Monday, August 07, 2006

BELAJAR TASAWUF

Manusia dalam hidupnya haruslah mempunyai tujuan, jika tidak ingin terombang-ambing. Tujuan hidup inilah yang akan memberikan semangat pada hidup manusia. Manusia yang hidup tanpa tujuan, biasanya hidupnya hanya sekedar diisi dengan kegiatan yang bersifat kesenangan lahiriah semata.

Arti tujuan . “Tujuan merupakan sasaran akhir dari suatu rangkaian perbuatan yang terencana. Jika kata “tujuan” di tambahi dengan “hidup”, maka ini menandakan arti penting manusia itu sendiri. Karena “tujuan hidup” ini akan menentukan masa depan manusia itu sendiri. Kita tahu bahwa hidup ini bukanlah kehendak kita sejak semula. Semula kita ini tiada, lalu tiba-tiba terlahir dan hidup, untuk selanjutnya kembali lagi menjadi tiada.

Semua rangkaian proses “tiada-ada-tiada” ini sama sekali jelas bukan merupakan kehendak kita. Jadi ini bukan rangkaian perbuatan yang terencana dari phak kita sebagai manusia. Hidup ini merupakan rencana Allah. Ini artinya kita ini adalah ciptaan Allah, kita hidup untuk menjalankan misi kita masing-masing sesuai dengan tujuan penciptaan alam semesta. Sebagai manusia hidup, kita bertolak dari hasrat yang paling mendasar, yaitu keinginan untuk memperoleh kebahagiaan, ketentraman, kedamaian atau kata apapun yang mirip dengan itu, dalam dimensi lahiriah maupun batiniah. Ketika kita beranjak memulai pencarian kearah itu, kita menemukan gaya-gaya apa yang bekerja disekitar kita yang dapat mendekatkan atau menjauhkan kita dari kebahagiaan itu. Disinilah kita menyadari untuk mendapatkan semua itu. Hal-hal seperti inilah yang menjadi tujuan dalam ilmu tasawuf.

Titus Burckhard dalam bukunya “Mengenal Ajaran Kaum Sufi”, berpendapat bahwa tasawuf merupakan aspek batin, atau esoterik Islam sebagai perenungan langsung atas realitas ketuhanan dan keruhanian. Penekanan tasawuf pada aspek batin, menunjukkan bahwa kita perlu membenahi apa yang menjadi dasar perilaku kita yang lahiriah.

Dalam tasawuf kita mengetahui bahwa dalam diri kita ada nfsu amarah (kehendak, ego) nafsu yang menuntut pemuasan dalam pemilikan materi, kekuasaan dan hasrat seksual. Kita sudah belajar dari pengalaman bahwa pemuasan nafsu ini tidaklah menghasilkan kepuasan dalam arti yang sebenarnya. Makin dituruti, nafsu ini menuntut pemuasan yang lebih besar, sedangkan dalam kenyataannya kita tidak selalu dapat memenuhinya. Maka kita jatuh kedalam kekecewaan, kemarahan dll. Dan ini sama sekali bukanlah kebahagiaan.

Kita mencari lebih lanjut, sampai kita menemukan bahwa agama mengajarkan kita untuk berserah diri atau mencari ridha Allah. Inilah yang kita sebut kehendak ilahi “nafs al-muthmainnah”. Dengan mengikutinya, kita akan dibawa menempuh jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati. Apakah ini artinya kita harus mematikan hasrat duniawi kita ?

Tasawuf mengajarkan kia bahwa nafsu amarah bukan untuk ditinggalkan sama sekali, melainkan untuk dikendalikan. Kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabat menunjukkan bahwa mereka tidak meninggalkan atribut keduniawian itu. Tasawuf membiarkan kita pada posisi kita masing-masing. Yang dituntut adalah perubahan perilaku kita, perubahan sikap mental kita. “Jangan lagi membiarkan diri kita dikuasai oleh nafsu amarah atau kehendak ego kita. Kitalah yang harus menguasai nafsu itu. Dengan membebaskan diri dari cengkeraman nafsu ammarah, maka hal ini menjadikan kita dengan mudah diperhamba oleh Allah SWT.

Manusia pada hakekatnya merupakan ajang pertarungan adu kekuatan antara dua gaya yang saling berlawanan : malaikat dan setan. Malaikat membujuk kita untuk mengikuti kehendak “Ilahi”, sedang setan menarik kita agar menghamba kepada kehendak ego. Orang yang melakukan perbuatan atas dasar mengikuti kehendak “Ilahi” yang dibisikan malaikat, ia disebut “berserah diri” kepada Allah dan ia memperoleh ridha Allah. Kepada orang-orang semacam inilah kebahagiaan sejati diberikan. “Hai jiwa yang tenang (yang mendapat ketenangan dari Tuhan), kembalilah kepada Rabbmu (Tuhanmu) dengan hati yang puas lagi diridhaiNya (QS.89 : 27-28). “Dialah yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada).” (Q.S. 48 :4).

Sebagai ilustrasi betapa pentingnya tasawuf itu, ada sebuah contoh yang sederhana : bersedekah. Meskipun perbuatan ini tampaknya baik, kita perlu mempelajari apa motivasinya. Biarpun seseorang hanya menyumbang seribu rupiah untuk pembangunan sebuah mesjid, kalau ia melakukannya atas dorongan nafs al-muthmainnah, maka perbuatan ini akan mendatangkan ketenangan. Sebaliknya, biarpun seseorang membangun sebuah mesjid besar, semua atas bebannya seorang diri, tetapi ia melakukannya atas dorongan nafsl ammarah, misalnya agar orang lain hormat kepadanya, maka kepuasan sejati tidak akan diperoleh.

Apa yang tersurat dalam kisah Khidir bersama Musa yang ditulis di dalam al-Quran, alkahfi mulai ayat 65, melukiskan kontras antara seorang ahli makrifat dan ahli syariat. Ini menunjukkan bahwa manusia dapat mempunyai derajat keruhanian yang tinggi. Kalaupun dalam perjalanan itu kita tidak sampai mencapai maqam itu, hal ini merupakan hak Allah untuk menentukannya. Namun demikian ketinggian derajat ruhaniah seperti Khidir itu bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai oleh kita apabila mengikuti rambu-rambu yang ditunjukkan oleh tasawuf.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home