Monday, August 07, 2006

MENEGUR

Menegur orang yang melakukan kesalahan merupakan yang amat diperintahkan oleh Islam. Untuk menjalankannya perlu strategi yang tepat agar teguran itu bisa berbuah perubahan baik bagi orang yang ditegur. Allah SWT berfirman :” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”.(Q.S. An-Nahl/16 :125).

Kegagalan menegur seringkali tidak disebabkan oleh substansi teguran, tetapi justru lebih banyak disebabkan oleh kesalahan strategi. Perlu tahapan dan pembagian peran supaya teguran berhasil guna. Yang bukan bagiannya jangan dilakukan. Rasulullah SAW bersabda : “Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka tegurlah dengan tangannya (kekuasaannya). Jika tidak mampu maka tegurlah dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka tegurlah dengan hati. Namun, ini adalah keimanan terlemah”.

Salah strategi dalam menegur hanya akan mengakibatkan kebencian yang mendalam.

Ada tiga kunci sukses dalam menegur :
  1. Tidak merendahkan ego orang yang ditegur. Karena secara psikologis, bila ego seseorang direndahkan, dia justru membuat pertahanan diri untuk menyelamatkan egonya dari gangguan pihak luar.
  2. Cari waktu yang tepat. Salah waktu juga membuat teguran dipahami sebaliknya. Niat untuk meluruskan kesalahanpun tidak akan tercapai.
  3. Pahami posisi sosial orang yang ditegur. Jangan sampai teguran dianggap ancaman bagi posisi orang yang kita tegur.
Al-Hasan dan Al-Husein mencontohkan ketika menegur yang baik. Dua cucu Nabi Muhammad SWA ini mendapati seseorang tidak berwudhu dengan baik. Keduanya lalu menghampiri orang itu. “Pak, saudaraku ini mengaku wudhunya lebih baik daripada wudhuku, padahal aku merasa wudhuku sudah seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Sekarang tolong, beri penilaian, mana yang paling baik, wudhuku atau wudhunya” ? kata al-Hasan. Keduanya lalu sama-sama berwudhu seperti wudhu yang biasa dilakukan Nabi saw. Selesai berwudhu, keduanya menanyakan ikhwal wudhunya kepada lelaki itu. Merasa salah dalam berwudhu, lelaki itupun berkata.:”Demi Allah, saya sudah tidak berwudhu seperti yang dilakukan Anda berdua.” Islam bahkan tidak hanya mengajarkan ketika menegur umat seagama.

Agama ini juga mengajarkan bagaimana cara menegur yang benar kepada umat dari agama lain, sekeji apapun kesalahannya. Al-Quran memberi petunjuk tentang perintah Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berkata lembut kepada Fir’aun. Allah berfirman : “Berbicaralah kalian berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS Thaha/ 20 : 44).

Ketika menegur orang yang berbuat salah tentu kita berharap orang yang kita tegur mau mengubah sikapnya sesuai saran kita. Namun, kita sering mengabaikan hal-hal kecil yang penting saat menegur. Tak ayal, bukan kebaikan yang kita dapatkan, justru sikap permusuhan yang malah muncul. Niat baik tidak selalu berbuah baik. Cara tepatlah yang akan mengantarkan niat baik itu ketempat yang seharusnya.

BELAJAR TASAWUF

Manusia dalam hidupnya haruslah mempunyai tujuan, jika tidak ingin terombang-ambing. Tujuan hidup inilah yang akan memberikan semangat pada hidup manusia. Manusia yang hidup tanpa tujuan, biasanya hidupnya hanya sekedar diisi dengan kegiatan yang bersifat kesenangan lahiriah semata.

Arti tujuan . “Tujuan merupakan sasaran akhir dari suatu rangkaian perbuatan yang terencana. Jika kata “tujuan” di tambahi dengan “hidup”, maka ini menandakan arti penting manusia itu sendiri. Karena “tujuan hidup” ini akan menentukan masa depan manusia itu sendiri. Kita tahu bahwa hidup ini bukanlah kehendak kita sejak semula. Semula kita ini tiada, lalu tiba-tiba terlahir dan hidup, untuk selanjutnya kembali lagi menjadi tiada.

Semua rangkaian proses “tiada-ada-tiada” ini sama sekali jelas bukan merupakan kehendak kita. Jadi ini bukan rangkaian perbuatan yang terencana dari phak kita sebagai manusia. Hidup ini merupakan rencana Allah. Ini artinya kita ini adalah ciptaan Allah, kita hidup untuk menjalankan misi kita masing-masing sesuai dengan tujuan penciptaan alam semesta. Sebagai manusia hidup, kita bertolak dari hasrat yang paling mendasar, yaitu keinginan untuk memperoleh kebahagiaan, ketentraman, kedamaian atau kata apapun yang mirip dengan itu, dalam dimensi lahiriah maupun batiniah. Ketika kita beranjak memulai pencarian kearah itu, kita menemukan gaya-gaya apa yang bekerja disekitar kita yang dapat mendekatkan atau menjauhkan kita dari kebahagiaan itu. Disinilah kita menyadari untuk mendapatkan semua itu. Hal-hal seperti inilah yang menjadi tujuan dalam ilmu tasawuf.

Titus Burckhard dalam bukunya “Mengenal Ajaran Kaum Sufi”, berpendapat bahwa tasawuf merupakan aspek batin, atau esoterik Islam sebagai perenungan langsung atas realitas ketuhanan dan keruhanian. Penekanan tasawuf pada aspek batin, menunjukkan bahwa kita perlu membenahi apa yang menjadi dasar perilaku kita yang lahiriah.

Dalam tasawuf kita mengetahui bahwa dalam diri kita ada nfsu amarah (kehendak, ego) nafsu yang menuntut pemuasan dalam pemilikan materi, kekuasaan dan hasrat seksual. Kita sudah belajar dari pengalaman bahwa pemuasan nafsu ini tidaklah menghasilkan kepuasan dalam arti yang sebenarnya. Makin dituruti, nafsu ini menuntut pemuasan yang lebih besar, sedangkan dalam kenyataannya kita tidak selalu dapat memenuhinya. Maka kita jatuh kedalam kekecewaan, kemarahan dll. Dan ini sama sekali bukanlah kebahagiaan.

Kita mencari lebih lanjut, sampai kita menemukan bahwa agama mengajarkan kita untuk berserah diri atau mencari ridha Allah. Inilah yang kita sebut kehendak ilahi “nafs al-muthmainnah”. Dengan mengikutinya, kita akan dibawa menempuh jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati. Apakah ini artinya kita harus mematikan hasrat duniawi kita ?

Tasawuf mengajarkan kia bahwa nafsu amarah bukan untuk ditinggalkan sama sekali, melainkan untuk dikendalikan. Kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabat menunjukkan bahwa mereka tidak meninggalkan atribut keduniawian itu. Tasawuf membiarkan kita pada posisi kita masing-masing. Yang dituntut adalah perubahan perilaku kita, perubahan sikap mental kita. “Jangan lagi membiarkan diri kita dikuasai oleh nafsu amarah atau kehendak ego kita. Kitalah yang harus menguasai nafsu itu. Dengan membebaskan diri dari cengkeraman nafsu ammarah, maka hal ini menjadikan kita dengan mudah diperhamba oleh Allah SWT.

Manusia pada hakekatnya merupakan ajang pertarungan adu kekuatan antara dua gaya yang saling berlawanan : malaikat dan setan. Malaikat membujuk kita untuk mengikuti kehendak “Ilahi”, sedang setan menarik kita agar menghamba kepada kehendak ego. Orang yang melakukan perbuatan atas dasar mengikuti kehendak “Ilahi” yang dibisikan malaikat, ia disebut “berserah diri” kepada Allah dan ia memperoleh ridha Allah. Kepada orang-orang semacam inilah kebahagiaan sejati diberikan. “Hai jiwa yang tenang (yang mendapat ketenangan dari Tuhan), kembalilah kepada Rabbmu (Tuhanmu) dengan hati yang puas lagi diridhaiNya (QS.89 : 27-28). “Dialah yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada).” (Q.S. 48 :4).

Sebagai ilustrasi betapa pentingnya tasawuf itu, ada sebuah contoh yang sederhana : bersedekah. Meskipun perbuatan ini tampaknya baik, kita perlu mempelajari apa motivasinya. Biarpun seseorang hanya menyumbang seribu rupiah untuk pembangunan sebuah mesjid, kalau ia melakukannya atas dorongan nafs al-muthmainnah, maka perbuatan ini akan mendatangkan ketenangan. Sebaliknya, biarpun seseorang membangun sebuah mesjid besar, semua atas bebannya seorang diri, tetapi ia melakukannya atas dorongan nafsl ammarah, misalnya agar orang lain hormat kepadanya, maka kepuasan sejati tidak akan diperoleh.

Apa yang tersurat dalam kisah Khidir bersama Musa yang ditulis di dalam al-Quran, alkahfi mulai ayat 65, melukiskan kontras antara seorang ahli makrifat dan ahli syariat. Ini menunjukkan bahwa manusia dapat mempunyai derajat keruhanian yang tinggi. Kalaupun dalam perjalanan itu kita tidak sampai mencapai maqam itu, hal ini merupakan hak Allah untuk menentukannya. Namun demikian ketinggian derajat ruhaniah seperti Khidir itu bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai oleh kita apabila mengikuti rambu-rambu yang ditunjukkan oleh tasawuf.

BUKTI CINTA ALLAH KEPADA HAMBANYA

Ada dua cinta yang hakiki dan tak pernah luntur, yaitu cinta Allah kepada hambaNya dan cinta ibu terhadap anaknya. Namun keduanya memiliki nilai berbeda.

Cinta Allah adalah cinta yang tidak terbatas. Hakikat dan besarnya tidak bisa dipersamakan dengan kasih sayang siapapun. Alaah SWT berfirman :”Rahmat (kasih sayang)-Ku meliputi segala sesuatu”. (QS Al-A’raf /7 : 156).

Untuk memberikan gambaran kepada umat tentang kasih sayang Allah, Rasulullah mengibaratkan kalau kasih sayang Allah itu berjumlah seratus, maka yang sembilan puluh sembilan disimpan dan satu bagian lagi dibagi-bagi. Yang satu bagian bisa mencukupi seluruh kebutuhan makhluk. Hal ini menunjukkan betapa luasnya cinta Allah. Ada beberapa bukti nyata dari banyak bukti tentang besarnya cinta Allah kepada manusia.

Bukti cinta yang pertama adalah diturunkannya al-Quran. Allah SWT al-Khaliq tidak membiarkan kita kebingungan dalam menjalani hidup. Dia menurunkan al-Quran sebagai penuntun hidup, agar kita dapat meraih kebahagiaan di dunia dan di akherat. Firman-Nya “Kitab ini tidak ada keraguan padanya, (merupakan) petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. QS al-Baqarah/2 : 2).

Dalam ayat lain, difirmankan pula , “Sebenarnya al-Quran itu adalah kebenaran (yang datang ) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu, agar mereka mendapat petunjuk” (QS.As-Sajdah/32 :3).

Dr. Quraisy Shihab mencatat ada tiga petunjuk penting yang diberikan al-Quran :

Pertama, petunjuk akidah yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan akan kepastian hari pembalasan.

Kedua, petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan moral, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun sosial.Ketiga, petunjuk mengenai syariat dan hukum, yaitu dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia.
Mengutus Para Rasul.

Secara fitrah setiap manusia membutuhkan teladan yang bisa dijadikan rujukan. Untuk memenuhi kebutuhan itulah allah mengutus para Rasul. Dalam QS al-An’am (6) :48, Allah SWT berfirman :”Dan tidaklah kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Inilah bukti kecintaan allah yang kedua. Dia tidak membiarkan manusia berjalan sendirian. Dia mengarunakan “teman” terbaik yang akan menemani manusia menuju jalan kebahagiaan, mengenalkan manusia kepada Tuhannya, sekaligus menjadi model manusia yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. FirmanNya :”Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS al-Ahzab/33 :21).

Kita yang hidup tidak sezaman dengan Rasulullah SAW, dapat membuka warisannya berupa hadis dan sunnah. Didalamnya terdapat penjelasan yang rinci tentang semua ajaran Allah. Ajaran yang berisi petunjuk menjalin hubungan dengan Allah (hablun minallah_ dan dengan manusia (hablun minannas). Di dalamnya kita juga mendapati gambaran karakter mulia Rasulullah SAW sebagai teladan yang baik.

Diciptakannya alam semesta.

Allah SWT tidaklah menciptakan alam semesta tanpa maksud. Dia menjadikan semua yang ada dibumi dan dilangit untuk memenuhi kebutuhan manusia. FirmanNya :”Dialah Allah, yang menjadikan semua yang ada dibumi untuk kamu, kemudian Dia menuju langit, lalu Diua menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS al-Baqarah/2 :29).

Seluruh potensi yang ada di dalam dan di permukaan bumi dihamparkan untuk diambil manfaatnya oleh manusia. Tidak ada satupun makhluk di alam ini yang tidak bermanfaat. Nyamuk misalnya, walaupun mengganggu, nyamuk dapat membangkitkan kreatifitas manusia, obat nyamuk contohnya. Dengan adanya nyamuk banyak orang yang tercukupi ekonominya. Allah telah menciptakan alam dengan amat sempurna, sehingga manusia dapat hidup didalamnya dengan nyaman. Semuanya telah ditata dengan akurat. Perjalanan siang dan malam, rantai makanan antara makhluk hidup sampai dengan lingkungan tempat ia hidup, semuanya telah diatur dengan hukumNya.

Luasnya ampunan Allah.

Bukti keempat adalah luasnya ampunan Allah SWT. Sebanyak apapun dosa manusia, Allah pasti akan mengampuni asalkan ia betul-betul bertobat. Allah swt berjanji dalam al-Quran :”Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu) mengerjakan yang demikian, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-2 orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya”. (QS. Hud/11 : 3).

Tangan Allah terbuka setiap saat bagi orang yang mau bertobat. Rasul Allah SAW bersabda :”Allah membentangkan tanganNya di malam hari agar orang yang berbuat keburukan di siang hari bertobat, dan membentangkan tanganNya disiang dari agar orang yang berbuat keburukan di malam hari bertobat. (Ini akan terus berlaku) hingga matahari terbit dari arah Barat.” (HR. Muslim).

Dia akan mengampuni semua dosa, sekalipun dosanya sepenuh isi bumi, “Wahai manusia, sekiranya kamu datang kepadaKu dengan membawa dosa siisi bumi kemudian kamu bertemu Aku dalam keadaan tidak menyekutukan Aku dengan suatu apapun, niscaya Aku datang kepadamu dengan membawa ampunan seisi bumi pula”. Demikian bunyi sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan Imam Tarmizi.

Memberikan rezeki.

Allah adalah Ar-Razzaq, Zat Maha Pemberi rezeki. Setiap makhluk diberinya rezeki agar mereka dapat hidup dan beribadah kepada Allah SWT. Tidak ada satupun makhluk yang tidak diberi rezeki, termasuk manusia. FirmanNya :”Katakanlah, sesungguhnya tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendakiNya dantara hamba-hambaNya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendakiNya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS.Saba’/34 :39). Demikian pula makhluk yang lain. “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah yang memberikan rezekinya. Dan, Dia tahu tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (lauh mahfudz)” (QS. Hud/11 : 6).

Inilah tanda bukti cinta Allah yang kalima. Setiap kita telah diberi bagian rezeki. Yang perlu dilakukan adalah ikhtiar menjemput rezeki itu. Allah memberi kasih sayangNya yang tak terbatas agar kita bersyukur. Dan syukur yang paling utama mengabdi dengan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.

VISI DAN KOMITMEN DALAM HIDUP

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S.Alhasyr’ 59 :18).

Saudara. Masyarakat kita sekarang sedang mengidap penyakit kronis yang sangat berbahaya. Penyakit itu adalah tidak memiliki visi dan tidak memiliki komitmen dalam hidup. Tidak adanya visi atau tujuan dalam hidup, menjadikan pendek pikiran. Karena pendek pikiran ia lebih tertarik melakukan hal-hal yang instan sifatnya, yang memberikan kenikmatan sesaat, tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkannya.

Tidak adanya visi menjadikan seseorang tidak komitmen menjalankan nilai-nilai kebenaran. Ia terombang-ambing dalam ketidak pastian. Ia tidak memiliki semangat juang untuk sukses dan istikamah dalam beramal.

Dua penyakit ini, tidak memiliki visi yang jelas dan tidak memiliki komitmen dalam kebenaran, pada akhirnya akan melahirkan ketidak disiplinan. Dan, tidak disiplin menjadi modal awal untuk meraih kegagalan.

Padahal, Allah SWT telah memberi tuntunan:” Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Hasyar/59 : 18).

Tidak adanya visi dan komitmen akan menyebabkan seseorang sibuk beraktifitas, namun semua yang dilakukannya tidak efektif, tidak bernilai tambah, dan hanya membuang-buang waktu. Sebab, ia hanya mengerjakan hal-hal yang kurang penting, atau bahkan tidak penting. Mungkin pula aktiiiiiivitas yang ia lakukan sangat menyenangkan, namun akibat yang ditimbulkannya demikian panjang dan berat. Tidak sebanding antara yang ia dapatkan dengan yang ia korbankan.. Karena segalanya dilakukan tanpa arah yang jelas dan perhitungan yang matang.

Demikianlah, seorang remaja akan tergelincir melakukan maksiat, karena ia tidak memiliki visi yang jelas dalam hidupnya. Bagaimana membangun keluarga sakinah ? Apa akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatan tersebut ? Semuanya gelap. Ia hanya memikirkan kesenangan untuk waktu itu saja. Ia Muslim, namun tidak memiliki komitmen dengan nilai-nilai ke Islamannya.

Seorang pegawai yang tidak memiliki visi dalam hidup dan komitmen terhadap nilai-nilai, maka ia akan bekerja seenak perut, tidak berpikir untuk mengembangkan diri dan bekerja secara profesional. Ia hanya menuntut hak tanpa peduli kewajiban. Tak heran bila dalam waktu singkat ia tergusur oleh perubahan.

Seorang pejabat yang tidak memiliki visi dalam hidup, komitmennya menjaga amanah rakyat sangat diragukan. Ia akan dengan mudah tergelincir dan menyalah gunakan jabatan untuk memperkaya diri tanpa peduli dengan akibat yang ditimbulkan.

Seorang pedagang yang tidak memiliki visi dan komitmen dalam hidup, akan mudah menipu pembeli.Ia akan mudah menukar kebahagiaan dan keberkahan dengan keuntungan sedikit. Karena, siapa yang memiliki visi atau tujuan yang jelas dalam hidup, lalu ia berjuang keras menjaga komitmen hidupnya, maka ia akan menjadi manusia disiplin. Dan, dengan kedisiplinan, gerbang kesuksesan akan segera kita jelang.

MENUJU UMAT BERSATU

Segala sesuatu itu harus “ibda’ binafsih” dimulai dari diri sendiri. Kalau kita hanya sibuk menuntut , maka itulah yang membuat kita tidak bisa berbuat banyak.

Ni’mat bisa merasakan hidup bersama dengan sesama manusia itu indah. Karena ternyata banyak orang yang hidup dengan manusia bukannya indah tapi malah nestapa. Tentu bukan salah orang lain semata, tapi yang paling penting kita mulai berfikir mengapa kok bergaul dengan orang lain tidak seindah semestinya.

Ada ungkapan : Yang patah umat Islam, yang sakit umat Islam, yang bersorak yang mengadukannya”. Sama halnya dengan bangsa kita, sebagai bangsa yang umat Islamnya terbanyak didunia, alamnya kaya, luas, maka kalau kita maju pasti ada orang yang tidak suka bagi yang hatinya kotor.

Sebetulnya kita sengsara bukan karena hebatnya orang lain. Mereka memperlakukan kita karena kita sendiri lemah. Maka daripada sibuk ,e,ikirkan orang lain yang zalim, lebih baik kita pikirkan bagaimana menjadi komponen yang bersatu. Beberapa kiat berikut dapat menjadi bahan renungan dalam mempersatukan umat.

Pertama. Latihan berbeda pendapat. Kita lihat sebuah mesjid yang begitu indah, kokoh dan megah. Penyebab utama adalah karena bahan yang digunakan berbeda-beda. Ada semen, ada batu,bata, pasir, air dan beton. Sayangnya umat Islam belum terbiasa dengan berbeda-beda. Kalau berbeda pendapat dianggap musuh. Padahal kita butuh pendapat yang berbada agar wawasan kita bertambah, serta bisa mengukur pendapat kita benar atau tidak. Kitapun butuh pendapat yang berbeda supaya kita makin kokoh dan makin kuat.

Wajar ketika anak berbeda pendapat dengan orang tua. Yang harus kita perhatikan adalah etikanya. Tidak mungkin orang tua sama dengan anak kerana ukurannya beda. Sehingga orang tua harus siap berbeda pendapat dengan anak. Yang penting tujuannya sama . Kita jangan sampai terjebak. Berbeda pendapat bukan tanda permusuhan. Beda pendapat adalah wahana saling melengkapi.

Kedua. Jangan suka menonjolkan diri. Wa’tashimu bihablillahi jami’an wala tafarraqu, untuk diakui jasa itu tidak usah selalu kelihatan. Terkadang, kita ingin terlihat paling menonjol, paling hebat dan npaling penting. Kalau kita saling menonjolkan diri maka kita tidak akan bisa bersatu. Kita harus siap menerima kenyataan bahwa Islam itu begitu hebat dan begitu dahsyat. Diciptakan oleh Allah dari Nabi Adam sampai kiamat nanti, disempurnakan oleh risalah Rasulullah SAW. Itu mencakup peradaban dari zaman dulu, modern hingga postmodern. Mana mungkin muat dalam kepala kita yang baru belajar Islam kemarin sore. ?

Maka, belajarlah untuk tidak menonjolkan diri. Kalau mau berjuang jadilah seperti besi beton, dia tidak kelihatan tapi dia menguatkan, hasilnya semua orang mengakui. Orang ikhlas itu pandai menyembunyikan kebaikannya sebagaimana menyembunyikan keburukannya. Imam Ali mengatakan :”Orang yang ikhlas, maka sekecil apapun kebaikannya, Allah yang membesar-besarkannya. Tapi, orang yang riya dan paner maka ia akan dihinakan oleh Allah dengan pamernya.”

Ketiga. Jangan meremehkan orang lain. Kita tidak bisa berbuat apapun tanpa orang lain. Persatuan kita hanya akan teguh kalau budaya menghina itu sudah hilang pada diri kita. Daripada capek karena menghina orang lain, lebih baik banyak berbuat memperbaiki orang lain, itu lebih menyelesaikan masalah. Karena kalau banyak omong maka omongan itu akan kembali kepada diri kita sendiri. Mulai sekarang maka berhentilah meremehkan orang lain. Karena pendek itu bikinan Allah, sipit vjuga bikinan Allah. Makin tidak capek kita menghina makin gampang kita bersilaturahmi.

Keempat. Mulai menuntut diri sendiri. Yang namanya ukhuwwah tidak bisa didapat dengan menuntut orang lain. Persatuan itu syaratnya menuntut diri. Segala sesuatu itu ibda’ binafsih, dimulai dari diri kita. Kalau kita hanya sibuk menuntut, maka itulah yang membuat kita bisa berbuat banyak.

Tuntutlah diri. Orang yang selalu sibuk menuntut orang lain berbuat sesuatu, maka dialah yang binasa karena tuntutannya sendiri. Dalam situasi seperti sekarang, kita harus berbuat, berbuat dan berbuat, karena itu yang akan kita dapatkan.

MENSUCIKAN JIWA DENGAN MENGINGAT MATI

“Perbanyaklah kalian mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu mati” (HR. Tirmizi).

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Setiap orang bernyawa pasti mengalaminya. Allah SWT berfirman :” Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.” (QS. Ali Imran/3 :185). Kedatangannya tiba-tiba dan tidak bisa dihentikan.

Difirmankan, “Bagi stiap umat ada ajal. Ketika ajalnya telah tiba, maka mereka tidak dapat meminta penundaan dan percepatan sesat pun”. (QS Yunus/10 : 49). Dan “walaupun berusaha lari, mereka tidak akan pernah lepas dari kematian”. (QS. Al-Jumuah/62 :8).

Namun kematian bukanlah akhir kehidupan. Ia hanya pintu gerbang menuju alam akherat. Disana setiap manusia akan mempertanggung jawabkan semua amal perbuatannya di dunia di hadapan Allah. Kemudia dia akan mendapatkan balasan atas apa yang telah diperbuat. Apakah ia mendapatkan keselamatan atau siksa, sangat ditentukan oleh amalnya selama di dunia. Prinsipnya, dunia adalah tempat menanam dan akherat tempat memanen.

Disinilah letak pentingnya mengingat kematian. Setiap muslim berpeluang untuk menyimpang dari jalan lurus. Jalan yang diyakininya dapat mengantarkan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akherat. Dengan mengingat kematian, ia akan teringat pada misi hidupnya. Ia akan ingat bahwa semua perbuatannya akan di pertanggung jawabkan. Yang vkemudia, ia berusaha kembali pada jalan yang benar.

Mengingat kematian menurut Imam Gazali, dapat pula mengobati jiwa yang sakit, menyegarkan spiritual yang letih, serta membangun kembali kekuatan dan energi batiniah yang tidak berdaya. Maka semakin banyak mengingat kematian, semakin meningkat pula ketekunan dan optimisme dalam melaksanakan hak-hak Allah SWT, disamping semakin ikhlas dalam beramal.

Mengingat kematian adalah sarana yang tepat untuk menyucikan jiwa, meredam gejolak nafsu dan melembutkan hati. Sebailknya, lupa akan kematian akan menyebabkan tidak terkontrolnya nafsu, kerasnya hati, sehingga ia lupa terhadap kewajibannya sebagai manusia.

Banyak cara digunakan untuk mengingat kematian, diantaranya dengan berziarah kubur. Sbda Rasulullah SAW “Semula aku melarang kalian berziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah kalian”. (HR. Muslim). Ziarah yang dimaksud bukan untuk meminta sesuatu dari ahli kubur, tetapi untuk mengingatkan bahwa kita pun akan seperti mereka. Tidak ada batasan kuburan siapapun yang mesti diziarahi. Tidak hanya kubur orang-2 terkenal saja, kuburan siapa saja boleh diziarahi.

Membaca kisah wafatnya Nabi SAW, para sahabat, orang-2 saleh dan para ulama, juga bisa dilakukan. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah-kisah mereka. Paling tidak dengan membacanya terlintas keinginan untuk meninggal dalam khusnul khatimah seperti mereka. Mengingat kematian, selain bermanfaat, juga merupakan sunnah yang harus dilestarikan. Dengan harapan sunnah yang baik ini dapat mensucikan jiwa dan melembutkan hati.

MEMBERSIHKAN ALAM BAWAH SADAR

Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, akhlak adalah irisan dari kepahaman seseorang akan sesuatu (al-fahmu), kemudia ia akan dengan sukarela menjalankannya (al-ikhlash), selanjutnya secara rutin menjalankannya (al-amal).

Salah satu reality show di TV adalah bertajuk “Tolong”. Modusnya bebrpura-pura membutuhkan pertolongan. Kru tayangan tersebut menguji sensivitas masyarakat, apakah mau menolong atau tidak. Ternyata sulit menemukan seseorang yang bersedia mengulurkan tangan untuk membantu.

Peduli terhadap sesama adalah bukti kemuliaan akhlak yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis beliau bersabda :”Barang siapa melapangkan kesusahan dari kesusahan dunia seorang mu’min, Allah akan melapangkan kesusahannya di hari kiamat. Barang siapa melepaskan kesukaran seorang mukmin, Allah akan melepaskan kesukarannya di dunia dan di akherat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akherat. Dan, Allah akan selalu menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa berjalan di jalan menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).

Akhlak tak bisa begitu saja dimiliki setiap orang. Akhlak adalah sesuatu yang sudah menempel pada seseorang dan menjadi bagian dari dirinya. Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, akhlak adalah irisan kepahaman seseorang akan sesuatu (al-fahmu), kemudia ia akan dengan sukarela menjalankannya (al-ikhlash), selanjutnya dengan rutin menjalankannya (al-amal). Rutinitas , yang diwarnai perasaan sukarela dengan dukungan pengetahuan, akhirnya membuahkan akhlak. Karena itu, akhlak terinternalisasi dalam diri seseorang melalui tahap pembiasaan. Dalam buku “Membentuk Karakter Cara Islam”, Anis Mata menyebut akhlak sebagai ujung dari iman dan amal shaleh. Akhlak adalah nilai dan pemikiran yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam tindakan yang tetap, natural dan refleks.

Akhlak adalah komponen penting dalam Islam. Bukankah Rasulullah SAW diutus kedunia untuk menyempurnakan akhlak umatnya ? Dalam QS. Al-Ahzab (33) :21, Allah SWT berfirman, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-2 yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Akar akhlakul karimah.

Akhlak mulia tidak secara otomatis nempel pada diri seseorang. Untuk mendapatkannya diperlukan perjuangan maksimal. Timbul pertanyaan, bagaimana membentuk akhlak mulia sesuai tuntunan Rasulullah SAW ?

Hakekat akhlak terbentuk dari proses belajar yang dilakukan terus menerus. Proses tersebut pada akhirnya melahirkan pengalaman yang terakumulasi dipusat memori manusia. Proses ini berlangsung sejak seorang manusia dilahirkan hingga ia tutup usia.

Timbunan memori tersebut dikenal dengan pikiran alam bawah sadar. Makin bersih pikiran alam bawah sadar seseorang, maka akan makin mulia akhlak yang ditimbulkannya. Misalnya, perasaan takut seseorang pada binatang tertentu, atau rasa benci seseorang pada sesuatu. Keduanya lahir dari endapan pengalaman bahwa sesuatu itu buruk baginya.

Alam bawah sadar mampu mensugesti seseorang untuk bertindak spontan. Inilah yang membentuk akhlak. Dan ini pula yang menyebabkan Umar bin Khattab membenci kejahiliyahan. Ia tidak ingin mengulangi dosa-dosanya, karena ia sadar kejahiliyahan itu buruk baginya. Keyakinan ini selalu ia programkan dalam alam bawah sadarnya. Artinya, untuk menghasilkan akhlak mulia, pikiran alam bawah sadar harus dibersihkan dari hal-hal negatif. Semua tergantung niat dan tekad masing-masing. “Dan, sesungguhnya telah kami perintahkan kepada Adan dahulu, maka ia lupa (akan poerintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat”. (QS. Thaha (20) : 115).

Jika seorang jawara sekelas “Umar bin Khathab” saja mampu menjadi manusia ber-akhlakul karimah, bagaimana pula dengan kita yang relatif Allah memudahkan untuk memahami dien-Nya ? Tahapan menuju akhlakul karimah.

Internalisasi akhlakul karimah kedalam diri memerlukan proses panjang. Akhlak adalah bentukan dari kumpulan pengalaman masa lalu. Untuk mengubahnya dibutuhkan proses dan waktu panjang. Tidak ada tahapan yang tetap dan sama bagi tiap orang. Karena hanya diri sendiri yang mengetahui pikiran dan ketahanan mentalnya untuk berubah. Inti dari tahapan ini adalah semangat mengubah diri sendiri. Tidak mungkin Allah mengubah nasib seseorang tanpa ada usaha maksimal dari yang bersangkutan (QS. Ar-Ra’d/13 : 11).

Bagaimana caranya ?

Tahap pertama adalah mengosongkan . Ibarat akan membersihkan gudang, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengeluarkan semua barang dari gudang tersebut. Pengosongan pikiran berarti membersihkan alam bawah sadar dari pemikiran-pemikiran salah, khususnya dari sisi ajaran Islam. Tahap ini sangat penting sebab orang mulai menetapkan rambvu-rambu pada dirinya tentang batasan baik atau buruk, dan kemana batasan tersebut mengacu. Untuk itu Allah menurunkan agama agar manusia mendapatkan pedoman yang lebih rinci dan jelas dengan perantaraan al-Quran dan sunnah Rasul.

Setelah dikosongkan dan diberi pedoman yang baik tentang batasan baik buruk, tahap berikutnya adalah proses pengisian kembali. Jangan sampai alam bawah sadar kita kosong. Artinya, kita harus mengisi pikiran alam bawah sadar dengan energi positip berupa nilai-nilai baru dari sumber-sumber terpercaya.

Tahap berikutnya adalah melakukan pembiasaan. Ibaratnhya, pada tahap ini seseorang akan memulai hidup baru, sehingga ia harus mulai dibiasakan dengan pemikiran-pemikiran baru. Pada tahapan ini seseorang harus mensugesti dirinya bahwa ia sudah berubah. Dengan demikian pikiran alam bawah sadar akan menuntunnya pada akhlakul karimah.

Tahapan terakhir adalah tahap berserah diri kepada Allah Yang Maha Menguasai hati. Pada tahap ini, doa adalah kuncinya. Dengan berdoa seseorang menghadirkan unsur pencerahan Ilahi dalam pikiran alam bawah sadarnya. Dengan berdoa, orang mulai menyadari bahwa Allah takkan lepas pantau dari apa yang ia lakukan. Inilah sikap ihsan, merasakan kedekatan pada Allah seakan-akan Allah melihat kita, yang menjadi inti kemuliaan akhlak.

MENJAGA AGAMA ALLAH

Ibnu Abbas berkata :”Pada suatu hari, aku dibelakang (dibonceng) Nabi SAW. Beliau bersabda :”Hai anak muda, aku ajarkan kepadamu beberapa Kalimat : Jagalah (agama) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (agama) Allah, niscaya Allah selalu bersamamu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika kamu memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, jika seluruh manusia berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, kecuali sesuatu yang telah ditulis Allah untukmu. Jika mereka berkumpul untuk memberikan madharat kepadamu, maka mereka tidak akan bisa memberikan madharat, kecuali yang telah ditulis Allah untukmu. Pena telah diangkat dan lembarannya telah kering” (HR Tirmizi).

Rasulullah saw adalah rahmat bagi seluruh alam. Ajaran yang beliau sampaikan meliputi semua manusia, termasuk kelompok pemuda di dalamnya. Dalam berbagai kesempatan beliau mendampingi dan sering memberikan arahan kepada para pemuda. Seperti terungkap dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas tersebut. Ketika itu Ibnu Abbas masih kecil. Ia adalah putra paman Rasulullah SAW, Abbas bin Abdul Muthalib.

Walaupun disampaikan kepada Ibnu Abbas, tetapi pesan yang disampaikannya berlaku universal. Pesan ini beliau sampaikan adalah menjaga agama Allah. Berada di jalan agama Allah adalah ni’mat yang terbesar. Orang yang konsisten di dalamnya akan meraih cita-cita mulia, yaitu bahagia di dunia dan di akherat.

Penjagaan yang dimaksud berarti menjaga dan memelihara akidah Islam dalam diri. Tidak bisa disangkal, selalu ada upaya untuk menghilangkan Islam dari dalam diri seorang mukmin. Upaya itu bisa berasal dari hawa nafsunya, atau berasal dari orang2 yang tida senang dengan keberadaan agama Allah (lihat QS: 2 : 120).

Perbuatan-perbuatan yang bisa mendorong kepada rusaknya akidah harus dijauhi, seperti mendatangi dukun, melakukan sihir, meminta bantuan kepada jin, memakai jimat, menduakan Allah dalam ibadah dll.

Menjaga agama Allah bisa berarti pula menjaga amal saleh yang telah dan sedang dilakukan. Yang terpenting adalah menjaga konsistensi dalam beribadah, walaupun sedikit.

Rasulullah mencela orang yang tidak konsisten menjalankan ibadah. Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda kepadaku. “Wahai Abdullah, janganlah seperti si fulan. Dahulu ia pernah shalat tahajud. Namun setelah itu ia tidak lagi melakukannya” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Menjaga agama Allah bisa juga berarti menjaga Islam agar tidak tercabut dari hati kaum muslimin. Ini bisa dilakukan dengan bergaul dengan mereka, kemudian memberi teladan dan akhirnya mengajak mereka agar tetap bersabar dalam agama Allah.

Memelihara dan menjaga agama Allah akan mendapat tantangan. Namun Allah berjanji akan senantiasa menyertai dan menjaga kita. Apabila ada yang mencibir atau menghalangi, patut diingat bahwa, segala keputusan berada ditangan Allah,Apabila Allah sudah memutuskan, tidak ada yang bisa menghalangi.

QURBAN DAN CINTA

Nabi Ibrahim AS berkata : Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu”. Ia menjawab “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. al-Shaffat : 102).

Berkurban pada Idul Adha adalah bentuk pengagungan cinta kepada al-Khaliq, Allah SWT menguji kecintaan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Nabi Ismail yang sangat dicintainya.

Cinta Ibrahim terhadap Allah SWT , dan cinta Ismail terhadap ayah dan Tuhannya, menjadikan keduanya ikhlas dan patuh melakukan perintah itu. Meski, Allah SWT menggantinya dengan seekor kambing. “Dan kami tebur anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (Q.S.Ashaffat 107).

Ritual qurban yang telah menjadi syariat Islam ini adalah untuk mengenang perwujudan konsep cinta dan kemanusiaan. Pengorbanan untuk sesama dalam rangka membina persaudaraan antar manusia. Ada beberapa keteladanan yang patut ditiru dari pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail ini, yaitu :
  1. Terasa benar bahwa Allah SWT sebagai Dzat yang Penyayang dan Pemurah pada ummatNya. Dia tidak hanya membatalkan penyembelihan Ismail, tetapi sekaligus memberi ganti seekor kambing kepada hamba yang taat dan mau mengorbankan miliknya karena cinta kepadaNya.
  2. Allah SWT mengajarkan bahwa hidup manusia sangatlah berharga. Dia tidak ingin mengorbankan satu manusia untuk menunjukkan kekuasaanNya. Dia tidak semena-mena terhadap yang lemah.
  3. Cinta sejati diwujudkan dengan kerelaan berkorban. Berkorban karena rasa cinta kepada-Nya. Wujud cinta kepada Allah SWT adalah kerelaan hidup dengan kesalehan. Dalam konteks Islam, seluruh hidup adalah ibadah. Esensi ibadah, mengatur hubungan yang baik dengan Allah SWT dan antara manusia dengan sesamanya.
Damai antara manusia ini salah satunya diwujudkan dengan kurban. Menyembelih hewan ternak dan membagikannya kepada fakir miskin, kepada mereka yang kurang mampu. Sebab, cinta dan ketaatan kepada Allah SWT tidak saja diwujudkan dalam bentuk ibadah mahdhah, tetapi harus teraelisasi dalam tindakan nyata, utuh dan cinta terhadap sesama manusia.

Allah SWT menguji kesediaan mengorbankan sebagian harta yang dimiliki untuk membantu mereka yang kekurangan. Sebagaimana Nabi Ibrahim mengorbankan Ismail yang dicintainya untuk Allah SWT.

Inilah ibadah sesungguhnya, menyembah Allah SWT dan berkorban karena cinta untuk sesama. “Siapa yang memiliki kelapangan, tetapi tidak mau berkurban, janganlah dia mendekati tempat shalat kami (HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

IBADAH HAJI MOMENTUM PERBAIKAN DIRI

Hidup adalah lahan ujian, entah itu kesusahan maupun kesenangan. Harta, pangkat, jabatan dan popularitas tidak identik dengan kemuliaan. Tidak sedikit orang yang kedudukannya meningkat, tapi kezalimannya pun meningkat. Tidak sedikit orang yang kekuasaannya meningkat, kejahatan nya pun makin bertambah. Momentum Arafah seharusnya mulai menyadarkan kita bahwa hidup adalah ujian. Tidak berlalu sedetik pun hidup kita, kecuali didalamnya terdapat ujian.

Saudara, pulangnya kita ketanah air selepas ibadah haji akan menjadi ujian berat bagi kita. Bila sebelum haji kita berbuat salah, orang masih memaklumi. Tapi bila setelah berhaji kita menjadi contoh buruk, berarti kita telah menghinakan apa-2 yang telah dimuliakan Allah. Kalau sepulang haji kita masih korup dan mencuri, berarti kita telah menistakan apa-apa yang telah diangkat Allah. Kalau sepulang haji masih berzina, maka kita telah menistakan apa yang telah disucikan Allah. Kalau sepulang haji kita masih berdusta, maka kita telah mengkufuri semua yang telah dikaruniakan Allah.

Saudara, berkumpul di Arafah adalah saat-saat yang dirindukan orang beriman. Dan, alhamdulillah kita sudah mendapatkannya, maka janganlah ia disia-siakan. Kita tidak tahu apakah allah akan mengizinkan kita kembvali ketempat ini tahun depan. Yang pasti, tempat ini akan menjadi saksi kita di akherat kelak. Betapa orang-orang berlumur dosa seperti kita, telah dijamu oleh Allah ditempat semulia Arafah ini.

Wukuf seharusnya menjadi tritik balik dalam kehidupan kita. Bila kita seorang kepala rumah tangga, maka jangan bangga memiliki keluarga. Karena keluarga adalah cobaan. Jangan bangga memiliki anak, kalau kita tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi mereka. Wahai para suami, bertekadlah untuk menjadi ayah bertanggung jawab. Sepulangnya dari tempat ini, berusahalah agar anak-anak kita tahu siapa Tuhannya, tahu bahaimana hidup dijalan Tuhannya. Kita harus bertanggung jawab akan hari akhir mereka.

Wahai para muslimah, bertekadlah untuk menjadi hajjah yang mabrur. Jadilah isteri shalihah. Jadilah seperti Siti Khadijah, walau tubuhnya semakin tua, bahkan lebih tua dari suaminya, tapi cinta Nabi kepadanya tidak akan lekang dimakan zaman, selalu dikenang kebaikannya. Begitu anggun dan mulia akhlaknya, begitu cemerlang budi pekertinya. Jangan biarkan suami jadi tergelincir, karena istri yang tidak shalihah yang tidak menjadi sumber ketenangan dirumah. Jadilah sosok ibu yang disayang anak-anak. Jangan biarkan anak lebih betah dengan teman-temannya yang suka memperturutkan nafsu, karena kita tidak tahu bagaimana menjadi ibu yang baik, bagaimana mengurus dan membesarkan mereka. Tanggung jawab seorang ibu tidak sekedar melahirkan, tapi juga membimbing anak-anak selamat dunia akherat. Karena itu jadilah ibu yang menjadi sumber kebanggaan dan sumber keteladanan bagi suami dan anak-anaknya.

Saudara, ketahuilah bahwa kesuksesan kita tidak dilihat dari banyaknya pujian dari orang yang jauh dari kita. Kesuksesan sebenarnya adalah tatkala kita mendapat penghargaan dan limpahan cinta yang tulus dari orang-orang terdekat kita. Apa artinya kita dipuji masyarakat, tapi tidak dihargai di rumah.

Semoga Allah menggolongkan kita menjadi anak-anak yang selalu membahagiakan orang tua kita. Bagaimanapun kita tidak akan pernah bisa membalas kebaikan mereka. Maka jadikanlah sisa usia kita, menjadi saat yang paling bersungguh-sungguh dalam memuliakan mereka. Haji yang mabrur adalah haji yang tahu bakti dan tahu balas budi.

Terakhir, kemuliaan disisi Allah bukan dari apa yang kita miliki, tapi dari nilai manfaat yang kita berikan kepada orang lain. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Haji yang mabrur tidak dilihat dari seberapa banyak dia memiliki uang, tapi dari seberapa banyak uang yang telah ia nafkahkan di jalan Allah. Haji yang mabrur adalah haji yang selalu memberi manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang.

Saudara, tidak ada amal yang kecil dihadapan Allah. Karena itu, selagi ada waktu, muliakanlah orang-orang disekitar kita. Berbuat baiklah selalu, kapanpun , dimana pun, dan kepada siapa pun. Sehingga kita puas berbuat kebaikan tatkala meninggal. Ingatlah kita tidak akan pulang membawa harta yang kita miliki. Kita akan pulang hanya dengan membawa amal-amal yang telah kita lakukan.

BEKAL DALAM BERHAJI

Ibadah haji pada hakekatnya adalah perjalanan menghampiri Allah SWT dengan mendatangi rumahNya, baitullah, yaitu Ka’bah di Mekah. Sebagai perjalanan mendekati Allah SWT, haji harus dilakukan secara tulus, terlepas dari motif-motif yang bersifat duniawi, seperti mencari pangkat, status sosial, atau berbangga diri.

Ketulusan hati itu tampak jelas dalam ayat al-Qur’an yang memerintahkan haji. “Karena Allah SWT , wajib bagi manusia untuk menynaikan ibadah haji, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah” (Q.S. Ali Imron :97). “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah SWT”. (Q.S. Al-Baqarah : 196).

Perintah haji dalam dua ayat diatas ditekankan harus lillah, tulus karena Allah SWT. Redaksi demikian tidak ditemukan di ayat lain yang isinya perintah untuk beribadah, seperti shalat, puasa dan zakat. Meskipun pada dasarnya semua ibadah harus lillah, terlebih lagi haji yang menuntut perjuangan dan kerja keras, lahir dan batin dalam waktu yang cukup lama. Menurut Ali Syariati, haji dipandang sebagai gerakan (harakah) menuju kesempurnaan. Dengan sendirinya dibutuhkan bekal atau energi. Dan bekal yang terbaik adalah takwa. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (al-Baqarah : 197).

Bekal takwa itu, ujar Imam Al-Ghazali dalam al-Arbain fi Ushul al-Din mengandung beberapa makna yang perlu diperhatikan oleh para hujjaj, yaitu :
  1. Ongkos naik haji dan semua biaya yang digunakan adalah halal, bukan hasil curian. Sebab harta yang halal akan mencerahkan hati dan melapangkan perjalanan.
  2. Para hujjaj tidak membawa barang dagangan agar hati mereka tidak bercabang dan dapat berkonsentrasi untuk ibadah.
  3. Para hujjaj dianjurkan banyak melakukan amal kebajikan dalam perjalanan dan selama di tanah suci.
  4. Menjunjung tinggi moralitas dan keluhuran budi pekerti dengan tidak berkata kotor (rafats), tidak melanggar hukum-hukum Tuhan (fasik), dan tidak berbantah-bantahan dengan maksud merendahkan orang lain (jidal).
Imam Gazali menyebut satu lagi bekal yang harus diperhatikan, yaitu sikap sabar dan tahan uji. Semua kesulitan, jelasnya, akan mampu dihadapi bila benar-benar lillah, tulus karena Allah SWT. Berbagai kesulitan harus dihadapi dengan penuh kesabaran sebagai bagian dari tanda-tanda kemabruran haji.

Dengan berbekal energi takwa, para hujjaj Insya Allah akan meraih haji mabrur. Haji yang baik, diterima Allah SWT, dan mendapat perkenan-Nya. Semoga berhasil.

MENJADI ORANG PALING KAYA

“Ridha-lah dengan apa yang dibagikan Allah SWT untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya” (H.R. Tarmudzi).

Hadist ini merupakan bentuk nyata betapa susahnya menumbuhkan rasa qana’ah (merasa cukup). Maksudnya, orang yang paling kaya adalah mereka yang qana’ah atas apapun pemberian Allah SWT. Betapa positif dan bermartabatnya hidup ini bila seseorang selalu merasa ridha dan cukup dengan segala kondisinya. Dengan qana’ah, yang sedikit akan menjadi banyak dan yang banyak akan menjadi berkah.

Kesenangan tidak akan sempurna dan ni’mat tidak akan menjadi besar kecuali dengan memutuskan angan-angan untuk memiliki seperti yang dimiliki orang lain. “Himpunlah rasa putus asa terhadap apa-apa yang ada ditangan manusia”. (HR Ibnu Majah). Sikap tidak menerima atas apa yang telah dimiliki, hanya akan menguras keterkaitan hati dengan Allah SWT. Akibatnya, kehidupan yang sebenarnya tidak akan bisa dirasakan. Sementara kehidupannya menjadi tidak tertata.

Ridha dengan pemberian, mensyukuri pemberian Allah SWT dan menginvestasikannya untuk hal yang bermanfaat, maka inilah sebenarnya yang disebut kaya dan mulia. Allah SWT berjanji kepada orang yang hatinya dipenuhi keridhaan, akan memenuhi hatinya dengan kekayaan, rasa aman, penuh dengan cinta, dan tawakkal kepada-Nya.

Sebaliknya, bagi yang tidak ridha, hatinya akan dipenuhi dengan kebencian, kemungkaran dan durhaka. Pantaskah bagi seorang hamba mengaku kekurangan, sementara pada waktu yang sama, kita masih memiliki akal. Andaikata akal itu dibeli orang atau menukarnya dengan emas dan perak sebesar gunung, kita pasti enggan menerimanya.

Kita memiliki dua mata yang sekiranya dibayar dengan permata sebesar gunung Uhud, pasti tidak rela. Saat ini banyak orang enggan mengakui dan menyebut dirinya orang paling kaya. Karena kekayaan hanya mereka ukur dengan materi, banyaknya harta, dan pangkat yang tinggi.

Bersyukurlah atas ni’mat agama, akal, kesehatan, pendengaran, penglihatan, rezeki, keluarga, penutup (aib), dan ni’mat lain yang tak terhitung. Sebab diantara manusia itu ada yang hilang akalnya, terampas kesehatannya, dipenjara, dilumpuhkan, atau ditimpakan bencana.

Kini saatnya untuk menyadari bahwa kita sebenarnya adalah orang yang paling kaya. Caranya dengan selalu qana’ah dan merasa ridha. Bersyukur dengan apa yang kita miliki, sehingga hidup lebih bermakna, berkah, serta lebih berarti. Jadikanlah keridhaan itu dengan mengosongkan hati dari berbagai sangkaan (dzan) dan membiarkannya hanya untuk Allah SWT saja.

MENGINGAT ALLAH DI MANA SAJA

“Berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (QS al-Anfal (8): 45).

Saudara, masalah terbesar yang kita hadapi adalah jauh dari Allah, jarang mengingat Allah, dan “dikuasainya” hati kita oleh sesuatu selain Allah. Inilah masalah yang akan mendatangkan banyak masalah lainnya. Saat jauh dari Allah, maka kita akan leluasa berbuat maksiat. Tidak ada lagi rasa malu. Tidak ada lagi rasa diawasi oleh Allah, sehingga tidak ada lagi yang mengendalikan perilaku kita. Maksiat inilah yang kemudian melahirkan ketidak tenangan, kehinaan dan kesengsaraan hidup.

Karena itu, hal penting yang harus kita lakukan adalah mengukur intensitas ingat kita kepada Allah. Dalam 24 jam, berapa jam kita ingat kepada Allah. Ketika shalat apakah kita ingat kepada Allah. Ketika makan apakah kita ingat Allah. Atau ketika hendak tidur apakah kita ingat Allah. Ketika nama Allah mendominasi hidup kita, maka hidup kita akan tenang, terpelihara dari maksiat, mulia dan berkedudukan tinggi. Semakin kita ingat kepada Allah, maka semakin sering pula Allah mengingat kita. Dan, orang yang paling banyak mengingat Allah, maka ia akan menjadi orang yang paling diingat Allah.

Rasulullah SAW bersabda “Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya disisi Allah, maka hendaknya memperhatikan bagaimana kedudukan Allah dalam hatinya. Maka sesungguhnya Allah menempatkan hambaNya sebagaimana hamba itu menempatkan Allah dalam jiwanya (hatinya)”.

Selalu mengingat Allah (dzikrullah) adalah senjata paling ampuh untuk mengekang hawa nafsu dan menumpulkan tipu daya setan. Apapun yang setan lakukan, tidak akan mampu menggelincirkan manusia yang hatinya selalu berzikir kepada Allah. Para malaikat akan menaunginya. Dan, keberuntungan akan selalu menyertainya. Firman Allah :”Berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (QSAl-Anfal (8): 45).

Ada sebuah kisah. Suatu hari Rasulullah saw duduk bersama Abu Bakar As-Shiddiq. Tak lama kemudian, datang seorang laki-laki yang menghina dan menjelek-jelekkan Abu Bakar. Awalnya Abu Bakar tidak menanggapi orang tersebut. Ia tetap tenang. Rasulullah pun tidak beranjak dari tempatnya. Lama-kelamaan Abu Bakar kesal, ia mulai membalas hinaan orang tersebut. Melihat hal ini, Rasulullah SAW segera pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Abu Bakar merasa malu. Is segera mengejar Rasulullah SAW. “Wahai Rasul , mengapa saat aku dijelek-jelekkan dan tak membalas engkau diam ; namun ketika aku membalasnya engkau pergi ? Rasulullah saw menjawab.” Ketahuilah, saat engkau diam, aku melihat para malaikat mengelilingimu. Namun saat engkau membalas, aku melihat para malaikat pergi dan setanpun mengerubungimu”.

Saudara, dekat dengan Allah adalah kunci kebahagiaan dalam hidup. Maka, sesibuk apapun kita, nama Allah harus selalu terpatri di hati kita. Sebelum kerja, luruskan niat kita hanya untuk Allah. Selama kerja ingatlah Allah, selesai kerja tawakllah kepada Allah. Bila hidup terasa hampa dan sulit mendapatkan ketenangan, kita harus berusaha untuk lebih banyak mendengar, membaca dan berbicara tentang Allah. Usahakan rumah kita, tempat kerja kita, atau pergaulan kita harus dapat mengingatkan kita kepada AllahSWT. Sebab “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram (QS.Ar-Ra’d (13):28).

TUJUAN AKHIR: MENYEMANGATI DAN MENGENDALIKAN PERILAKU

Kekalahan pasukan Islam pada Perang Uhud yang merenggut 70 orang syuhada, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah, adalah satu dari sekian momentum pahit yang dialami Rasulullah SAW. Sebelum itu, yaitu pada masa awal berdakwah di Makkah, berkali-kali Rasulullah SAW mengalami kejadian yang kurang mengenakkan. Mulai dari fitnahan, hinaan, boikot, pengusiran, kekerasan fisik, usaha pembunuhan, sampai meninggalnya orang-orang tercinta.

Walau demikian Rasulullah SAW mampu melewati semua cobaan itu dengan baik dan sempurna. Meskipun dalam satu dua kasus nilai kemanusiaan beliau sempat terusik. Misalnya, kita ingat :
  1. Saat Rasulullah SAW dianggap orang gila oleh orang Thaif, dikejar-kejar dan dilempari batu sampai kakinya berdarah-darah. Namun beliau tetap tabah , bahkan mendoakan kebaikan bagi mereka.” Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui”.
  2. Saat seorang kafir yang selalu meludahi Rasulullah tatkala beliau melintasi jalan dekat rumahnya. Beliau tetap tenang dan tersenyum. Hebatnya saat orang itu sakit, beliaulah yang pertama kali menjenguk dan membawakannya makanan.
  3. Kisah dari Saad bin Malik, saat seorang Arab Badui menarik dengan kasar jubah Najrani yang dikenakan Rasullullah SAW, Anas berkata : “Aku memandang leher Rasulullah SAW dan melihat jubah itu telah meninggalkan bekas merah disana karena kerasnya tarikan orang itu. Lalu Badui itu berkata “Wahai Muhammad, beri aku sebagian dari kekayaan Allah yang ada di tanganmu”. Rasul menoleh kepada orang itu, tersenyum, lalu memerintahkan agar orang itu diberi uang.
  4. Saat Uqbah bin Abi Muaith, atas perintah Abu Jahal, mendatangi Rasulullah SAW dengan membawa tinja dan menaruhnya dipundak beliau saat sedang sujud. Ketika itu Ibnu Masud berkata, “Aku berdiri dan tak bisa berbuat apa-apa, tak punya daya untuk mencegah. Akupun pergi. Tiba-tiba Fathimah dan segera membuang kotoran itu dari pundak Rasul. Ia menangis melihat ayahandanya diperlakukan seperti itu”.

Pertanyaannya, mengapa Rasul begitu ringan menghadapi ujian dan hinaan ? Mengapa Rasulullh SAW selalu bangkit saat dihadapkan pada “kegagalan” ? Ada banyak jawaban. Salah satunya adalah “Rasulullah SAW selalu berpikir merujuk kepada tujuan akhir ! Apakah itu ? “Tujuan Akhir” yang menyemangati dan mengendalikan perilaku.

Allah SWT mengutus Muhammad SAW ke dunia untuk menyempurna kan akhlak, menegakkan panji-panji Islam, dan menyebarkan rahmat serta keselamatan bagi seluruh alam. Jadi, tujuan hidup Rasulullah Saw adalah membimbing umatnya agar bisa berjumpa Allah di surga kelak. Kesadaran akan fungsi diri sebagai rahmatan lil alamin, dan kejelasan tujuan yang hendak dicapai, yaitu membimbing umatnya bahagia dunia akherat, membuat Rasulullah SAW tahan menanggung beratnya penderitaan. Beliau tabah menghadapi musibah kematian dan hinaan orang kafir, karena yakin bahwa ada kebahagiaan hakiki di akhir perjuangan. Penderitaan adalah konsekwensi perjuangan, tangga menuju kesuksesan, penguat keimanan, dan sarana pendewasaan.

Saat aspek kemanusiaan mendominasi beliau, khususnya kesedihan dan rasa lemah menghadapi cobaan, Allah SWT menyemangati beliau untuk bangkit. Pasca perang Uhud Allah berfirman “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum kafir itu pun mendapat luka yang serupa. Dan, masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) ; dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-2 yang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugu8r sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir” (Q.S.3/ Ali Imran : 141 ).

Pentingnya memandang tujuan akhir .

“Begin with end in your mind” ( kata pakar manajemen).

Segalanya akan terasa mudah apabila sebelumnya kita memiliki gambaran tentang peristiwa yang akan terjadi. Kalau seperti ini, maka hasilnya seperti ini, dan seterusnya. Seseorang mangalami kegamangan dalam hidup karena ia tidak yakin dengan apa yang dilakukannya. Dan, ini bersumber dari ketidak jelasan tujuan.

Memulai dari tujuan akhir, akan membuat semua amal menjadi jelas, terarah dan terprogram. Semangatpun tidak akan mati. Saat mengalami kegagalan kita tidak akan larut dalam kegagalan tersebut, sebab ada tujuan besar yang akan dicapai. Yang tak kalah penting, berpikir menurut tujuan akhir akan memastikan masa depan kita.

Imam Ibnul Jauzi mengatakan :”Siapa yang melihat akhir suatu perkara diawal langkahnya, dengan mata hatinya, kelak ia akan beroleh hasil yang sangat baik dari perbuatannya dan akan selamat dari akibat buruknya”.

Rasul dan para sahabat mampu istiqomah memperjuangkan Islam, walau menghadapi beragam kesulitan, sebab mereka memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya. Seorang sahabat pernah bertanya, “Ya Rasulullah, kalau saya mempercayai Anda, beriman kepada Allah, beribadah dan berjuang dijalan Allah, keuntungan apa yang akan saya dapatkan ?” Rasul Saw menjawab:” Di dunia kamu akan bahagia dan di akherat kamu akan mendapat surga”. Sahabat berujar “Dua itu sudah cukup bagi saya”.

ISTIQOMAH

Allah SWT berfirman : “ Istikomahlah kamu sebagaimana engkau telah diperintahkan ( Q.S. 11/ Hud : 112). Sasaran perintah ini bukan hanya Rasulullah SAW tetapi seluruh hamba Allah. Sebab istikomah adalah kunci pembuka kemuliaan.

Sebagian ulama menempatkan istiqomah pada tingkatan puncak dari tangga pendakian seorang hamba dalam menuju kesempurnaan makrifat, kebeningan hati dan kemurnian akidah. Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi berkata :” Wahai Rasulullah SAW katakanlah suatu perkataan kepadaku tentang Islam, sehingga aku tidak perlu lagi bertanya kepa siapapun selain Engkau”. Nabi bersabda :” Katakan aku beriman kepada Allah SWT , lalu istiqomahlah”. (H.R. Ahmad). Konsep istiqomah selama ini sering disederhanakan. Istikomah sering diidentikkan dengan kontiniyunitas sebauh amal. Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat istikomah (Q.S. Hud 112) telah membuat rambut Nabi Muhammad SAW beruban. Dalam mimpinya ia bertanya kepada Nabi. Rasulullah saw bersabda bahwa yang membuat beliau beruban adalah ayat yang berbunyi : “istikomahlah kamu sebagaimana engkau telah diperintahkan” (Muhammad bin Allah As Shadiqi, Dalil al-Falihin, I/ 282).

Secara bahasa kata “istiqomah” merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata istaqama yang artinya lurus, tegus dan konsisten. Namun pengertian secara bahasa ini masih belum cukup untuk mewujudkan perintah istiqamah sebagaimana diperintahkan Allah SWT. Oleh karena itu, ulama tasawuf mendefinisikan bahwa istiqamah adalah bersikap konsisten terhadap pengakuan iman dan Islam, serta dengan tulus mengabdikan diri kepada Allah SWT untuk mengharapkan ridho-Nya di dunia dan di akherat.

Dari definisi para ulama, dapat difahami bahwa ber-istiqomah ada dua hal pokok yang harus dipenuhi. Pertama, beriman kepada Allah swt. Kedua, mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw, baik secara lahir maupun batin. Artinya orang istiqamah adalah orang yang dapat mengaktualisasikan nilai keimanan dan keihsanan dalam dirinya secara total. Meskipun untuk bisa mencapai istiqamah itu terasa amat sulit, namun manusia harus tetap berusaha bermunajaat semampunya. Sebab seperti dikatakan Ibnu Katsir dalam menjelaskan ayat istiqomah ini, "istiqomah adalah merupakan media yang paling baik untuk mendapatkan pertolongan Allah SWT dalam menghadapi berbagai kesulitan duniawi".

MASHLAHAT DAN MADHARAT

Allah SWT berfirman :” Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu” (Q.S.2 / al-Baqarah : 216).

Kebaikan, kebajikan dan manfaat merupakan hal-hal yang terbersit dalam imajinasi ketika disebut kata maslahat. Sebaliknya istilah madharat bermakna keburukan dan kesulitan. Berbagai penafsiran dalam kata lain yang telah dipergunakan untuk menggambarkan kedua istilah tersebut dalam al-Quran . Pada dasarnya, kata maslahat berarti “dampak positif” dari setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Sedangkan kata mudharat merupakan kebalikan dari maslahat, yakni akibat negatif dari setiap perbuatan yang dilakukan manusia.

Setiap orang memiliki kriteria sendiri dalam menentukan apakah sesuatu itu maslahat atau madharat. Petugas keamanan misalnya, menganggap tertangkapn ya para penjahat dan pengacau merupakan maslahat yang dapat menimbulkan rasa aman. Sedangkan bagi para penjahat hal tersebut merupakan madharat, karena mereka tidak dapat melanjutkan aksinya. Keduanya tidak akan pernah bertemu pada satu titik, dan keduanya berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Demikianlah yang terjadi bila maslahat dan madharat dilihat dari kacamata akal.

Penggunaan akal dalam memahami hakekat maslahat dan madharat tidak sepenuhnya salah, karena hal tersebut dapat dipergunakan untuk masalah keduniawiaan. Hal ini seperti digambarkan Rasulullah SAW saat menjelaskan tentang pembuahan pohon kurma (talqih). Rasulullah mengakui kemampuan masyarakat sekitar kebun kurma dengan ungkapan: “Kalian lebih mengetahui urusan keduaniawian kalian”.

Pada dasarnya sitiap orang pasti memiliki penilaian yang sama mengenai kebaikan dan keburukan jika hati nurani dipergunakan secara optimal. Kalaupun akal diperkenankan untuk menilai maslahat dan madharat, janganlah menempatkan penilaian akal diatas segala-galanya. Seharusnya wahyulah yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan penilaian apakah sesuatu itu maslahat ayau mudharat. Seluruh wayu Allah SWT sudah pasti mengandung kamaslahatan yang sifatnya universal. Sehingga kapanpun dan dimanapun dan bagi siapapun akan meresa bahwa apa yang ditetapkan Allah SWT adalah baik dan bermanfaat.

Lain halnya dengan ketetapan yang dibuat oleh manusia yang sarat dengan berbagai kepentingan pihak-pihak yang berkuasa. Bolah jadi ketetapan itu hanya memberikan kemaslahan bagi segolongan dan memudharatkan bagi segolongan lainnya. Maka sewajarnyalah bila kita semua mempergunakan tuntunan Allah SWT dalam menilai segala sesuatu, baik termaktub dalam al-Quran maupun yang tersirat dalam Sunnah Rasulullah SAW, demi terciptanya kemaslahatan bersama.

MENGIKIS TABUNGAN DOSA

Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Maka jika dosa-dosa kecil kita kerjakan secara terus menerus juga akan membukit, menjadi banyak. Karena terasa remeh, banyak perkara yang sebenarnya tercela di sisi Allah SWT , selalu dilakukan dan tanpa disadari telah menambah saldo dosa, dan kita membiarkannya selalu menumpuk.

Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya agar bersikap waspada. Beliau bersabda :” Awaslah kalian dari dopsa-dosa kecil yang biasa diremehkan, sebab itu semua dapat terkumpul sehingga dapat membinasakan orangnya.” Lalu beliau membuat perumpamaan, suatu kaum (rombongan) yang turun berkemah di hutan, dan ketika tiba waktu makan, tiap orang keluar mencari lidi serta dahan pohon. Setiap orang mendapatkan satu dahan sehingga terkumpul banyak dan dinyalakan api sehingga dapat memasak makanan. (HR. Ahmad ).

Dalam kehidupan sehari-hari dosa-dosa kecil mudah sekali terjadi. Mulai dari terlambat memenuhi janjio, berkata kootor dan jorok, berlebihan dalam berbicara (dibuat-buat), menmgolok-olok orang lain, menangguhkan hak orang lain, dsb, merupakan contoh akhlak yang tercela. Semuanya membawa konsekwensi dosa.

Dalam tafsir Ibnu Katsir diceritakan bahwa dahulu pada masa Rasulullah SAW orang-orang Yahudi menganggap bahwa hanya sebentar saja mereka mendapat siksa di neraka. Karena itu mereka meresa puas dan untung atas pwebuatan dosa serta kejahatannya, sehingga tidak bertobat dari dosa yang meliputi dirinya, dan mereka mati dalam kekafiran.

Jika tidak hati-hati, anggapan orang Yahudi terseb ut mungkin juga menjadi bagian keyakinan seorang muslim. Karena menganggapnya tidak seberapa, kita malah menjadi biasa dan semakin berani melakukan dosa-dosa kecil. Padahal Rasulullah telah bersabda :” Sesungguhnya Anda semua melakukan amal yang lebih kecil dari rambut dalam pandangan anda semua, meski kami memandangnya termasuk perkara yang merusak”. (H.R. Bukhari).

Agar kita terhindar dari langkah menabung dosa akibat kesalahan-kesalahan kecil, yang disengaja maupun tidak, maka Rasulullah sangat menganjurkan umatnya agar mengerjakan amalan-amalan yang disunnahkan. Banyak sunnah tersebut yang dapat menghapuskan dosa seseorang.

Ada juga kiat lain yang dapat dipakai untuk menipiskan tabungan dosa kita. Sebuah hadis dari Abu Hurairah menjelaskan, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Shalatnya seorang laki-laki dengan berjamaah, melebihi shalatnya dirumah dan di pasar dua puluh lima derajat. Hal ini didapatkannya karena jika ia berwudhu dengan baik, kemudian keluar untu shalat, ia tidak keluar kecuali hanya untuk keperluan shalat saja. Maka setiap kali ia melangkah pasti akan diangkat satu derajat baginya dan akan dihapus satu kesalahan darinya.” (H.R. Bukhari Muslim).

PENGENDALIAN BERBICARA

Agar pembicaraan kita berkualitas dan terkendali, dapat dipergunakan pedoman berbicara yaitu apa yang kita ucapkan adalah sesuatu yang :
  1. Benar
  2. Bermanfaat
  3. Tidak menyakiti
Cara menyampaikan omongan /pembicaraan kepada orang lain adalah dengan :
  1. Tenang
  2. Sopan
  3. Fasih
  4. Lembut
  5. Secukupnya.
Idealnya, pembicaraan kita itu ditunggu oleh orang lain. Lebih baik orang lain menunggu kata-kata kita, dari pada orang tak enak mendengar kata-kata kita. Karena itu usahakan untuk tidak boros kata-kata, dan menghindari pembicaraan yang tidak perlu.

Untuk sampai ketingkat seperti tersebut diatas itu perlu latihan, kesungguhan, doa serta lingkungan kondusif agar kita menjadi orang yang hemat kata-kata. Mulailah untuk tidak mengomentari hal-hal sepele dan tidak perlu.

MEMBERSIHKAN SAMPAH DARI PIKIRAN

Suatu ketika Anas bin Malik berjalan dengan Rasulullah SAW . Ketika itu datanglah seorang Arab Badui dari arah belakang. Dengan serta merta ia menarik jubah yang dikenakan Rasulullah SAW.

Anas berkata : “Aku memangdang leher Rasulullah dan melihat jubah itu telah meninggalkan bekas merah karena kerasnya tarikan. Orang Badui kemudian berkata : Wahai Muhammad, beri aku sebagian dari kekayaan Allah yang ada di tanganmu. Rasul menoleh kepadanya dan tersenyum, lalu memerintahkan agar orang itu diberi uang.

Kisah ini menggambarkan betapa mulianya Rasulullah SAW. Beliau btidak pernah membalas keburukan orang dengan keburukan lagi. Saat dihina, beliau tidak marah atau sakit hati . Beliau justru mendoakan kebaikan.

Mengapa Rasulullah mampu tenang dan bijak menghadapi gangguan orang lain ? Jawabnya, Rasulullah memiliki kelapangan dada dan kejernihan pikiran.

Ternyata yang membuat hidup kita tidak bahagia adalah diri kita. Penyikapan yang buruk terhadap suatu kejadian adalah sumber penderitaan. Mirip orang yang sariawan makan keripik pedas. Ia menangis marah dan uring-uringan. Yang membuat ia menderita bukan keripiknya, melainkan lidahnya yang berpenyakit. Bagi orang yang tidak sariawan, keripik tersebut nikmat dan renyah.

Banyak hal yang membuat hidup kita tidak nyaman. Salah satunya adalah kegemaran menyimpan “memori-memori” buruk. Otak bisa diibaratkan wadah penyimpanan yang akan kotor ketika kita mengisinya dengan sampah.

Pengalaman buruk, seperti penghinaan, perlakuan buruk, cemoohan, ketersinggungan, kegagalan, dll adalah “sampah-sampah” yang berpotensi mengotori pikiran. Semakin kita sering menyimpan memori buruk di otak, semakin negatip sikap dan perilaku kita.

Karena itu, satu syarat agar hidup kita bahagia adalah membersihkan kepala dari “sampah-sampah” busuk. Caranya ?

  1. Selalu berusaha mengingat kebaikan orang lain dsn melupakan keburukannya. Saat orang lain menyakiti kita carilah seribu satu alasan agar kita tidak benci. Ingatlah selalu kebaikannya. Jangan sampai kita mengabaikan seribu kebaikan orang, hanya karena satu keburukan yang boleh jadi tidak sengaja ia lakukan.
  2. Segera lupakan semua perlakuan buruk orang lain. Ibaratnya, kalau tinta mengotori muka, maka tindakan yang bijak adalah segera membersihklannya, bukan membiarkannya, atau menunjukkannya kepada orang lain. Demikian pula saat orang berlaku buruk kepada kita, menghina misalnya, alangkah bijak bila kita segera menghapusnya, bukan memendamnya, membesar-besarkannya, atau menunjukkannya kepada orang banyak.
  3. Mohonlah kepada Allah SWT agar diberi hati yang lapang dan pikiran yang jernih. Ada doa dalam al-Quran yang bisa kita panjatkan : “ Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku” ( Q.S.20/ Thaha : 25-28. )

SABAR SAAT DIINGATKAN

Dengan mengutip kitab al-Muwaththa’, Ibnu Taimia mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah lupa. Dalam kitab Minhaj nal-Sunnah I diceritakan bahwa saat salat wajib empat rekaat, Nabi lupa menunaikannya lima rekaat. Selesai salat beberapa sahabat bertanya : Wahai Rasulullah, apakah memang ditambah rakaat dalam salat itu ? Nabi balik bertanya. Ada apa rupanya ? Mereka menjawab : Engkau melakukan shalat lima rakaat. Rasul menjawab :”Sesungguhnya aku hanyalah manusia. Aku dapat lupa sebagaimana kamu semua dapat lupa. Maka jika aku lupa, ingatkanlah aku” (H.R. Bukhari Muslim, dalam kitab al-Shahihaiyn ).

Nabi sebagai pemimpin, meminta para sahabatnya untuk mengingatkan jika beliau lupa. Seharusnya kita semua belajar dari kepemimpinan Nabi dan juga dari Umar bin Khattab. Ketika umar mengetahui banyak orang yang menjadi takut dan segan kepadanya. Karena itu dalam sebuah kesempatan dia bertanya kepada masyarakat untuk mencari orang yang masih tetap berani mengingatkannya saat salah dan lupa. Ada satu orang yang menyatakan keberaniannya. Ketika umar bertanya , dengan apa ia akan menegurnya ? pemuda tidak menjawab apa-apa kecuali hanya mengacungkan pedang. Khalifah umar menangis terharu karena ada orang yang berani mengingatkannya jika ia berbuat salah.

Sunday, August 06, 2006

DOA TERBAIK

Doa adalah permintaan dan permohonan yang dipanjatkan oleh manusia kepada Allah SWT. Dan sebaik-baik doa yang engkau panjatkan adalah apa-apa yang Allah perintahkan kepadamu.

Nikmat yang Allah karuniakan kepada manusia sebenarnya sebenarnya lebih besar daripada nikmat yang kita minta. Saat kita minta rezeki atau kebaikan, sebenarnya pada saat yang sama, rezeki dan kebaikan yang kita terima dari Allah jauh lebih banyak dan lebih melimpah. Hanya saja karena keterbatasan ilmu dan ketertutupan mata hati, membuat kita tidak dan kurang menyadari karunia tersebut.

Doa yang kita panjatkan kepada allah ada beberapa tingkat, yaitu : Doa meminta dunia, yaitu doa tingkatan yang terendah. Seperti minta harta yang melimpah, kedudukan, sukses berbisnis, pekerjaan, jodoh yang baik, dsb. Ini boleh saja. Doa minta pahala. Pada tingkat ini manusia meminta agar Allah SWT membalas semua kebaikan kita dengan balasan berlipat ganda, dan dimasukkan ke sorga dan dijauhkan dari neraka. Doa tingkat ini lebih bernuansa akherat, maka lebih tinggi dari hanya minta dunia. Doa meminta rahmat dan ridho (perkenan) Allah SWT. Artinya doa yang kita panjatkan kepada Allah adalah doa minta dikuatkan iman, minta diberi ketaatan pada semua perintah dan larangan, serta konsisten (istiqamah) dalam pengabdian. ( “Allaahumma inni as-aluka ridhaaka wal-jannah, wa a’uudzubika min sakhathika wan-naar” = Ya Allah aku memohon kepada-Mu, ridhaMu dan surga, dan aku berlindung kepada-Mu dari murkaMu dan api neraka ).

Minta ridha Allah adalah permintaan yang paling berharga dalam hidup. Sebab semua yang berbentuk keduniaan seperti harta, jabatan dsb tidak ada gunanya bila Allah tidak ridha kepada kita. Bila Allah sudah ridha, maka semuanya akan jadi mudah. Dunia Insya Allah akan kita dapatkan dan akherat akan kita rengkuh. Karena itu daripada minta kecukupan dan nikmat, lebih baik minta tawakkal dan minta dapat mensyukuri nikmat, dan sabar dalam menerima apa saja.

Bagaimana cara Allah mengkabulkan doa ? ada tiga cara, yaitu : langsung dikabulkan dan diberi apa yang diminta. Ini jarang terjadi, karena kebanyakan cara ini justru membawa manusia si pendoa menuju kearah takabur dan kufur ;dikabulkan dalam jangka waktu yang lama, yaitu setelah berusaha keras dengan segala daya dan kemampuan, serta sesuai dengan aturan (syariah) Tuhan dan biasanya didahului dengan shadaqah yang ikhlas ; ditunda pengkabulannya di akherat kelak. Sedang ketika di dunia orang tersebut mendapatkan ganti yang setara atau bahkan yang lebih baik dari pada yang diminta. Diberi kesehatan, keselamatan dunia akherat dan sorga.

Bagaimana cara meminta kepada Allah SWT ( berdoa ) :
  1. Permintaan langsung ditujukan kepada Allah SWT. Tanpa perantaraan makhluk , siapapun dan apapun dia ;
  2. Yang diminta bukan benda nyata atau keadaan tertentu, seperti minta mobil, jabatan menteri dsb.
  3. Tidak memaksa dan atau membujuk Tuhan Allah SWT agar berkenan mengkabulkan doanya ; seperti puasa pati geni, menyembelih korban, dsb.
  4. Menyerahkan pengkabulannya kepada kehendak dan kekuasaan ( qudrat iradat ) Allah SWT.
  5. Yakin bahwa yang diberikan oleh Allah adalah sesuatu yang terbaik bagi diri si pendoa menurut Allah.
  6. Bersyukur dengan memanfaatkan apapun pemberian Allah sesuai dengan cara yang sesuai dan dikehendaki Allah SWT.

Ciputat, 31 Desember 2005

HAKEKAT DOA

“Jangan sampai permintaanmu kepada Allah engkau jadikan alat untuk mendapatkan pemberian Allah, niscaya akan kurang pengertianmu (Ma’rifatmu) kepada Allah. Namun hendaknya doa permintaanmu semata-mata untuk menunjukkan kehambaanmu dan menunaikan kewajiban terhadap kemuliaan Tuhanmu” (Imam Ibnu Atha’illah).

Allah menyuruh kita berdoa, itu bukan berarti Allah tidak tahu kebutuhan kita. Allah jauh lebih tahu kebutuhan kita dibanding kita sendiri. Hakekatnya, permintaan yang kita panjatkan terlalu sedikit dibanding dengan karunia yang telah Allah berikan pada kita.

Allah juga tidak membutuhkan doa kita. Walau seluruh manusia dan jin menulak berdoa kepada-Nya, kemuliaan Allah tidak akan berkurang. Sebaliknya, jika seluruh manusia dan jin memohon kepada Allah, kemuliaanNya pun tidak akan berubah.

Lalu, mengapa Allah dan RasulNya menyuruh kita berdoa ? Ada empat alasan :
  1. Memperjelas kedudukan kita sebagai hamba dan Allah sebagai al-Khaliq. Memahami hakekat diri sebagai hamba, akan menjadikan kita rendah hati. Karena itu seorang pendoa yang baik akan terhindar dari sikap sombong, malas dan bergantung kepada selain Allah.
  2. Doa sebagai sarana zikir. Allah menyryh kita berdoa agar kita ingat kepadanYa. Dengan mengingat Allah hati kita akan tenang. Dan, ketenangan adalah kunci kebahagiaan. Allah berfirman dalam Q.S.ar-Ra’du (13):28 “(yaitu) orang-ong yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang”.
  3. Doa adalah target . Hakekat doa adalah tujuan, keinginan atau target yang ingin kita raih. Saat kita mengucapkan doa sapujagat misalnya, maka itulah target kita “selamat dunia akherat”. Saat kita berdoa lunas hutang, maka itulah target kita “bebas hutang”. Tentu saja target tidak akan pernah tercapai apabila kita tidak mengusahakannya. Doa adalah pupuk, sedangkan ikhtiar adalah bibitnya. Tidak mungkin kita akan panen bila kita segan menebar bibit. Jadi doa yang baik, adalah doa yang disertai dengan ikhtiar maksimal. Itulah iman dan amal saleh.
  4. Doa adalah penyemangat. Pada saat seorang hamba berdoa, maka yakinlah bahwa hamba tersebut memiliki harapan, dan harapan akan melahirkan semangat. Semangat itu mahal harganya. Sebab semangat akan menentukan sukses tidaknya seseorang. Pertolongan Allah hanya akan mendatangi orang yang bersemangat, bersungguh-sungguh. Bukankah saat kita bersungguh-sungguh kepada Allah maka Allah akan lebih bersungguh-sungguh lagi kepada kita. ?

Maka perbanyaklah berdoa kepada Allah. Doa adalah inti ibadah. Doa adalah senjata orang beriman. Doa adalah pengubah takdir. Doa pun menjadi kunci terbukanya pertolongan Allah. Karena itu, yang terpenting dari doa itu bukan urusan terkabul tidaknya doa kita. Yang terpenting dari doa adalah berobah tidaknya diri kita karena doa.

IKHLASH

Ikhlash merupakan satu dari berbagai amal hati. Amal akan menjadi sempurna hanya dengan ikhlas. Amal yang tidak disertai dengan ikhlas ibarat gambar mati atau raga tanpa jiwa. Allah SWT hanya menginginkan hakekat amal, bukan rupa dan bentuknya.Dia menolak setiap amal yang pelakunya tertipu dengannya.

Maksud ikhlas disini adalah menghendaki keridhaan Allah SWT dengan suatu amal, membersihkannya dari segala noda individual maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah SWT. Dalam ikhlas, praktis tidak ada noda yang mencampuri suatu amal.

Imam Al-Gazali pernah mengatakan bahwa segala sesuatu digambarkan mudah bercampur dengan sesuatu lainnya.Jika bersih dar pencampurannya dan bersih darinya, maka itulah yang disebut bersih dan murni disebut murni. Perbuatan yang bersih dan murni disebut ikhlas. Allah SWT berfirman :” … (berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (Q.S An-Nahl : 66 ). Kemurnian susu itu diukur tanpa adanya campuran kotoran dan darah atau segala sesuatu yang memungkinkan bercampur dengannya. Ikhlash kebalikan syirik. Siapa yang tidak ikhlas, berarti dia musyrik. Hanya saja syirik itu mempunyai beberapa nderajat.

Ikhlas dalam tauhid kebalikan dari syirik dalam uluhiyah. Syirik ada yang tersembunyi, ada pula yang terang-terangan. Begitu pula ikhlas. Ikhlas dan kebalikannya sama-sama menyusup kedalam hati, karena memang hatilah tujuannya.

Ikhlas akan memberikan kekuatan untuk beramal secara berkesinambungan. Seseorang yang beramal karena nafsu perut akan menghentikan amalnya bila tidak mendapatkan sesuatu yang mengenyagkan nafsunya.

Orang yang beramal karena mengharap ketenaran dan kedudukan, tentu akan bermalas-malasan atau merasa berat, jika ada pertanda harapannya akan kandas. Orang yang beramal karena mencari muka dihadapan pemimpin atau penguasa, tentu akan menghentikan amalnya, jika pemimpin tersebut turun dari jabatannya.

Sedangkan orang yang beramal Allah SWT, tidak akan memutuskan amalnya, tidak mundur dan tidak bermalas-malasan sama sekali. Sebab alasan yang melatar belakangi amalnya tidak pernah sirna.

Allah SWT. Berfirman. “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. BagiNya lah segala penentuan, dan hanya kepadaNya lah kamu dikembalikan” (Q.S. al-Qashash : 88 ). Upaya mengetahui hakekat ikhlas dan pengamalannya laksana lautan yang dalam. Semua orang bisa tenggelam di dalamnya, kecuali hanya sedikit. Inilah yang dikecualikan dalam firman Allah SWT : “Kecuali hamba-hambaKu yang mukhlish diantara mereka” (Q.S. Shad : 83 ).

AL- IHSAN

Abdullah bin Dinar berkisah, bahwa pada suatu hari ia berjalan dengan khalifah Umar r.a. dari Madinah menuju Mekah. Ditengah perjalanan mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang sedang turun dari tempat gembalaan dengan membawa kambing yang banyak.

Khalifah Umar ingin menguji sikap amanah si gembala. Antara keduanya terjadi percakapan . “Wahai gembala, juallah kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu” ! ujar khalifah. Anak gembala menjawab:” Tuan, aku ini hanya seorang budak”. “Katakan saja kepada tuanmu, bahwa anak kambing itu telah dimakan serigala” ujar Khalifah. Dengan tegas anak gembala berkata :” Fa ainallah ? (kalau begitu di manakah Allah ?).

Pertanyaan “Fa ainal Lah” memang pendek tetapi kalimat tersebut cukup untuk mengguncang jiwa khalifah dan memancing ingatan terhadap firman Allah “ Dan, Dia (Allah) beserta kamu dimanapun kamu berada, dan melihat apa yang kamu perbuat”. (Q.S. al-Hadid (57) : 4). Juga firmanNya “Tidaklah ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia yang keempat, dan tidak lima orang melainkan Dia yang keenam, tidak kurang dan tidak lebih dari pada itu, melainkan Dia beserta mereka dimanapun mereka berada “ (Q.S. Surah Al-Mujadalah (58) : 7).

Seakan anak gembala berkata “Memang, majikan saya yang memiliki ternak ini bisa saja saya tipu, ia tidak melihat apa yang saya lakukan disini, tetapi bagaimana saya akan menipu Allah ? bukankah Allah melihat semua yang saya lakukan. Dia mengetahui apa yang terbersit dalam hati manusia, sekecil apapun.

Khalifah Umar menangis haru. Iapun mengajak si anak gembala menjumpai majikannya untuk dimerdekakan. Setelah dimerdekakan, Umar berkata :” Kalimat fa ainallah telah memerdekaknmu di dunia ini. Semoga iapun akan memerdekakanmu di akherat kelak”. Dalam ajaran Islam sikap anak gembala tadi, yang “selalu merasa dilihat Allah SWT dimanapun ia berada” disebut “Ihsan”. Ihsan adalah puncak kesadaran seorang muslim. Karena saat ihsan telah menghunjam dihati seorang muslim, maka dimanapun dan kapanpun ia akan selalu sadar diri, sehingga hidupnya tertuntun. Saat ia melakukan ketaan, ia sadar bahwa Allah melihatnya. Ia juga akan malu melakukan maksiat, sebab dia merasa bahwa pandangan Allah tak mungkin lepas dari dirinya. Dalam kesendirianpun ia merasa dilihat dan diawasi oleh Allah SWT. Keyakinan bahwa Allah itu dekat dan mengetahui segala yang kita lakukan (ihsan) pada hakekatnya adalah ketakwaan. Dengan berkarakter “Ihsan” Ia selalu merasakan kehadiran Allah, dimanapun ia berada.

Untuk mempertahankan sikap ihsan yang sama dengan mempertahankan iman, itu ada lima faktor, yaitu : Membekali diri dengan ilmu yang bisa mengantar kita semakin mengenal Allah SWT ;Bersahabat dengan orang saleh. Karena menurut Rasul, seseorang itu akan mengikuti agama, keyakinan dan kebiasaan sahabat karibnya. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi) ;Menjadikan agama sebagai nasihat. Artinya saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, minimal dalam lingkup terdekat.Konsisten ( istiqamah ) dalam beramal. Karena pengamalan melahirkan pengalaman, maka rutinkan diri dalam beramal dan bermuhasabah ;Berdoa untuk memohon kepada Allah SWT agar dikaruniai sikap ihsan.

PENGETAHUAN MANUSIA

Allah Taala mengajarkan manusia tentang apa yang tidak diketahuinya melalui baca dan tulis. Akal dan kalbu manusia mampu mampu melihat kedalaman informasi lewat kegiatan membaca. Manusia mengembangkan metodologi untuk melihat suatu pengetahuan dan hikmah dari sebuah fenomena. Selanjutnya, manusia menulis, memikirkan dan kemudian mengkomunikasikannya kepada manusia lain. Dengan demikian maka terjadilah pemindahan pesan antar generasi.

Al-Quran mengajarkan sebuah kesadaran bahwa pengetahuan merupakan sebuah karunia dari Allah SWT. Karunia ilmu pengetahuan merupakan bagian dari cobaan atau ujian bagi manusia karena bisa menimbulkan perasaan sombong atau arogan. Arogansi manusia menjadi salah satu penyebab sebagian manusia tidak lagi melihat adanya Yang Maha Pencipta. Manusia tidak lagi melihat pesanNya lewat al-Qur’an dan tidak lagi sujud kepada Yang Maha Tinggi, dan tidak bersyukur atas terbukanya sebuah jalan ilmu pengetahuan.

Firman Allah SWT surah al-‘Alaq 1-5 memberi peringatan tentang adanya dua golongan manusia. Pertama : manusia yang menekuni ilmu pengetahuan dan tenggelam dalam metodologinya (mereduksi hal yang gaib). Akibatnya, manusia seperti ini tak mengenal akan Pencipta Alam Semesta, Allah Rabbul ‘Alamin. Kemudian mereka meninggalkan agama. Kedua, manusia yang malas menggunakan akalnya sehingga tak melihat makna penciptaan alam semesta yang besar dan megah ini. Mereka tidak mengakui segala ciptaan Allah SWT dan tidak bisa menyentuh kehidupan dalam mencapai derajat ketakwaan yang lebih tinggi.

MAKNA LAILATUL QADAR

Menurut Quraisy Syihab, “Lailatul Qadar” punya beberapa arti, yaitu :
  1. “Malam penetapan/ pengaturan”, artinya penetapan bagi perjalanan hidup manusia. (lihat Q.S. 44 : 3-4)
  2. “Malam kemuliaan”, Kemuliaannya setara dengan seribu bulan. Ia juga mulia karena menjadi saat turunnya al-Quran dan menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih.
  3. “Malam sempit”, karena banyaknya malaikat yang turun kebumi (QS al-Qadr/ 94 :4). (lihat ar-Ra’d/ 13 : 13).

Rasulullah adalah orang pertama yang meraih “malam kemuliaan yang menetapkan” masa depan manusia. Beliau diangkat sebagai Rasul. Dan pada malam itu malaikat, yang selalu membisikkan kedamaian, turun kebumi membawa kedamaian. Orang yang mendapatkan lailatul qadar ia akan mendapatkan ketenangan, kedamaian, dan didampingi malaikat.
Menanti lailatul qadr.

Seseorang tidak bisa mengklaim bahwa dirinya telah mendapatkan lailatul qadar. Hanya Allah yang berwenang untuk menentukan, manusia hanya bisa berikhtiar untuk mendapatkannya.

Untuk mendapatkan lailatul qadr, Rasulullah SAW menganjurkan agar kita melakukan I’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid). Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sebelum terbit matahari, Rasul SAW memasuki masjid untuk ibadah dan tafakkur, untuk meraih keridhaan Allah dan malam seribu bulan.

Menurut sementara ulama, kemuliaan dan kebaikan yang dihadirkan Lailatul qadr sangat sulit diraih kecuali oleh orang-orang yang mempersiapkan jiwanya untuk menerimanya pada bulan Ramadhan, sebagai bulan kehadirannya, pada 10 hari terakhir, dimana diharapkan jiwa orang yang berpuasa telah mencapai tingkat kesucian tertentu dan siap menerimanya. Bila hal itu terjadi pada seseorang, maka sejak itu adalah titik tolak bagi ybs untuk meraih kemuliaan hidup dunia akherat. Dan sejak itu pula malaikat akan membimbingnya dalam kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru dihari kemudian.

PADA DIRI RASULULLAH ADA TELADAN

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang
(Sungguh dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagimu. Q.S.33:21)

Rasulullah SAW bisa dipercaya (shiddiq), Ia patut menerima kepercayaan (amanah), Ia bisa menyampaikan firman Allah SWT (tabligh), dan Ia bijaksana serta cerdas (fathanah). Sebaliknya, Ia tidak pernah berdusta (kizb), tidak pernah berkhianat (khiyanah), tidak pernah menyembunyikan pesan Ilahi (kitman), dan Ia tidak bodoh (baladah).

Ia baik budi pekertinya, tampan rupanya. Tubuhnya atletis dan selalu terawat bersih. Ia lemah lembut namun ksatria, ramah tapi serius, dan otaknya cerdas. Ia pandai membaca rahasia alam meskipun buta aksara. Alam pikirannya luas. Ia mempunyai bakat mempengaruhi orang, baik orang yang pandai maupun yang tidak berpengatahuan.

Senyumnya memikat. Kejeniusannya membuat setiap orang yang berhubungan dengannya dipenuhi perasaan hormat dan cinta. Ia sangat sabar terhadap bawahannya tetapi juga tegas. Ia tidak akan membiarkan seseorang dicaci-maki apapun kesalahannya. Orang sakit dijenguknya dan undangan orang, sekalipun si pengundang budak, dihadirinya. Ia menjahit sendiri pakaiannya yang robek. Ia juga memerah sendiri susu kambingnya.

Tangannya sangat senang memberi, hatinya sangat berani, dan lidahnya sangat bisa dipercaya. Pada malam hari ia hanya tidur sebentar, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk ibadah (ibadah mahdhah maupun ibadah ‘ammah). Ia menyayangi orang miskin, mencintai anak-anak, dan menghormati wanita. Ia bagaikan seorang ayah bagi sahabat-sahabatnya. Ia sangat pemaaf, bahkan terhadap bekas musuh-musuhnya.

Ia adalah Rasulullah (utusan Allah). Ia adalah Nabi terakhir hingga akhir zaman. Ia adalah teladan baik (uswah hasanah). Billaahi at-taufiq wa al-hidayah.

Persembahan bagi yang tercinta sahabat-sahabat anggota Mahatma.( “SELAMAT BER- ULANG TAHUN” ). Ciputat, 15 Mei 2003.

Saturday, August 05, 2006

Manfaat Hidup

Hidup ini hanya sebentar, maka upayakan agar hidup kita bermanfaat bagi orang lain. Berbuatlah sesuatu untuk menyelamatkan orang lain , baik di dunia maupun di akherat.

Tentang Blog ini

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat tulisan-tulisan saya, baik berupa tulisan akademis, maupun konsern pribadi terhadap dunia pendidikan, dan keluarga.