tidak Cuma fisik yang merasakan dampaknya, kondisi psikis sangat mungkin ikut berfluktuasi lantaran terganggunya istirahat malam.
Itu tadi pengaruhnya pada Anda – orangtua atau pengasuh. Bagaimana dengan si kecil ? Dampaknya tentu juga tak bisa diremehkan. Kurang tidur akan mengganggu proses pertumbuhan, daya tahan tubuh, daya ingat, metabolisme tubuh, serta perkembangan system hormonnya.
Bayi yang baru lahir memerlukan waktu tidur selama 16 hingga 20 jam. Saat ulang tahun pertamanya, ia akan terlelap selama hampir 14 jam. Ketika menginjak usia dua tahun, waktu tidurnya terpangkas menjadi 13 jam. Lalu, di usia ketiga, bayi akan tidur sekitar 12 jam sehari.
Sebelum menginjak usia 3 tahun, bayi masih perlu tidur siang sekitar satu sampai dua jam. Tidur siang ini merupakan pelengkap istirahat totalnya. Berdasarkan kuesioner singkat sekitar tidur bayi – yang disebar dr Rini Sukartini SpA (K) dan rekan – di lima kota di Indonesia terungkap 44,2 % batita jam tidur malamnya kurang dari sembilan jam. Tak Cuma itu. Mereka pun terbangun lebih dari tiga kali pada malam hari dan lama terbangunnya lebih dari satu jam.
Kejadian yang sama juga terjadi pada buah hati Anda ? Tak perlu risau. Tidur merupakan perilaku yang dapat dipelajari. Pola tidur pun dapat dibentuk melalui rutinitas dan kebiasaan tidur yang baik. Penerapannya bisa dimulai pada usia tiga sampai enam bulan. Membentuk perilaku tidur yang baik dapat dilakukan dengan memberi kesempatan pada bayi untuk dapat belajar tidur sendiri pada waktu tidur. Bayi juga perlu mencari tahu cara untuk kembali tertidur secara mandiri (self soothe).

Langkah menenteramkan
Jika Anda masih ragu untuk memulainya, beberapa langkah sederhana – tapi penting – berikut dapat menuntun Anda menuju istirahat total yang nyenyak, yang menenteramkan hati Anda dan si kecil.
· Cek fisik
Terganggunya fungsi tubuh bisa membuat si kecil sulit istirahat total dan gampang terbangun. Pembesaran amandel yang menyebabkan mendengkur, tumbuh gigi yang membuatnya gelisah, atau hidung yang tersumbat karena alergi merupakan beberapa pengusik tidur batita. “Gatal pada kulit, masalah pada otot dan tulang, kelainan pada telinga maupun saluran cerna pun dapat memengaruhi tidur”, jalas dr Rini Sukartini SpA (K).
Selain penyakit, waktu tidur bayi juga kerap berantakan lantaran belum teraturnya mekanisme lapar kenyang. Terlebih pada tiga bulan pertama usia bayi. Ia akan terbangun dengan sendirinya begitu lapar. “Jadi, tak perlu membangunkan bayi selang dua-tiga jam hanya demi memberi susu”, kata dr Rini.

· Ubah Kebiasaan.
Hampir 80 % keluarga Indonesia menjalani co-sleeping – ayah, ibu, dan anak tidur satu kasur. Meski sudah lazim, perlu diingat pula pola tidur orang tua akan tertular pada anak. “Jika Anda menginginkan si kecil tidur pada jam yang ditentukan, cobalah untuk mengubah kebiasaan Anda mengobrol, membaca, atau menonton TV hingga larut malam”, saran dr Rini.
· Jelang tidur.
Terlalu kenyang ternyata dapat membuat anak sulit untuk memulai berbaring dan memejamkan mata. Karenanya, menjelang waktu tidur malam – sekitar dua jam sebelumnya – jangan berikan ia makanan yang berat. “Faktor lain yang membuat anak susash tidur ialah konsumsi obat asma atau yang mengandung flumetil penidate dan amphetamine”, urai dr Rini yang bertugas di Divisi Tumbuh Kembang – Pediatri social, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.
Menyongsong waktu tidur, hindarkan anak dari aktivitas yang terlampau seru. Jangan biarkan ia menonton acara TV yang menyeramkan, berlari-larian, atau mendengarkan dongeng yang menegangkan. Sebab itu akan membuatnya mengalami terror saat tidur.
· Faktor Lingkungan
Pisah kamar dengan anak adalah kondisi paling ideal dan dapat dilakukan pada anak berusia dua tahun. Namun, jika Anda belum siap menyapih tidur bersama batita, berikan ia tempat tidur sendiri di kamar Anda. “Kalau memungkinkan, adakan pintu yang menghubungkan kamar orangtua dan anak”, ujar dr Rini.
Bagaimana dengan suhu ruang tidur ? Untuk bayi, 26 derajat celcius sudah cukup nyaman untuk membuatnya pulas. Bagi anak yang lebih besar, tentu suhunya mesti lebih dingin. “Sementara itu, jauhkan mainan dari tempat tidurnya,” katanya.

Tiga langkah istimewa
Jika itu belum juga manjur untuk mengajaknya tidur dengan sukarela, tempuhlah pendekatan yang penuh kasih saying. Memandikannya atau menyeka tubuhnya dengan air hangat, memijat ringan tubuhnya, serta membacakan dongeng atau menyanyikan nina bobok adalah tiga langkah istimewa yang patut dicoba. “Penambahan wewangian alami yang berefek menenangkan pada sabun mandi, minyak pijat, dan bedaknya berkhasiat mengurangi waktu untuk menidurkan batita dan memangkas frekwensi terbangun di malam hari”, imbuh dr Rini dalam peluncuran produk Johnson’s Baby Bedtime.
Efek aromaterapi dapat bertahan sekitar 45 menit hingga satu jam. Selama aromaterapi tercium, bayi akan terbantu merelaksasi tubuhnya. “Biasanya, jika ia belum juga tidur dengan digendong, tiga langkah istimewa tadi bisa membuat batita beristirahat total”, cetus dr Rini, anggota Asia Pasific Paediatric Sleep Alliance.

Kolom Parents
PEMBANGKANG KECIL
Anak usia 4 sampai 5 tahun bisa membangkang dan menantang, kata Claire Bainer, salah seorang penulis Second Home : A Day in The Life of a Model Early Childhold Program. Ini disebabkan oleh antara lain keinginan anak untuk bereksperimen dengan kekuasaan. Mereka sedang belajar bagaimana orang saling merespons dan cara mengekspresikannya. Di bawah ini adalah cara-cara cerdas untuk mengendalikan si pembangkang kecil.

MENGUMPAT
Anak Anda baru menemukan sebuah kata baru : ‘bego’. Dengan kata itu, tiba-tiba saja dia memiliki kekuatan untuk membuat orang lain berang.
Mengapa anak-anak bersikap demikian ?
Anak usia 4-5 tahun senang memancing keributan untuk mencari perhatian bukan dengan kekuatan fisik seperti masa batita. Jika anda bereaksi keras terhadap apa yang dikatakannya, maka ia akan menyukai perhatian yang dia dapatkan dan mengulangi perkataannya.
Cara mengatasi :
Jika anak mengumpat saat marah atau frustasi, Bantu dia untuk memahami apa yang sebenarnya dia rasakan, kata Ken Haller, MD, lector kepala bidang anak di St Louis University. Anda bisa melakukannya dengan menyebut jenis emosi yang dirasakannya. Misalnya, katakana, “Kamu bilang saja”, ‘Ma, aku marah sama Mama”. Cobalah untuk tidak terlalu emosional. Biarkan dia tahu bahwa akan ada hukuman atas perbuatannya.

MEREBUT
Setelah bermain bersama temannya, anak Anda mengambil mainan temannya secara diam-diam.
Jangan cemas : Anak anda bukan ‘pencuri’. Di dalam benaknya, dia mungkin berpikir bahwa mengambil mainan milik teman atau permen dari took, sama dengan mengambil kue dari toples di rumah. Butuh beberapa tahun lagi baginya untuk memahami konsep ‘mencuri’.
Cara mengatasi :
Perlakukan hal ini sebagai suatu kesalahan dan jelaskan kepada si kecil bahwa dia bersalah. Katakan, bagaimana jika mainan kesayangannya diambil orang. Kemudian, bantu dia mengembalikan mainan itu dan meminta maaf. Mempermalukan dia hanya akan memperburuk situasi. Lebih baik jadikan momentum ini untuk mengajarkan konsep kepemilikan.

MEMBANTAH
Anak anda sering menolak perintah dan mengucapkan kata-kata yang terasa menyudutkan ?
Jangan beranggapan bahwa ini adalah bentuk penolakan terhadap Anda, kata Key Abrams, PhD, psikolog dari Maryland. Anak anda sudah semakin mandiri, dia mencoba untuk menemukan tempatnya di dunia ini – dan tempat anda di dalam dirinya. Menguji batas wilayahnya adalah hal yang baik. Ini berarti dia merasa cukup aman untuk jauh dari anda.
Cara mengatasi : Memang sulit untuk tidak memasukkan komentar pedas anak ke dalam hati. Tapi, Anda harus bersikap dewasa dalam situasi seperti ini. “Jangan pernah menyakiti perasaannya hanya untuk menunjukkan bahwa dia telah menyakiti Anda”, kata Dr Abrams. Ketika anda merasa akan hilang kesabaran atau akan mengatakan sesuatu yang akan anda sesali, tinggalkan dia atau ambil napas yang dalam lalu hitung sampai sepuluh. Setelah tenang, Anda bisa mengoreksi sikapnya. Jika dia berkata bahwa dia membenci Anda, atau tak menginginkan Anda sebagai ibunya, katakana saja, “Mama sih saying kamu, dan Mama senang menjadi mama kamu”.



18. BELAJAR SAMBIL TERTAWA
Tawa bayi memang menggemaskan. Bahkan ada sesuatu yang spesial melihat reaksi anak umur satu tahun saat dia menyaksikan kejadian yang lucu. “Tertawa sebagai bentuk respons terhadap apa yang dilihatnya, menandakan bahwa intelektualitas batita Anda sedang berkembang”, kata Moureen O’Brein, PhD, penulis Watch Me Grow : I’m One-Two-Three kepada Parents.
Para ahli mengatakan, lingkungan yang mendukung berperan penting dalam membentuk selera humor anak. Itulah sebabnya, tertawa itu penting saat dia mulai mengenal humor. “Anak usia ini senang sekali pengulangan” kata Susan Goodwyn, PhD, penulis pendamping Baby Minds : Brain-Building Games Your Baby Will Love. “Jika Anda tertawa ketika melihat dia memasukkan sarung tangan boneka ke hidungnya, maka Anda perlu tertawa lagi saat dia melakukan hal itu untuk kedua, ketiga, bahkan keempat kalinya”.
Cobalah cara-cara berikut ini untuk membangun selera humor anak :

KEJUTKAN DIA
Di usia 1 tahun, anak sedang dalam tahap menguasai konsep obyek permanen – menyadari bahwa benda-benda tetap ada meski tidak terlihat mata. Karena itu anak senang sekali diajak bermain cilukba. Anda juga bisa mencoba permainan lain, misalnya anak diminta bersembunyi di balik selimut dan Anda mencarinya “Adek di mana ya ? Oh, mungkin dia sembunyi di bawah kursi”) Lalu anda berpura-pura terkejut ketika kepalanya muncul dari balik selimut.
Begitu anak berusia 18 bulan, perbanyaklah waktu bermain dengannya. Sembunyikan mainan di balik handuk lalu tukar dengan benda lain saat ia berpaling. Dia akan terkejut ketika menarik handuk dan melihat mainan yang berbeda. Latihan semacam ini akan meningkatkan kemampuannya menyelesaikan masalah, sebab dia akan mencoba untuk mencari tahu apa yang terjadi.

BERMAIN DENGAN KATA-KATA
Dengan bertambahnya kemampuan dan pemahamnnya terhadap bahasa, batita mulai merespons humor verbal, seperti irama, lagu dan ocehan yangv tidak berarti tapi terdengar lucu. Anak perlu mengetahui nama benda yang benar sebelum dia menertawakan anda karena salah ucap. Si kecil juga akan menganggap lucu jika anda salah menyebut nama benda, misalnya sepatu menjadi baju, atau anjing menjadi ikan.

BERSIKAP KONYOL
Anak usia 1 tahun akan mengembangkan apresiasinya terhadap humor yang sifatnya fisik. Jadi, manfaatkan kesempatan ini : Coba tempelkan pisang di telinga seperti memegang gagang telepon, menggigit bola seolah itu buah apel, atau berpura-pura minum dari dot atau sippy cup milik si kecil. Dia akan menganggap lucu karena tahu kegunaan benda-benda ini yang sebenarnya. Anda juga bisa pura-pura tertidur saat bermain dengannya. Ketika dia membangunkan Anda, dan Anda terbangun kaget, dia pasti tertawa.

AKTIVITAS FISIK
Menggelitiki tubuh adalah cara ampuh untuk membuatnya terpingkal-pingkal. Sedikit saja Anda goyangkan jemari, seolah-oleh ingin menggelitiknya, maka dia akan girang. “Si kecil akan berpikir, “Kita sudah pernah memainkan ini dan aku suka”. Dia telah belajar untuk mengantisipasi kesenangan ini”, kata DR Goodwyn. Namun, variasikan model permainannya. Misalnya, berpose dengan kedua tangan dan kaki seperti anjing, doyongkan badan saat dia mendorong anda, atau berpura-pura tak sanggup mengangkat tubuhnya. Semakin konyol tingkah anda, si kecil akan semakin suka.



19. SUASANA HATI ANAK NAIK-TURUN
( Republika, 27 Januari 2008 )

Hari ini ia penuh semangat, esok hari
kok jadi pemalas ?

Mirza merengek kepada ibunya. Ia malas masuk les bahasa Inggris. “Aku lagi nggak mood, Bu. Minggu depan saja lesnya”, ujar Mirza. Ternyata bukan hanya les bahasa Inggris, murid kelas tiga SD ini mengaku tidak mood belajar dan enggan keluar rumah.
“Tumben. Biasanya senang bermain, tapi sekarang malas. Coba deh, jangan pakai alas an yang mengada-ada”, kata Riana, ibu Mirza. Mendapat teguran seperti itu, Mirza malah semakin ngambek. Akibatnya, Riana semakin bingung. Apa sih maunya anak ini ?
Moody, jelas psikolog Rinna Sutiarny, tidak terjadi tiba-tiba. Tapi ada factor lain yang membuat emosi atau suasana hati berbeda dari biasanya (baca: normal). Mereka yang suasana hatinya sedang tidak nyaman, tidak bahagia, pasti ada penyebabnya. Yang perlu diketahui, apa yang menimbulkan seseorang menjadi tidak mood. “Faktor itu yang harus dicari untuk diselesaikan”, katanya.
Anak-anak moody baru dirasakan ayah bundanya pada saat usia mereka di atas lima tahun. Kurang dari usia tersebut, emosinya lebih dominan, belum bisa mengendalikan emosi, kalau ada maunya harus ! Sedangkan diatas usia 5 tahun, kata Rinna, mereka sudah bisa merasakan jika ada keinginan yang tidak terpenuhi. Anak-anak usia ini pun sudah bisa mengekspresikan diri, rasa sensitive, mengambek, marah.
Tak bisa ekspresi diri.
Rinna menyebut beberapa factor yang menimbulkan suasana hati pada anak-anak menjadi buruk. Faktor alamiah adalah hormon terutama anak-anak yang sudah memasuki masa ABG (anak baru gede). Anak perempuan yang sudah menstruasi pun seringkali dipengaruhi hormon sehingga menimbulkan suasana hati senang dan terkadang sedih atau kesal.
Suasana hati juga bisa dipengaruhi factor fisik. Anak-anak yang kecapaian, tidak enak badan wajar saja malas atau enggan melakukan apa pun. Selain itu, lingkungan yang tidak disukai bisa juga membuat anak menjadi uring-uringan. Misalkan, anak-anak tidak mood sekolah di hari Jumat, karena Sabtu libur ingin cepat bermain.
Faktor lain yang tidak disadari, lanjut Rinna, pola asuh orangtua atau keluarga. Pola asuh orangtua yang cenderung penelantar, kurang peduli baik fisik maupun psikis, bisa menimbulkan suasana hati anaknya mudah berubah-ubah. Sebab anak-anak ini tidak bisa mengekspresikan dirinya. Ketika muncul suatu masalah, anak-anak ini menjadi diam, malas, enggan melakukan sesuatu.
Rinna mengungkap hal yang berbeda pada pola asuh yang demokratis. Pola asuh ini memungkinkan anak-aanak leluasa mengungkapkan segala masalah kepada orangtua. “Mereka diskusi mencari jalan keluar, sehingga masalah anak-anak bisa terselesaikan”, jelas dia.
Sebenarnya, menurut Rinna, yang perlu dicermati bukan kondisi mood atau tidak mood-nya anak. Maklumlah, suasana hati itu bisa turun naik. Tapi, yang harus dicermati adalah apa yang menyebabkan anak itu menjadi tidak mood. Dengan begitu, orangtua bisa mengendalikan atau meregulasi suasana hati anak menjadi senang kembali.

Bisa temperamental
Bila anak-anak yang sedang tidak mood, Rinna mengingatkan agar orangtua tidak langsung menegur. Anak perlu diberi waktu untuk menenangkan diri, walau bukan berarti dibiarkan. Anak-anak itu harus tetap diperhatikan.
“Kalau anak sedang tidak mood, kita tanya-tanya, apalagi kalau intonasinya nada tinggi, anak tidak akan mau menjawab. Atau orangtua menebak-nebak, anak malah berbohong. Karena itu, beri waktu sampai anak kelihatan mulai nyaman”, kata alumnus Fakultas Psikologi Universitas islam Bandung ini.
Di saat suasana gembira anak mulai muncul, orangtua bisa mendekat. Namun Rinna menyarankan agar jangan langsung bertanya ke pokok masalah. Kiatnya, tanyakan dulu tentang sekolah, teman-temannya. “Nanti akan keluar sendiri yang manyebabkan mood-nya ‘turun’.
Untuk itu, saran Rinna, orangtua harus menjadi pendengar yang baik. Andaikan masalah anak di mata orangtua sepele, jangan mengecilkan anak. “Kayak begitu saja marah, dasar cengeng kamu !” Sebab bila itu yang dilakukan orangtua, anak akan terpukul dan tidak mau bercerita lagi.
Jalan terbaik, orangtua harus bisa merasakan apa yang dirasakan si anak. “Kakak sedih ya … bagaimana kalau begini saja … (orangtua menawarkan solusi). Lalu, kata Rinna, orangtua dan anak diskusi mencari penyelesaian. Jika anak merasa puas dan nyaman dengan orangtua, selanjutnya jika ada masalah, anak akan menyampaikan kepada orangtua. Dengan begitu, orangtua tidak perlu lagi mengorek-korek apa maunya si anak. Akibatnya, suasana hati anak pun relatif lebih stabil, karena semua masalah bisa teratasi.
Bagi anak yang sudah terlanjur sering malas melakukan berbagai hal karena tidak mood, psikolog di Biro Psikologi Dwipayana Bandung itu menyarankan agar tidak dibiarkan. Sebab, itu berarti ada sesuatu yang membuat anak tidak gembira. “Kalau dibiarkan akan menjadi anak temperamental, sulit mengendalikan emosi”.
Menurut Rinna, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki hal ini. Pertama, orangtua harus mau mengubah lebih dulu sikapnya sendiri. Sebab, orangtua yang moodnya tidak menentu, anak-anaknya pun akan cenderung serupa. Rinna pun menyerankan untuk memperbanyak intensitas interaksi dengan anak-anak.
Anak yang tidak mood, tandas dia, berarti tidak bisa mengekspresikan dirinya. Karena itu, harus dibuat menjadi senang. Oleh karena itu, tambah Rinna, “tak kalah pentingnya dalam keluarga harus ada sens of humor, membuat anak-anak tidak terlalu tegang.

5 (LIMA) TIPS MEMBANTU SI BUAH HATI
Si buah hati kerap berubah ? Perhatikanlah saran berikut :
· Berikan kualitas perhatian dan kasih saying yang cukup. Bila waktu yang Anda berikan sepenuhnya pada masing-masing anak kurang dari 20 menit per hari, waspadalah.
· Sediakan waktu beberapa menit sebelum tidur untuk meninjau kejadian dalam sehari dan mengenang kebahagiaan dan mensyukuri momen-momen yang ditemuinya. Anak yang moody memerlukan bantuan untuk menemukan perasaan posiitif dalam diri sendiri untuk bisa menenangkan hatinya.
· Turunkan stress anak dengan cara menghindari acara yang padat dan mengajaknya bersantai. Jagalah emosi Anda karena ‘biang’ stress terbesar sebagian besar anak adalah kemarahan ayah dan bundanya.
· Perhatikan alergi makanan anak. Sebagian anak alergi terhadap makanan gandum-ganduman, susu, telur. Kendati tak menunjukkan gejala alergi yang umum, bisa jadi memengaruhi mood, energi, dan ‘daya lenting’-nya.
· Tanyakan nasehat guru, sahabat, psikolog tentang hal-hal yang mungkin luput dari perhatian yang bisa jadi memengaruhi anak.

ANCAMAN DI SEKITAR BAYI
Bayi berusia di bawah 1 tahun berisiko mengalami kecelakaan jauh lebih besar disbandingkan anak usia 1-5 tahun. Anda bisa menghindari bahaya ini dengan sedikit perhatian dan pemikiran. Cobalah tips-tips Parents di bawah ini untuk melindungi bayi Anda :
1. Ancaman : Tersedak dan Sesak Napas
· Singkirkan benda-benda kecil yang bisa dimasukkan ke dalam mulutnya, seperti uang receh, kancing, plastik, atau balon tiup. Anda juga perlu berhati-hati terhadap mainan si kakak.
· Selalu tidurkan bayi Anda dalam posisi telentang di kasur yang rata untuk meminimalkan risiko sudden infant death syndrome (SIDS) atau kematian mendadak pada bayi. Pastikan spreinya pas dengan boks dan jangan biarkan si kecil tidur dengan bantal, mainan, atau selimut. Jika ia membalikkan badan lalu tak bisa mengangkat kepalanya, bayi Anda bisa sesak napas. Saat udara dingin, pakaikan baju terusan yang hangat daripada diberi selimut.
· Jangan tidur dengan bayi Anda. “Kita tidak tahu cara aman untuk tidur bersama”, kata Rachel Moon MD, dokter anak sekali gus peneliti SIDS di Children’s National Medical Center, Washington DC. Agar bisa tetap mengawasi si kecil, disarankan untuk meletakkan boks bayi di samping tempat tidur Anda.
· Jauhkan boks bayi dari jendela jika ada tali menggantung. Sebab, tali ini bisa menyebabkan leher bayi tercekik. Bila perlu, ikat saja talinya agar jauh dari jengkauan bayi.

2. Ancaman : Jatuh
· Jangan tinggalkan bayi Anda sendiri di atas ranjang, sofa, atau tempat lain yang posisinya tinggi. Gunakan penghalang di meja untuk mengganti popok agar bayi tidak terjatuh.
· Perhatikan langkah Anda saat menggendong anak. Jika Anda jatuh, si kecil juga ikut jatuh.
· Pasang alat di dalam bath tub agar anda tidak terpeleset.
· Pasang pembatas di tangga saat bayi Anda sudah bisa bergerak.

3. Ancaman : Luka Bakar
· Kebakaran rumah adalah yang paling berbahaya. Jika memungkinkan, pasang smoke detector di tiap kamar tidur dan lorong.
· Jangan membawa makanan atau minuman panas atau menggunakan oven sambil menggendong bayi.
· Cabut kabel hair dryer dan alat setrika, simpan di tempatnya setelah digunakan.
· Atur suhu pemanas air tak lebih dari 48 derajat Celsius agar kulit tidak melepuh. Selalu periksa temperatur air sebelum memandikan bayi Anda.

4. Ancaman : Keracunan
· Kunci lemari dan laci yang berisi produk-produk pembersih, obat-obatan, atau benda-benda lain yang berpotensi menimbulkan keracunan.
· Ada jenis cat tembok yang berbahaya jika bayi Anda menghirupnya. Jadi, sebelum membeli cat, carilah informasi yang jelas tentang hal ini.

Sebelum bisa membalikkan badan, si kecil sudah bisa memasukkan benda-benda ke dalam mulut. Di Amerika, tercatat lebih dari selusin bayi meninggal akibat keracunan pada tahun 2004. Sekecil apa pun dosis racun itu, tetap saja bisa membahayakan bayi anda karena ia masih sangat kecil, metabolismenya cepat, dan pertahanannya masih lemah terhadap racun.



20. KEMUNGKINAN PENYAKIT JIWA,
BISA DIDETEKSI
( Riset )
Sebuah penelitian baru menemukan, orang yang berpeluang mengidap penyakit kejiwaan, seperti skizofrenia dan gangguan bipolar ternyata bisa diprediksi jauh-jauh hari. Penelitian dari Universitas California itu menemukan lima factor yang sering muncul pada anak yang sudah berisiko tinggi menderita gangguan itu.
“Tak setiap orang yang mempunyai gejala awal mengembangkan penyakit kejiwaan itu.Tapi, bila kita mengidentifikasi kelompok itu, ternyata 80 % kemudian mengembangkan penyakit kejiwaan”, kata Tyron D Cannon, guru besar psikologi, psikiatri, dan perilaku biologis di Universitas California, Los Angeles. Hasil dari penelitian itu dipublikasi kan pada the Archives of General Psychiatry edisi 7 Januari.
Cannon mengaku belum diketahui apakah intervensi dini dengan medikasi akan membantu mencegah perkembangan penyakit kejiwaan. Namun, ia mengatakan, dua penelitian sebelumnya menyarankan intervensi psikologis dini akan lebih berguna bagi mereka. Sebab, intervensi itu bisa memberikan ketrampilan pada remaja untuk tetap bisa berhubungan dengan keluarga dan teman-temannya, memecahkan masalah, dan membuat pemecahan konflik.
Menurut the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP), gejala-gejala penyakit kejiwaan tampak dalam banyak gangguan kesehatan mental. Gangguan itu diantaranya, bipolar (gangguan jiwa dimana terjadi dua kutub kondisi ekstrem, yaitu kondisi manik yang penuh percaya diri dan kondisi depresi secara fluktuatif), skizofrenia (gangguan jiwa paling lazim dengan cirri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antar pribadi normal), depresi dan beberapa bentuk kecanduan alcohol dan penyalah gunaan obat-obatan terlarang.
Dua gejala penyakit kejiwaan yang paling umum menurut AACAP adalah delusi dan halusinasi. Delusi adalah kepercayaan yang salah tapi dipegang teguh. Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah, seperti mendengar suara-suara di saat tak seorang pub sedang bicara.
“Gejala-gejala ini bisa mengganggu”, kata Cannon. Ia menambah kan, penelitian ini tak dirancang untuk menangani kekerasan atau potensi kekerasan pada mereka yang menderita penyakit kejiwaan. Jadi, tak jelas apakah identifikasi lebih awal dan intervensi penyakit ini bisa membantu mencegah insiden seperti penembakan di sekolah yang berulang kali terjadi di Amerika Serikat.
Subjek penelitian adalah 291 anak muda yang mencari perawatan kesehatan mental pada satu dari delapan pusat perawatan di Amerika. Rata-rata umur mereka 18 tahunan. Mereka tengah mencari perawatan gejala awal psikosis. Misalnya mempunyai pikiran yang tak umum. Dalam dua setengah tahun berikutnya, ternyata 35 persen dari kelompok ini betul punya penyakit kejiwaan.
Dari penelitian itu, para peneliti mengidentifikasi lima factor yang bisa membantu memprediksi perkembangan penyakit kejiwaan. Pertama, sejarah skizofrenia pada keluarga dengan memburuknya fungsi kejiwaan yang bersangkutan belakangan ini. Kedua, pikiran tak wajar pada tingkat yang lebih tinggi. Ketiga, kecurigaan atau paranoia pada tataran lebih tinggi. Keempat, gangguan social yang lebih tinggi. Kelima, pernah mengalami penyiksaan.
Ketika ada 2 dari 5 faktor itu, kemungkinan menderita penyakit kejiwaan itu menjadi 68 %. Sementara kombinasi 3 faktor meningkatkan risiko menjadi 80 %.
Berkaitan dengan penelitian ini, Dr Christopher Lucas, Direktur Early Chilhood Service di New York University Child Study Center, punya pertanyaan mendasar. “Bila Anda mempunyai seseorang dengan gambaran ini, apakah anda mengupayakan pencegahannya “?
Baik Lucas maupun Cannon mencatat bahwa penelitian ini dilakukan pada populasi berisiko tinggi. Artinya, ini tak bisa digeneralisasikan pada masyarakat secara keseluruhan.
“Yang penting, orangtua perlu lebih mengawasi anak yang menarik diri dari pergaulan social dan menghentikan partisipasi dalam kegiatan yang pernah disukai”, kata Cannon.



21. SI KECIL CEREWET BERTANYA
(Sindo, 11 Pebruari 2008)

Menangis menjadi satu-satunya bahasa komunikasi
si kecil. Semua perasaan diungkapkan dengan cara
itu, hingga si kecil terampil berbahasa.

Seiring dengan berkembangnya kemampuan si kecil menjalin komunikasi, dia pun makin memiliki rasa ingin tahu yang besar. Menjadi sangat ingin tahu tentang segala hal. Mengapa ini dan itu terjadi, sampai hal-hal yang sulit dijawab. Tidak heran bila orangtua atau orang dewasa kewalahan menjawab rentetan pertanyaan yang dilontarkan.
Kadang, bila kehabisan akal, tak jarang orangtua berujar. “Aduh, kamu jangan berisik”! Atau pertanyaannya yang dianggap sepele atau tak logis ditanggapi dengan jawaban asal-asalan. “Mengapa burung bisa terbang?” “Ya, memang sudah dari sananya begitu. Sudah, ah, kamu ganggu Mamah masak saja sih !”
Nah, bagaimana menyikapi berondongan pertanyaan si kecil ? Spesialis perkembangan anak Dr Brenda Hussey Gardner PhD MPH dalam bukunya Parenting to Make a Difference : Your One to Four Year Old Child mengatakan, saat anak memasuki usia dua tahun lebih, tepatnya usia 30-36 bulan, sewajarnya dia senang mengajukan banyak pertanyaan.
Pada usia tersebut, anak menunjukkan kehausannya untuk memahami dunia sekitar. Dia sangat ingin berkomunikasi. Anak usia tersebut juga juga sangat termotivasi untuk belajar. Kata “mengapa” bukan semata untuk memperoleh informasi, juga untuk berkomunikasi.
Kata “mengapa” dan “mengapa bisa begitu ?” adalah pertanyaan favorit mereka. Kadang mereka malah mengajukan pertanyaan yang mereka sudah tahu jawabannya. “Semua ini adalah bagian dari perkembangan bahasa ekspresif mereka”, ujar Brenda.
Brenda menjelaskan tiga alas an anak senang bertanya dan mengulang-ulang pertanyaan. Pertama, untuk menguji pengetahuan dan ingatannya sendiri. Kedua, dia ingin memberi tahu kita tentang sesuatu. Ketiga, dia menginginkan kita menanyakan juga pertanyaan tersebut kepadanya.
Salah seorang tokoh pendidikan legendaries asal Amerika Serikat John Holt dalam bukunya How Children Feil How Children Learn mengatakan , sudah sewajarnya anak-anak selalu mengajukan pertanyaan karena rasa penasaran.
“Mereka selalu ingin memahami berbagai hal, mengetahui bagaimana sesuatu bekerja, memperoleh kemampuan dan mengontrol dirinya dan lingkungannya, serta melakukan yang dapat dilakukan orang lain”, ujar John.
Dia menambahkan, pada dasarnya anak-anak memiliki sikap terbuka, cepat mengerti, dan sangat suka segala sesuatu yang dilakukan dengan eksperimen.
Hal senada diungkapkan Director Kinderfield Preschool/ Kindergarten Yustitia. Dia menuturkan, biasanya anak akan mulai bertanya ketika kecerdasan verbal sudah siap, yaitu sekitar usia 2,5- 3 tahun.
Namun, pertanyaannya masih sangat sederhana. Kemudian, saat anak menginjak usia empat tahun, pertanyaan mereka akan semakin kompleks. Jika sebelumnya kata pertama yang dipakai diawali dengan “apa”, maka seiring dengan perkembangan otak anak, maka kalimat Tanya yang dipakai anak, diawali dengan kata “mengapa”.
Pertanyaan yang sering dilontarkan anak, “Mengapa burung bisa terbang”. Atau ketika, ketika dia melihat pohon yang berbuah, maka dia akan bertanya mengapa itu terjadi. Yustitia menyarankan, orangtua tidak perlu bingung saat menjawab peranyaan anak. (ririn syafriani).



22. DIAM-DIAM DIA MEROKOK
( Republika, Ahad, 9 Desember 2007
Kecenderungannya anak-anak masa kini mulai
mencicipi rokok pada usia lebih muda.
Bagaimana mengoreksinya ?

Nancy (40 tahun) terperanjat ketika menemukan bungkusan rokok di saku celana seragam sekolah Gilang (13). Di bungkusan kumal itu tersisa tiga batang rokok. Kecemasan itu terjawab keesokan harinya, ketika Nancy pulang lebih awal ke rumah. Gilang bersama ketiga temannya kedapatan asyik merokok di ruang tamu.
“Hanya coba-coba kok Mah . . . janji tidak lagi”, ujar sang anak berkelit saat ditegur ibunya. Dia buru-buru mematikan rokok yang masih mengepul. Kedua temannya langsung pamit. Nancy meluapkan emosinya kepada si sulung bahwa merokok itu tidak sehat, tidak etis, dan awal menuju narkoba.
Saat itu gilang berjanji kepada ibunya tidak akan merokok lagi. Namun, dua minggu kemudian, Nancy menemukan bungkus rokok di tasnya. Ternyata anaknya belum berubah.
Lain halnya dengan Lina (16) yang mengaku sudah merokok sejak di bangku SD kelas empat. Dan, cara memegang, mengisap sampai mengembuskan asap rokok dari hidung tampak ia sudah mahir. Menurut murid SMA Negeri di Jakarta ini, ibunya pernah memergoki tumpukan abu rokok di kamar, tapi cuek saja.
“Kalau Mamah menegur, saya akan balik bertanya, loh Mamah dan Papah juga merokok, kenapa harus melarang ?”, katanya enteng.
Semakin muda
Anak merokok ? Psikolog anak dan remaja Indri Savitri MPsi menjelaskan, sekarang ini mengalami penurunan usia anak yang merokok. Maksudnya, dulu merokok dilakukan mulai anak-anak remaja, tapi kini anak-anak kelas empat atau lima SD sudah mencoba merokok. Tak lagi di kalangan laki-laki, tetapi anak perempuan banyak yang mulai merokok.”Makanya, jangan heran di kampus-kampus banyak ditemukan mahasiswa merokok di kantin”, katanya. Padahal merokok itu jalan menuju narkoba.
Menurut Indri, banyak hal yang menyebabkan anak-anak merokok. Pertama, anak-anak yang lepas dari pengawasan, seperti anak jalanan. Kedua, anak-anak yang bergaul dengan teman-teman di atas usianya.
Anak-anak itu mudah dipengaruhi kelompoknya. Dari awalnya ditawari, lalu coba-coba. Jika si anak menolak akan dijuluki tidak dewasa, tidak macho, “bukan kelompok kita”. “Bagi anak-anak yang tidak percaya diri (PD), bakal terbawa arus ikut-ikutan merokok”, tambah Indi.
Ketiga, terjadi akibat lingkungan di rumah. Ayah atau ibu yang merokok, kemungkinan besar anaknya pun akan menjadi perokok. Sebab, anak-anak itu lebih melihat contoh yang disaksikannya sehari-hari.
Meskipun begitu, Indri tidak memungkiri ada juga anak yang memiliki sikap tegas, tidak mau merokok walaupun orangtuanya merokok. Mereka biasanya telah memiliki percaya diri tinggi, mempunyai kelebihan yang bisa diandalkan. Dia memiliki tingkat kesadaran kesehatan tinggi, sehingga memilih membeli buku, CD musik dari pada rokok.
Cari penyebabnya
Orangtua yang mengetahui anak-anaknya merokok, jangan tinggal diam. Kepala Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat LPTUI (Lembaga Psikologi Terapan UI) ini memberikan langkah-langkah yang harus dilakukan orangtua.
Ketika ketahuan anak merokok, saran Indri, jangan dimarahi karena tidak akan efektif. Tidak perlu juga nasehat berlebihan. Sebab yang terjadi nantinya adalah anak tidak merokok hanya di depan orangtuanya. Karena itu, sebaiknya Tanya secara baik-baik kepada anak. “Kamu merokok ya, apa rasanya ? Apa keuntungannya” ? Biarkan si anak menyampaikan alasannnya.
“Dari komunikasi yang baik dengan anak, orangtua akan mengetahui apa penyebab anak merokok”, kata Indri. Dari situ bisa dicarikan solusi. Misalnya, ternyata anak merokok karena ingin mendapat pengakuan dari kelompoknya. Di sinilah peran orangtua bagaimana si anak mendapat pengakuan walaupun tanpa harus merokok.
Karena, lanjut Indri, banyak juga ditemukan remaja tetap “gaul, macho, oke, pemikiran dewasa, tapi tidak merokok. Orangtua harus menggali kelebihan yang dimiliki si anak, mencarikan kegiatan yang disukai si anak, sehingga anak akan percaya diri dengan kelebihan yang dimilikinya.
Memperbaiki komunikasi
Bisakah anak-anak yang ketahuan merokok bisa disembuhkan ? Semua itu, kata Indri, tergantung dari hubungan yang dijalin antara orangtua dengan anak. Jika relasi itu buruk, tidak hangat, sulit rasanya mengajak anak berhenti merokok. Jadi orangtua harus memperbaiki dulu komunikasi dengan anak. Mungkin orangtua kurang waktu mendengarkan anak sehingga darus dilakukan pendekatan lagi. “Jika relasi sudah sehat, orangtua bisa melakukan komunikasi dan menjelaskan bahaya rokok”, katanya.
Orangtua yang sejak kecil sudah memiliki hubungan yang baik dengan anak, lebih mudah mengajak anak berhenti merokok. Mereka tinggal mengobrol mengomunikasikan dengan baik. Dengan catatan, kedua orangtuanya tidak merokok. Kalau orangtua masih tetap merokok, ya sudahlah . . . jangan harap anak bakal berhenti.
Indri lantas menjelaskan komunikasi dengan anak berbeda sesuai usia sang anak. Komunikasi dengan usia balita lebih mengarahkan, dengan usia SD komunikasi seperti dengan teman, mengajak mengobrol. Sementara usia anak yang lebih tinggi lagi dengan contoh dari orangtua dan sekitarnya.
Kadang orangtua suka memaksa anak berhenti merokok. Cara seperti ini, kata Indri, tidak menjamin anak akan berhenti merokok. Dia tidak merokok di depan orangtuanya, tapi biasanya sembunyi-sembunyi di luar. Apalagi bagi anak yang suka berontak, kalau dimarahi akan semakin nekad. Orangtua harus bicara dari hati ke hati, mulailah masuk ke nilai-nilai yang dianut keluarga.
Bila keadaannya semakin parah, apalagi menyangkut narkoba, Indri menganjurkan agar orangtua menarik anak dari lingkungan. Mau tidak mau pindah rumah agar tidak bersama dengan teman-teman lamanya. Sebab sulit jika anak masih tetap bergaul dengan kelompoknya.
Indri mengingatkan, orangtua sering lupa memberi tameng dalam pergaulan anak. “Bergaul tidak masalah, tapi perhatikan siapa yang diajak bergaul dan katakana tidak jika diajak yang negatif”, tutur dia. Bagi anak-anak yang sudah diberi bekal nilai-nilai dari lingkungan keluarga sulit terpengaruh. Dia akan memerhatikan rambu-rambu yang diberikan orangtua.

Kolom Parents.
KEBIASAAN ANAK BATITA
Orangtua juga harus bersiap menghadapi perilaku aneh yang cenderung berkembang saat anak berusia 2-3 tahun. Mungkin putrid Anda sering memanggil Anda lalu berkata. “Ma, aku punya rahasia”. Ketika anda mendekat untuk mendengar apa yang akan dikatakannya dia malah membisikkan kata-kata yang tak jelas maknanya, tersenyum, lalu berbalik badan. Anda ikut tersenyum, tapi sesungguhnya bingung dengan tingkahnya yang aneh itu.
Bertingkah aneh bukan berarti ada sesuatu yang salah, malah seringkali merupakan bagian penting dalam proses tumbuh kembang. Membisikkan sesuatu yang tak jelas adalah usaha batita meniru orang dewasa serta bereksperimen dengan bahasa. Perilaku-perilaku lain, yang tampak tidak jelas maksudnya, juga memiliki penjelasan sederhana.

Menyembunyikan barang.
Amak Anda setiap hari menyimpan kunci, mainan serta jepit rambut adik perempuannya di balik mainan mobil-mobilan.
Mengapa mereka melakukannnya :
Saat anak memasuki usia 2 tahun, tingkah semacam ini bisa disebut sebagai object permanence : batita belajar bahwa suatu benda yang tidak terlihat mata, bukan berarti bahwa benda itu hilang selamanya. Saat ia mengetahui benda itu tetap ada saat dia kembali, dia merasa telah memperoleh kekuatan dan kontrol.
Cara menghadapinya : “Biarkan anak menyembunyikan barang-barangnya, tapi jangan biarkan dia menyembunyikan barang-barang Anda”, kata Lawrence E. Shapiro, PhD, penulis The Secret Language of Children. Anda bisa menyarankannya menyembunyikan benda lain, misalnya krayon. Bersikaplah konsisten. Anda tidak bisa menghiburnya dengan kunci mobil saat berada di supermarket kemudian melarangnya bermain dengan benda yang sama keesokan harinya.

Kolektor Sampah.
Putri Anda senang memungut batu, daun serta benda yang ditemukannya di jalan. Dia menolak membuangnya dan bersikeras untuk menyimpan benda-benda itu di kotak mainannya. Mengapa mereka melakukannya : Berburu dan berekplorasi adalah bagian penting dalam perkembangan batita, kata Brian Orr, MD, salah seorang penulis The Everything Guide to Raising a Two Year Old. Mereka suka memeriksa dan menyentuh apa saja, termasuk sampah. Itu adalah cara mereka mempelajari tekstur, ukuran, dan bentuk.
Cara menghadapinya : Biarkan saja selama benda-benda itu tidak berbahaya dan tidak dimasukkan ke dalam mulut. Berikanlah tas untuk menyimpan benda-benda temuannya. Beritahu jumlah maksimal barang yang bisa dibawanya pulang, misalnya 5 barang. Ini mengajarkan anak untuk menentukan hal yang berharga bagi mereka.

Penggila Mode yang Keras Kepala
Anak Anda bersikeras untuk memakai pakaian yang sama setiap hari, meskipun tubuhnya semakin membesar.
Mengapa mereka melakukannya : Anak batita cenderung senang mengenakan pakaian tertentu dengan beragam alas an. Mereka ingin mencoba mengontrol , mereka mencari perhatian, atau semua hal yang disebutkan tadi.

Cara menghadapinya : Jelaskan bahwa dia tidak bisa mengenakan pakaian yang sama setiap saat. Coba susun beberapa pakaian di malam hari untuk dipilih untuk dikenakan besok pagi, saran Dr. Orr. Mungkin awalnya dia akan protes, tapi dia akan segera punya obsesi aneh yang lain. Jangan khawatir. Ini pun tidak akan bertahan lama.




23. AYAH-BUNDA HARUS
KOMPAK DAN KONSISTEN
(Republika, Ahad 2 Maret 2008)

Waspadai Celah Antara Ayah dan Bunda, sebab
anak pintar membaca situasi dan ketidak
konsistenan ayah bundanya.

Pulang dari kantor, Uci (33 tahun) heran melihat Kinan (7) asyik di depan TV. Padahal jadwal sore itu seharusnya Kinan les bahasa Inggris.
“Kok, Kinan nggak les ?” Tanya Uci. Dengan enteng si bungsu menjawab, “Kata ayah, kalau lagi hujan aku nggak apa-apa tidak les. Gantinya ayah bilang boleh nonton TV”.
Uci meragukan jawaban Kinan. Sebab dia dan suaminya telah sepakat setiap hal berkaitan dengan anak akan diputuskan bersama. Ketika Dani pulang, Uci menanyakan kebenaran ucapan Kinan. Dani mengiyakan, kalau Kinan tidak usah berangkat les karena hujan deras. Titik.
“Soal boleh menonton TV, bukan begitu konteksnya”, ujar Dani. Menurut dia, Kinan boleh nonton acara anak-anak setelah mengerjakan PR.
Aha ! Rupanya Kinan memanfaatkan celah dari ayahnya. Dia menonton TV, padahal PR belum dikerjakan. Untungnya Uci segera mengonfirmasikan masalah itu dengan Dani. Kalau tidak, mereka bisa adu mulut.
Mengadu domba ? Bahasa kasarnya memang begitu. Menurut psikolog Indri Savitri MPsi, perilaku mengadu dua pihak untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri sangat alamiah dilakukan seseorang. Pada anak-anak sekalipun.

Orangtua tidak konsisten
Tapi, ia mengingatkan, bukan berarti perilaku gemar mengadu itu merupakan factor bawaan dari lahir. Sebab, setiap anak dilahirkan sama dalam kondisi yang baik, bersih. Pengaruh keluarga, lingkungan dan pola asuh orangtualah yang menyebabkan anak-anak memiliki sikap tertentu.
Sejalan dengan kognitif perkembangan anak, lanjut Indri, usia empat atau lima tahun anak-anak sudah bisa melakukan manipulasi. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan situasi agar menguntungkan bagi dirinya. Biasanya, celah yang diincar anak-anak akibat ketidak konsistenan dari orangtua. Misalkan, ibu yang longgar memberi uang tanpa batas, sebaliknya, ayah agak ketat. Ketidak kompakan ini akan dimanfaatkan anak dengan memilih salah satu yang menguntungkan.
“Anak-anak yang suka mengadu domba atau manipulasi, setelah dirunut kebelakang, ujung-ujungnya karena pola asuh orangtua yang inkonsisten terhadap aturan yang diberlakukan kepada anak. Ketika ayah dan ibu berbeda menerapkan aturan, anak akan bingung tapi dia akan mencari pilihan yang paling menguntungkan”, papar Indri.
Selain membaca situasi, anak selalu meniru apa yang dilakukan orangtuanya. Tanpa disadari ternyata orangtua sering melakukan perilaku serupa. Hal kecil saja, ibu ingin makan burger. Tapi, ibu memberi alas an kepada ayah bahwa ia mengantar anak ingin burger. Teknik seperti itu, jelas Indri, sudah mengadu antara anak dengan ayah. Ibu mengkambing hitamkan anak untuk mendapatkan kepentingan sendiri. “Kenapa ibu tidak jujur saja kalau sebenarnya kalau dia sendiri yang ingin makan burger” ?
Karena itu, Indri mengingatkan orangtua agar waspada. Karena tanpa disadari cara-cara seperti itu akan ditiru anak. “Soalnya, perilaku anak mencontoh apa yang diperbuat orangtua dan pengaruh dari lingkungan sekitarnya”, paparnya.
Kondisi lebih parah dilakukan jika anak sudah memanipulasi seakan-akan ibu atau ayahnya telah membolehkan melakukan sesuatu. Padahal, ayah atau ibunya tidak pernah mengatakan seperti itu. Artinya, anak mengada-adakan yang penting keinginannya terpenuhi.
Oleh karena itu, ia menekankan, sejak awal orangtua harus konsisten setiap menerapkan aturan terhadap anak. Kendati tak ada orangtua yang sempurna, tapi bila berhadapan dengan anak, ayah dan ibu harus memiliki sikap yang sama. “Walaupun aturan yang diterapkan ayah dan ibu tidak sama persis, minimal value yang diterapkan tetap sama”, tambahnya.

Crosscheck
Adakalanya orangtua sudah kompak menghadapi anak-anak. Justru yang mengacaukan dari pihak luar, seperti kakek-nenek, tante-om atau saudara yang lain. Yang sering terjadi adalah ketika orangtua sedang melatih anak supaya tidak banyak jajan. Taoi dipatahkan dengan sikap kakek-nenek yang jor-joran membelikan segala keinginan anak. Kasihan, cucu masih kecil sudah banyak aturan”, alas an yang biasa mereka lontarkan.
Apa jadinya, “Anak menjadi di atas angin. Kalau ingin sesuatu, tinggal bilang saja kepada kakek nenek, pasti dikabulkan, kalau sama ibu belum tentu diberi”, papar Indri. “Kebanyakan kakek nenek dijadikan peluang oleh anak-anak, ini yang sulit”.
Menurut Indri, orangtua harus peka terhadap anak yang memiliki kebiasaan gemar mengadu-adu. Sebab, kalau dibiarkan, menjadi kebiasaan, akibatnya akan semakin kompleks. Sasaran adu bisa meluas ke lingkungan sekitar.
Contoh yang sering dilakukan seorang yang gemar memanfaatkan perbedaan sikap orang, adalah, di depan si A akan memuji-muji. Tapi, di belakangnya, menjelek-jelekkan si A. Kalau ketahuan oleh teman-temannya, anak itu tidak akan lagi disukai”, ujar Indri.
Makanya, Indri menggaris bawahi, orang dengan perilaku seperti ini adalah salah satu indikasi menjadi orang yang anti social. Semakin besar kegemaran mengadu-adu semakin sulit diperbaiki. Karena sifat remaja kalau diberi tahu malah akan semakin membrontak, sulit diatur.
“Sebelum terlambat, orangtua harus menghentikan anak-anak yang memiliki kebiasaan mengadu seperti ini”, katanya.
Caranya, kata psikolog anak dan remaja ini, ketika anak ketahuan mengadu ayah dengan ibu atau siapapun langsung di-clear-kan. Anak mengatakan boleh makan permen oleh ayah, crosscheck ke ayah, benar atau tidak mengatakan demikian. Kalau benar, ibu bisa mendiskusikan kembali dengan ayah tentang kesepakan yang telah dilakukan.
Tapi, Indri mengingatkan satu saran : Jangan ridut di depan anak. Jika ternyata ayah tidak mengatakan anak boleh makan permen berarti anak telah memanipulasi ayahnya. Kondisi ini pun jangan dibiarkan, harus dipertemukan anak dengan ayah supaya tidak ada kebohongan.
Perilaku adudomba dan manipulasi kalau dibiarkan akan terbiasa sampai dewasa. Kalau dikantor, tambah Indri, orang seperti ini akan menepuk dada jika mendapat hasil kerja yang baik. Berkat saya nih, kantor ini sukses. Padahal yang bekerja keras anak buahnya. Tapi, ketika kantor gagal, dia akan menyalahkan anak buahnya. “Kalau sudah habit seperti itu susah diubah ke jalan yang benar.

Kolom Parents
PERMAINAN KLASIK UNTUK BAYI.
1. CILUKBA
Bayi usia 4-5 bulan akan girang saat Anda memunculkan wajah dari balik tangan. Saat usia 6-8 bulan, dia akan ikut bermain, dan cekikikan saat membuat kontak mata dengan Anda.
Manfaat : Bayi anda mempelajari hal penting mengenai obyek permanen. “Bayi tidak tahu bahwa benda akan tetap ada bahkan setelah hilang dari pandangan”, kata Charles Nelson PhD, professor bidang kesehatan anak di Harvard Medical Shool. “Dia menyukai elemen kejutan. Anda hilang, lalu muncul. Ini menarik baginya dan akan membantunya mengatasi rasa khawatir berpisah dengan Anda di kemudian hari”.

2. BERNYANYI TEPUK TANGAN
Pangku si kecil lalu bernyanyilah sambil menepukkan jedua tangannya. Mendekati usia 8-9 bulan, dia mulai bisa bertepuk tangan sendiri.
Manfaat : Permainan ini adalah latihan ritme sekali gus kordinasi”, kata Vicki Panacoinne PhD, psikolog anak di Florida. “Ini juga membantu bayi anda membangun kesadaran spasial karena dia menemukan tempat untuk meletakkan tangannya”, Sekali anak bisa duduk sendiri, dia akan lebih terlibat dalam permainan ini, dan meningkatkan keseimbangan dan kemampu- annya untuk focus.

3. BERMAIN DI PANGKUAN
Segera setelah si kecil bisa mendongakkan kepala, dudukkan ia di pangkuan. Lalu, goyangkan-goyangkan tubuhnya sambil bernyanyi atau berpuisi. Di bagian akhir lagu, kejutkan dia dengan menurunkan tubuhnya secara tiba-tiba.
Manfaat : Menambahkan puisi atau lagu menjadikan permainan ini sebagai pelajaran bahasa. Jim Elicker PhD, kepala Early Childhood Programs di Purdue University, Indiana, mengatakan. “Semakin banyak yang dia dengar, maka akan semakin baik. Dia akan memahami komunikasi”.

4. DI MANA HIDUNGMU ?
Bayi Anda bisa berpertisipasi dengan permainan ini saat berusia 3-4 bulan. Mulailah dengan mudah, misalnya tanyakan, “Dimana hidungmu ?” lalu tunjuk dan bilang , “Itu dia”! Ulangi ini beberapa kali sebelum mengucapkan bagian tubuh yang lain.
Manfaat : Bayi anda mengeksplorasi dunia dengan mengenali dirinya sendiri. “Kesadaran spasial penting bagi perkembangan. Dan kesadaran terhadap tubuh muncul lebih dulu”, kata Dee Acklee, PhD, kepala Pendidikan Istimewa di College of Saint Mary, Omaha.

5. KUCING TADI BILANG APA ?
Tanyakan pertanyaan mengenai ragam binatang, lalu jawablah sendiri sambil menirukan suara hewan-hewan tersebut. Suara itu akan membuat anak, bahkan bayi sekalipun, tertarik. Pada usia 4-5 bulan, dia akan mencoba menirukan suara.
Manfaat : Mengajarkan anak Anda untuk menirukan hal di sekitarnya. “Peniruan sangat penting, baik secara emosional dan kognitif”, kata Dr. Elicker. Ketika Anda mengeong balik, si kecil sadar dia berhasil menarik perhatian Anda dan menemukan bahwa tindakannya memperoleh respons. Suara dasar, seperti lenguh sapi atau ringkik kuda , adalah batu loncatan menuju kemampuan bicara.


24. PEMBELAJARAN ENTREPRENEURSHIP
(Republika, Ahad 9 Maret 2008)

Melatih keterampilan berkomunikasi dan ketangguhan
mental anak menjadi seorang entrepreneur.

Seorang entrepreneur punya cirri khas yang membedakannya dengan kebanyakan pegawai. Ia mampu menggerakkan perubahan mental. Ia pun pandai mengambil risiko. Jalan hidupnya tidak datar, tapi penuh gejolak.
Bila gambaran ‘masa depan’ seperti itu yang kita inginkan bagi si kecil adalah sangat tidak tepat. Sebab, kata Rachmini Rachman Uno yang dikenal dengan Mien Uno, “tiap anak dilahirkan dengan potensinya masing-masing”.
Orangtua tak semestinya memaksakan kehendaknya kepada anak. Sebaliknya, orangtua justru harus mengarahkan agar anak bisa menganalisis kemampuan dan kelemahan dirinya. “Selidiki apa keandalan mereka sehingga kita bisa menjuruskan mereka sesuai dengan keandalan yang dimilikinya”, saran Mien Uno.
Kalau anda mendapati anak yang gemar berjualan, biarkan ia melakukannya. Tak perlu membatasinya untuk berusaha. Kalau perlu, beli apa yang dijualnya. “Motivasi orangtua akan membuatnya lebih kreatif, berimajinasi, dan terus mencoba mewujudkan mimpinya”, kata Mien.

Mencari ilmu.
Motivasi dapat diberikan dengan menyodorkan berbagai buku bacaan kepada anak. Dengan begitu, wawasannya akan semakin luas. “Ia harus memiliki mimpi yang kreatif”, kata Mien, penulis biki Etiket Sukses Membawa Diri Di Segala kesempatan.
Untuk keberhasilan anak di masa depan, lanjut Mien, orangtua harus menanamkan karakter yang baik pada anak. Karakter tersebut selayaknya menjadi sebuah kebiasaan dalam kehidupan. “Ini adalah bagian terpenting agar anak punya empati, rasa ingin berbagi”.
Anak juga perlu menjalankan prinsip ‘how to sell yourself before you sell your idea’. Artinya, mereka mesti bisa mendandani diri agar penampilannya menarik. “Dari kecil ajarkan mereka memilih warna”, imbuhnya.
Dengan penampilan yang oke, orang akan lebih mudah menerima keberadaannya. Peluang untuk menjual ide pun makin terbuka. “Juga, jangan lupa untuk mengajarkannya membaca, menanamkan keinginan untuk terus mencari ilmu, dan jangan biarkan mereka terlalu banyak menonton”, urainya.
Sementara itu, anak pun perlu menyadari betapa pentingnya berbagi kepandaian dengan orang lain. Karenanya, biarkan ia membawa teman ke rumah. Dengan begitu, orangtua telah mengakomodasi anak agar berada di lingkungan yang baik. “Rangkul mereka biar bisa dimonitor sejauh apa anak bisa berkembang”, ucap Mien.
Sedari kecil, lanjut Mien, orangtua mesti membiasakan anak menjadi ujung tombak. Jangan remehkan anak hanya karena usianya yang belia. “Dari kecil, ia harus bisa menempatkan diri dan menghargai dirinya sendiri”, tutur pakar pendidikan dan kepribadian ini.
Pendidikan juga penting untuk masa depan anak. Sedapat mungkin, sekolahkan dia di sekolah yang bagus. “Tak perlu mengikut sertakan dia les yang padat. Hanya orangtua yang tak paham anak saja yang melakukannya”, ujar Mien.
Disamping itu, kemampuan berkomunikasi juga mutlak diperlukan untuk masa depannya yang lebih cerah. Sebab, hanya dengan kepandaian komunikasi orang bisa mengaktualisasikan diri di lingkungannya. “Sikap-sikap diplomatis mesti dimilikinya”, papar Mien.
Hal lain yang tak kalah penting ialah kepandaian anak menangani masalah.

Tidak lembek
Anak sewajarnya harus bisa membuat keputusan sendiri. Ia pun perlu mengetahui cara mengendalikan diri di saat dia marah. “Orang yang ingin sukses tidak boleh gampang marah, mesti bisa menjaga hubungan” kata Mien.
Sifat dasar tersebut amat diperlukan bagi seorang wirausahawan. Dengan begitu, anak kelak tidak membeda-bedakan pelanggan. “Dalam perjalanannya menuju masa depan, ada kalanya ia bosan. Biarkan ia jeda sejenak. Yang penting, ia harus percaya akan kemampuan dan yakin apa yang dilakukannya benar”.
Ananda Siregar berpendapat menjadi seorang intrepreneur bukan pilihan yang mudah. Ia bahkan baru yakin beralih ke wirausaha setelah bertahun-tahun menjadi financial analyst bank swasta. “Berkat seringnya membaca kisah sukses orang terkenal, saya pun mantap melangkah memimpin perusahaan sendiri”, ujar CEO PT Graha Layar Prima yang terkenal dengan bioskop Blitzmegaplex-nya.
Empat tahun berwirausaha Ananda menyadari betapa pentingnya memiliki kemampuan yang jarang dipunyai orang lain. Dan, itu adalah ketangguhan mental. “Entreprenir mesti punya sikap can do, harus bisa”.
Kesimpulan Ananda didapat setelah mendapati skill alias kemahiran saja tidak cukup untuk memperlancar bisnisnya. Terlebih, kemahiran sebetulnya bisa dipelajari. “Namun sikap can do tadi lebih sukar untuk ditanamkan”.
Terlahir dari keluarga yang berada, Ananda bersyukur. Ia memandangnya sebagai modal awal yang baik. “Tetapi, terlalu berkecukupan pun tidak baik. Anak harus terus merasa hungry, ingin maju dan tangguh. Jadi, saat ditimpa masalah, ia tidak gampang lembek”.
Lantas, bisakan entrepreneurship diajarkan ? Menurut Noke Kiroyan, “Bisa saja. Asalkan anak bisa melihat peluang dan senang belajar dari kecil”, tandas mantan pimpinan Rio Tinto yang di usia 60 tahun memutuskan untuk berwirausaha.

Mengasah Keterampilan Si Calon Entrepreneur
· Tanyakan pendapat anak dan mintalah bantuan mereka dalam pengambilan keputusan.
· Dengarkan secara aktif pendapat dan saran anak. Jawablah pertanyaannya dengan mengajukan pertanyaan lagi.
· Ajarkan nilai uang dengan mengajarkan anak memahmi hubungan antara bekerja, gaji, pajak dan belanja.
· Bukalah tabungan di bank untuk anak.
· Jangan mendorong, tapi dukunglah kewirausahaan pada diri anak.
· Bila anak siap melakukan bisnis, duduklah bersamanya. Diskusikan apa yang disukai dan tak disukainya.
· Bila anak sudah memutuskan bisnis yang dijalani, ajaklah menulis business plan.
· Ajak anak mempertimbangkan dari mana mendapatkan modal dan mengembalikannya. Bantu anak merincikan gagasan usahanya.
· Yang terpenting, biarkan anak membuat sebagian besar keputusannya sendiri. Biarkan anak belajar dari kegagalan dan keberhasilannya.
(rising a young entrepreneur).



23. NAK, ITU BUKAN MILIKMU !
(Republika, Ahad 16 Maret 2008)

Anak tak mungkin tiba-tiba mencuri.
Introspeksi dulu kebiasaan Anda di rumah.

Tangan Vina gemetar memegang surat itu. Sebuah surat panggilan dari sekolah Melati (12 tahun). Isi, Melati telah menunggak pembayaran sekolah selama dua bulan. Vina yakin, kebutuhan sekolah kedua anaknya adalah prioritas utama. “Mustahil terlewatkan”, tuturnya.
Pulang sekolah, melati pun langsung jadi pesakitan. “Kamu sudah mulai mencuri. Ayo ngaku, untuk apa uang itu”, bentak Vina panik. Awalnya, bocah yang kala itu baru empat bulan duduk di kelas enam SD itu menangkis tuduhan mencuri. Tapi setelah didesak, ia mengaku bahwa uang SPP dipakai membeli aksesori dan mentraktir teman-temannya.
Melati mengaku harus membeli aksesori ‘kembaran’ dengan teman-temannya. “Kalau enggak, nanti aku dikeluarin dari geng Ceria”, ungkapnya terisak. “Kalau minta uang ke Ibu, belum tentu dikasih. Makanya, pakai uang sekolah”.
Hati Vina jadi gundah. “Kecil-kecil sudah mencuri. Bagaimana besarnya nanti ?”

Nilai kepemilikan
Mencuri adalah kegiatan mengambil sesuatu milik orang lain. Untuk mengerti makna ‘mencuri’, menurut psikolog Vitriani Sumarlis, sejak dini orangtua harus mengawalinya dengan mengajarkan mengenai nilai-nilai kepemilikan. “Anak-anak harus mengerti mana barang miliknya diri sendiri dan mana milik orang lain (termasuk barang milik ayah, ibu, kakak, adiknya)”, jelas Vitriani.
Sebagai bagian dari pelajaran tentang nilai kepemilikan, anak perlu tahu etika meminjam atau mengambil sesuatu milik orang lain. Yakni, ia harus meminta izin dulu kepada si pemilik. Jika diizinkan, barulah ia boleh mengambil barang tersebut.
“Kalau nilai-nilai kepemilikan secara jelas dimengerti, anak-anak pasti menghormati barang milik orang lain.Dia tidak akan mengambil barang yang bukan miliknya, sekalipun yang punya adalah orangtuanya sendiri”, ujar Vitriani kepada Republika.
Namun yang sering terjadi, orangtua meremehkan masalah kepemilikan. Tak heran, anak jadi tidak paham. Hal kecil saja, sebut Vitriani, ketika anak meminta uang Rp.1.000,-. Si ibu menyuruh anak mengambil sendiri di dompet. Ketika anak mengambil uang lebih, si ibu tidak menegur, malah membiarkan. “Alasan ibu, Cuma beberapa ribu saja, kasihan anak. ‘Barangku juga milik anakku”, tambah dia.
Asal tahu saja, kata Vitriani sang psikolog, kalau dibiarkan terus-menerus, hal-hal seperti itu bisa menjadi kebiasaan bagi anak. Anak akan seenaknya mengambil uang dari dompet ibu tanpa izin. Sebab, kalaupun tahu, ibu tidak akan marah.
Yang sering tak terbayangkan, ungkap Vitriani, kebiasaan itu bisa menjalar keluar rumah. Anak pun bisa mengambil barang milik orang lain, seperti milik teman atau guru. “Jadi anak-anak itu tidak mungkin tiba-tiba saja mengambil barang milik orang lain. Tapi, karena factor terbiasa atau terjadi sesuatu”, katanya.

Memahami penyebabnya.
Hampir sebagian besar orang tak terlalu khawatir bila anak pra- sekolah mengambil barang bukan miliknya. Sebab, anak usia balita masih sulit memahami konsep pemilikan. Apalagi anak pada usia itu masih berpusat pada kepentingan diri sendiri.
Orangtua teramat cemas bila perilaku ini terjadi pada anak yang lebih besar. Apa lagi pada anak usia praremaja keatas. Menurut psikolog Vitriani, ada beberapa hal yang menyebabkan praremaja mengambil barang milik orang lain.
Pertama, kebutuhan anak untuk memenuhi keinginannya sendiri. Seperti anak-anak ABG (anak baru gede) kini cenderung konsumtif. Mereka menyukai aksesori yang sedang tren. Biasanya ada tekanan dari teman-temannya. Kalau tidak memakai aksesori tertentu tidak dijadikan teman. Kalau si anak tidak mempunyai uang dan orangtuanya tidak memenuhi kebutuhan anak, yang terjadi anak mengambil uang atau barang milik orang lain.
Kedua, kebutuhan akibat tekanan dari orang lain. Anak dipalak oleh orang lain, sehingga ketakutan dan berupaya mencari uang lebih. Kalau anak tidak mempunyai uang, dia akan mengambil milik orang lain. Dalam praktik, kata Vitriani, banyak anak mencuri akibat tekanan dari luar – bulliying.
Ketiga, iseng. Ada kebanggaan bagi anak pra-remaja ketika berhasil mengambil barang orang lain. Dengan bangga dia bilang ke teman-temannya akan ‘kesuksesan’ tersebut. Dia juga semakin senang, kalau teman-temannya menanggapi ‘keberhasilannya’, bisa mengambil barang yang bukan miliknya.
Lalu, apa yang dilakukan orangtua bila sang anak kedapatan mengambil sesuatu milik orang lain ? Langkah yang harus dilakukan orangtua, kata Vitriani, jangan panik. Orangtua harus bijaksana mencari tahu untuk apa dan motif apa yang menyebabkan anak mengambil uang.
Yang gawat, kata Vitriani, orangtua marah sampai ekstrim, tapi tidak ada penyelesaian. Yang terjadi anak malah takut, menjauh dari orangtua, tanpa diketahui sumber masalah sebenarnya.
Para ayah-bunda, jelas Vitriani, sebaiknya belajar memahami bahwa jiwa ABG semakin dimarahi semakin menentang. Karena itu, saran dia, ajaklah anak berdialog. Tanyakan apa yang menyebabkan dia mengambil uang atau barang orang lain. Ketika anak menjelaskan, hargai pengakuannya.
“Tapi dari pengakuan tersebut, orangtua harus tetap memberi tahu bahwa tindakannya itu salah”, kata dia. Ia mengingatkan, orangtua juga harus memberi hukuman yang tidak disukai anak supaya efektif. Misalkan, anak tidak diberi uang saku, diganti membawa bekal dari rumah.
Selama orangtua dapat memenuhi kebutuhan anak dan melakukan dialog secara konsisten, menurut Vitriani, anak tak akan menjadi panjang tangan.

Ingat, ia bukan penjahat.
Bila si buah hati kedapatan mengambil barang yang bukan miliknya, ingatlah :
· Bersikaplah tenang.
· Konfrontasi segera. Bila tak segera dikoreksi, makin sulit memperbaikinya.
· Terapkan konsekuensi. Putuskan konsekuensi mencuri, terapkan setiap perilaku itu terjadi.
· Mengoreksi perilaku. Anak harus minta maaf, mengembalikan barang yang dicuri, membayar ganti ruginya.
· Terapkan konsekuensi. Misalnya, tak mengizinkan anak yang mencuri permen untuk makan untuk beberapa waktu.
· Melabil perilaku mengambil barang milik orang lain sebagai “mencuri”. Jangan kacaukan atau lunakkan istilahnya dengan ‘meminjam’.
· Berikan pengawasan yang memadai.
· Jangan menginterogasi anak atau memaksa untuk mengaku. Anak justru seringkali berbohong untuk membela diri.
· Bantulah anak mencari cara mendapatkan uangnya sendiri secara kreatif.
· Jangan memanggilnya dengan sebutan maling atau pembohong. Anak harus tahu, ayah-ibunya kecewa, tapi itu tak berarti sang anak adalah orang jahat.
· Cari bantuan professional bila perilaku mencuri berkelanjutan.



25.

Labels: